Adalah aku yang kala itu buta arah. Dan adalah kamu yang mencoba memberikan tempat pada insan yang masih tak tau bagaimana cara terbaik dan pada siapa untuk singgah.
Waktu itu masih sepi, bukan berati tak ada yang bisa jadi tempat untuk saling menanggapi, namun lebih pada rasa bingung untuk menepi ketika badai datang menghampiri. Dan lebih parahnya, tak ada lagi alasan karena harus menjalani dalam tegas tanpa kata tapi.
Kenalku padamu waktu itu seperti bukan sebuah irama sengaja. Namun tak disangka akan berjalan mulus. Sehingga yang kurasa di sini adalah konsep sebuah keklasikan drama.
Bagaimana Tuhan mendudukanku denganmu pada bangku yang saling berdekatan?
Tanpa disertai dengan ungkapan salam basa-basi perkenalan. Kurasa itu wajar saja karena ini masih hari pertama. Masih belum sama sekali terbayang akan apa yang akan terjadi setelahnnya.
Pada pulang pertama...
Sama sekali tak terlintas untuk terbayang apalagi terpikir. Yang ada hanya rasa terlampau lelah serta khawatir.
"Apa yang akan terjadi esok hari?" Gumamku.
Jangan terburu-buru. Ini semua masih hanya tentangku. Belum ada goresan yang terjadi. Atau mungkin saja sudah, namun nyaris tak terasa sampai tak kusadari.
Di ujung hari, masih belum ada apa pun yang mengganjal diri. Karena sisa dari kisah hari itu kuisi dengan lelahnya raga karena hobi. Lalu pada ujungnya kututup dengan doa di malam yang belum mengenal sendu. Karena semua yang sudah berlalu masih hannya tentang aku.
~ % ~
Bumi berputar pada porosnya
Manusia berputar pada egonya
Kisahku
Berputar-putar tak jelas dan
Berhamburan entah kemana
~hnf~

KAMU SEDANG MEMBACA
INKONSISTENSI RASA (TERBIT)
RomanceBagaimana cara sederhana kita bertemu? Bagaimana cara semesta membuat kita bersatu? Bagaimana cara aku memandangmu setelah itu? Bagaimana cara kau buat aku menjatuhkan hati padamu? Bagaimana cara kita saling terjebak dalam rindu? Bagaimana cara...