#32 • Tuhan, aku rindu Ava.

510 33 0
                                    

Senyumnya mengembang. Tatapan matanya yang indah namun menusuk jantung lelaki itu. Tangannya merapikan helai rambutnya yang bergerak ke kanan dan ke kiri. Angin malam bertiup, menyapu rambutnya yang berwarna hitam pekat. Dia terus tersenyum dan berdiri disana. Lelaki itu hanya bisa berdiam diri tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

Sejurus kemudian. Dia membalikkan badan dan membelakangi lelaki itu. Seolah-olah ingin pergi jauh meninggalkannya yang berlutut penuh kesedihan. Mata lelaki itu panas, jantungnya terasa sakit, dadanya sesak, dan tangannya bergetar hebat.

Dia mulai melangkahkan kaki kirinya, melangkah pergi jauh. Lelaki itu ingin berdiri, berlari, lalu mendekapnya dengan erat. Dengan sekuat tenaga, Ia berusaha bangkit dari tanah. Berdiri dengan susah payah. Saat lelaki itu sudah mampu berdiri, gadis itu menghilang. Hanya terlihat bunga yang layu dengan pohon-pohon hijau di sekitarnya. Lelaki itu merutuk penuh penyesalan.

"JANGAN PERGI, VA!"

Elano terbangun dari tidurnya. Sinar matahari pagi menyusup melalui jendela. Jantungnya berdetak sangat kencang. Napasnya terengah-engah seperti orang yang lelah berlari seharian. Perasaannya campur aduk tak menentu.

Elano terduduk di atas kasur memandang langit-langit kamar. Pipinya basah, lalu ia usap. Lagi-lagi ia memimpikan Ava. Setiap pagi hanya air mata kerinduan yang mengalir di pipinya.

Tuhan, aku rindu Ava.

Brak!

Suara dobrakan pintu membuyarkan lamunannya. Lalu terlihatlah dua orang laki-laki yang memandangnya penuh tanya.

"What's happened?" tanya Revo pada adiknya. Elano tak menjawabnya.

"Lo ngapain teriak-teriak coba? Bikin kaget aja tau ga sih!" rutuk Vano.

Revo menghela napas. Ia paham betul apa yang terjadi dengan saudaranya. "Still thinking about her, huh?" Sedetik kemudian, Elano mengangguk mengiyakan.

"Lo kangen banget sama dia? Gak berniat ketemu sama Ava?"

"Gue kangen banget sama dia, Rev. Gue pengen balik ke Indonesia. Tapi lo tau sendirilah Opa sama Oma gimana. Mereka gak mungkin kasih gue ijin," 

"Oma sama Opa berangkat ke Swiss barusan." Sambung Vano penuh arti.

"Are you kidding me?"

"Dalam keadaannya yang kayak gini, gue gak mungkin bercanda."

"Iya, El. Mereka bakalan ngurusin bisnis mereka selama seminggu disana!"

"Lo bisa manfaatin waktu itu buat ketemu Ava terus perbaiki hubungan kalian...,"

Elano berdiri lalu meraih ponselnya. "Gue pesen tiket penerbangan dulu!"

Ia mendongak sebentar, memandang kedua saudaranya. "Don't tell them about this one. If you tell this, I'll kill you guys. Seriously!"

"We'll never do that. We are not a stupid people! Udah, urusan tiket biar gue sama Revo yang atur. Lo mandi sekarang terus siapin barang-barang lo!" sahut Vano pelan.

"Thanks for helping me!"  katanya sebelum mengambil handuk lalu pergi ke kamar mandi.

Selang beberapa detik, Revo memandang arlojinya. "Gue berangkat ke kampus dulu! Lo urus keberangkatan Elano."

Vano mengernyitkan dahinya. "Hold on!"

"Ini Jerman, No. Disini punya aturan gaboleh sembarangan telat!"

"Gue juga mau kesekolah kali, Rev."

"That's easy! Guru lo yang masih muda itu naksir sama gue. Tinggal gue chat, urusan lo selesai!"

ELANOAVA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang