CHAPTER 32

37.5K 1.9K 24
                                    

Pardon me if there are any typos on them!

Happy reading!

...

32. An Antique Request

...

Pria itu tidak bisa berhenti memijit dahinya yang sebenarnya tidak pusing dan terasa baik-baik saja. Kedua matanya menatap istrinya yang sedang menatap dokter di sebelahnya dengan kedua mata yang berbinar-binar.

Pada awalnya, pria itu agak curiga mengapa istrinya tidak menyukainya yang bernotabene sebagai suami, tetapi menyukai Ryan yang mempunyai titel hanya sebagai teman.

Tetapi, ternyata dia salah.

Wanita itu menyukai semua bau pria yang dia lihat, tetapi dia hanya tidak menyukainya. Ya. Biar diulangi. Keira hanya tidak menyukai bau Eric. Hanya Eric.

Lagi-lagi dengusan kasar keluar dari mulut Eric. Entah sudah yang keberapa kali ia melakukan hal ini, tetapi masalahnya sampai sekarang ia masih tidak percaya kalau istrinya tidak menyukai kehadirannya di sana.

Bukannya ini aneh?

Dia adalah suaminya.

Dia adalah Papa dari bayi yang dikandung Keira.

Harusnya dia yang ada di sana.

"Pasien sudah bisa pulang hari ini, Mr. Rhodes." Ucapan dokter di samping Keira langsung membuyarkan lamunan Eric. Dia mendongakkan wajah dan lagi-lagi mendapati Keira yang masih menatap dokter di sampingnya dengan berseri-seri.

Eric menganggukkan kepalanya. Dia tidak bisa mendekat kepada mereka, dan hanya berdiam diri di sofa dari tadi. "Kamu menyukai bau dokter itu?" tanya Eric saat dokter tersebut sudah keluar dari ruangan kamar sakitnya.

Keira memalingkan wajah, dan mendapati wajah cemberut Eric. Rasa bersalah langsung muncul lagi pada rautnya. Wanita itu juga tidak tau mengapa dia tidak menyukai kehadiran suaminya, dan lebih menyukai kehadiran pria-pria lain. "Maafkan aku, Eric," cicitnya merasa begitu bersalah.

Kalau sudah begini, Eric tidak bisa melakukan apa-apa. Dia memejamkan kedua matanya, lalu menghembuskan napas panjang. "Tidak apa, Kei," jawabnya dengan wajah yang sebenarnya tidak rela.

"Kamu gak tulus memaafkan aku, ya?" Eric menatap wajah istrinya yang semakin merasa bersalah. Keira memainkan jari-jarinya dan tidak berani untuk menatap Eric.

"Its okay, Keira. Aku tidak apa-apa." Eric memberikan senyum hangatnya.

"Mungkin aku sudah menyukai bau kamu?" Keira mulai menatap Eric dengan wajah tidak yakin.

Eric spontan langsung berdiri di tempatnya. Wajahnya sudah tidak senewen lagi. "Benarkah?"

Istrinya memaksakan untuk tersenyum kikuk. "Mungkin...?" tanyanya juga tidak yakin. "Kamu tidak mendekati aku satu hari ini, Eric," jawabnya juga ikut merasa sedih karena pria itu tidak bisa berdekatan dengannya.

"Aku ada di sana tadi. Waktu kamu tidur." Eric mengoreksi ucapan istrinya. Lalu dia bergerak maju menghampiri Keira dengan perlahan. "Are you okay?" tanyanya dengan kedua mata yang memicing, saat wanita itu memejamkan kedua matanya erat-erat.

"Lupakan, Kei. Aku tau kamu masih tidak menyukai bau aku. Jangan ditahan. Buka saja mata kamu." Eric kembali ke tempatnya. Berusaha untuk tetap tersenyum walau sudah senewen berat.

"Maafkan aku sekali lagi."

...

Malam ini, kedua mata Eric mendapati kursi roda istrinya yang tiba-tiba berada di depan ruang kerjanya. Wanita itu menatapnya dengan takut. Lihat saja jari-jarinya yang bermain di atas pahanya. "Kenapa? Kamu membutuhkan sesuatu?" tanya Eric sambil melepaskan kacamata kerjanya dan menaruhnya di atas meja.

Dia melipatk kedua tangannya di atas meja, lalu mulai menatap istrinya dengan lekat. "Ada apa?" tanyanya lagi ketika wanita itu tidak kunjung mengatakan keinginannya. "Kei? Kamu menginginkan sesuatu?"

Wanita itu mengangguk. Membuat Eric menghela napasnya. Dia senang kalau Keira membutuhkan sesuatu, karena perannya sebagai Suami akan dengan sangat senang ia laksanakan. "Mau apa? Aku akan memberikannya kepada kamu."

"Kamu harus janji, kamu tidak boleh marah kepada aku." Keira mengawali permintaannya dengan permintaan janji. Eric spontan langsung mengkerutkan dahinya.

"Iya. Aku tidak akan marah kepada kamu."

"Janji ya?" Keira menatap pria itu ragu-ragu. "Eric... aku tidak tau kenapa aku seperti ini..." Dia memalingkan wajah karena tidak kuasa menatap wajah Eric. "Apa boleh... kalau aku... bertemu dengan kak Rico sekarang?" cicitnya dengan pelan.

Eric memicingkan kedua matanya. Tidak mendengar dan mengerti permintaan istrinya. "Bisa kamu katakan lebih keras? Aku tidak mendengar ucapan kamu, Keira."

Keira menarik napas panjang lalu menghembuskannya lama. "Aku ingin menatap wajah kak Rico sekarang..."

Kedua mata suaminya melotot, dan Keira sudah mengantisipasinya. "Kamu sudah berjanji tidak akan marah kepada aku, Eric," jawabnya cepat ketika pria itu sudah membuka mulut dan hendak mengeluarkan ocehannya.

Spontan, dia langsung menutup mulutnya kembali. Kedua matanya kini terarah pada jam yang menempel di dinding. "Kei, kamu yakin? Ini sudah jam sebelas malam." Eric mulai memberikan tatapan ragu-ragu.

Wanita itu tidak membalasnya. Keheningan ada di antara mereka, dan akhirnya Keira memecahkan keheningan itu dengan menghela napas. "Baiklah kalau kamu tidak mau, aku akan tidur dulu. Selamat malam, Eric," ucapnya sambil memutar kursi rodanya dan hendak keluar dari ruangan kerja suaminya.

"Tunggu, Kei. Aku bukannya tidak mau menuruti kamu." Eric menghentikan pergerakan Keira dan rasa bersalah sudah ada di wajahnya. "Ini sudah malam, aku yakin kalau Rico dan Amanda sudah tidur sekarang."

Keira menoleh, dan Eric merasa aneh karena ada raut kecewa di wajah istrinya. "Baiklah kalau begitu. Maafkan kalau aku mengganggu kamu."

"Apa tidak bisa melakukannya besok saja?" Eric mulai memberikan tawaran.

"Anak aku maunya sekarang."

"Itu juga anak aku," jawab Eric senewen. Dia menghembuskan napas panjang lagi. "Baiklah kalau begitu, Kei. Bagaimana kalau kita video call dengan mereka."

"Aku maunya bertemu langsung, Ric..."

Eric sudah tidak bisa terkejut lagi dengan keadaan seperti ini. Saat hamil, biasanya para istri akan meminta berbagai macam makanan yang aneh-aneh. Tapi semua itu tidak berlaku kepada istrinya, Keira Rhodes. Wanita itu malah meminta keinginan-keinginan yang aneh seperti; mengusap perut bos dari restaurant yang mereka kunjungi beberapa hari yang lalu; menatapi wajah dokter dengan lama dan wajahnya yang berseri-seri setiap kali mereka melakukan kontrol; yang terakhir, menatap dan memeluk Ferdiㅡpapa mertuanya sendiriㅡdengan erat ketika mereka bertemu kemarin.

Eric geleng-geleng. Dia tentu saja pasti akan selalu sukarela memberikan semua keinginan istrinya ketika dialah yang diinginkan oleh calon anaknya. Tetapi entah mengapaㅡalasannya masih tidak diketahuiㅡanaknya itu malah selalu memilih pria-pria lain, yang menurut Eric memiliki paras yang juga lumayan-lumayan.

"Baiklah kita pergi ke rumah Mama sekarang." Dan jika ada perlombaan untuk suami tersabar, maka sepertinya Eric berhak untuk menerimanya.

Keira tersenyum lebar, sangat lebar sampai memperlihatkan deretan gigi-giginya. Dia merentangkan tangan seolah-olah sedang memeluk suaminya, lalu berkata, "Terimakasih, Eric."

Dan kekesalan di hati pria itu selalu mereda hanya ketika melihat senyum manis yang terpatri di wajah istrinya.

...

Makasih dah berkunjung wkwkkwwk

The Day We Meet AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang