|1| Awal Kisah

7.4K 299 4
                                    

Selalu melangkah pasti, menghiraukan pekat cahaya yang kian mendekat. Menepis lelah demi mimpi yang harus diwujudkan. Tapi, takdir sangat ingin bermain-main bersama Gading. Hidup Gading yang datar, berubah menjadi tanjakan curam yang sulit dijangkau.

Ramai suara tangis, juga banjir air mata di depannya, membuat tubuh kurus itu membeku. Menatap kosong raga tanpa nyawa di depannya. Seorang penyemangat dalam hidup Gading, pergi di waktu yang tidak diduga. Meninggalkan luka perih dalam hati.

Gejolak sedih tidak bisa menghilang dengan mudah. Gading ingin menepis fakta yang ada, ingin mengembalikan nyawa yang telah hilang ditelan semesta. Tapi, hal itu sia-sia. Gading hanya manusia biasa yang hanya bisa menerima pahitnya kenyataan.

Pelukan hangat dari sosok tertutup kain yang selama ini menjadi candu, kini hanya menjadi angan. Tidak akan pernah nyata lagi. Mimpi yang selama ini telah Gading rangkai dengan rapi pun, perlahan pudar. Bersama dengan semangat yang pergi begitu cepat. Satu-satunya orang yang harus melihatnya sukses, telah kembali ke sisi-Nya.

Rasanya, Gading ingin marah pada keadaan yang selalu penuh teka-teki. Tadi pagi, ibunya masih tersenyum manis, sambil berpesan agar Gading tetap hidup dengan baik. Tapi ternyata, hal itu adalah ucapan terakhir dari ibunya. Gading tidak akan pernah lagi mendapat sapa halus juga sentuhan lembut dari ibunya.

Gading tak ingin tenggelam dalam kesedihan. Ia ikut masuk ke liang lahat untuk mengubur sosok yang ia sayang. Menahan sesak di dada juga menahan air mata yang memaksa ingin keluar. Tapi, pertahanannya payah. Air matanya lolos dengan deras kala tubuh berbalut kain kafan itu mulai tertutup papan.

"Kamu yang kuat, jangan nangis. Ibu akan sedih di alam sana jika kamu terus menangisi kepergiannya." Mira berucap lembut sambil mengelus punggung Gading hingga tenang.

"Ini semua karena kamu, mbak. Aku gak akan sudi untuk memaafkan perbuatan mu. Maaf ku terlalu berharga untuk kuberikan kepadamu." Ucap Gading tajam dengan nada lirih.

"Mbak minta maaf. Mbak janji akan berubah jadi pribadi yang lebih baik. Tolong maafkan mbak, Ding." Gading melengos, ia tidak ingin berdebat panjang lebar di saat yang lain mendo'akan jenazah ibunya.

Tangannya menengadah ke langit, mengharap do'a yang dipanjatkan tersampaikan dan dikabulkan. Sesekali, air mata masih menitik, melihat gundukan tanah basah yang menenggelamkan raga seseorang. Hatinya berdenyut sakit, mengingat kenangan indah yang tak bisa terulang kembali.

🍃🍃🍃

Terlantar bukan menjadi pilihan Gading untuk melanjutkan hidup. Hingga Gading harus menelan kembali ucapannya untuk tidak memaafkan Mira. Setelah mendengar pengakuan bersalah Mira yang meyakinkan, Gading pun memberi maaf cuma-cuma. Dan selalu berharap, ucapan itu bukan bohong semata.

"Mbak beneran minta maaf, Ding. Mbak akan tobat, gak akan jadi kupu-kupu malam lagi, gak akan menelantarkan anak-anak mbak juga. Mbak janji." Nada penyesalan begitu kentara di ucapan Mira, membuat Gading yakin tanpa ragu dengan sesal tersebut.

"Tapi, ibu udah meninggal, mbak. Hal itu terjadi, gara-gara ibu menyelamatkan Caca saat hampir tenggelam. Saat itu, mbak malah asyik kabur dengan cowok penghasil uang. Rasanya susah untuk memberi maaf, tapi aku akan berusaha." Mira tersenyum dan merengkuh tubuh kurus Gading.

"Mbak janji gak akan ngulang kesalahan yang sama." Mira berbisik dengan tangan yang masih merangkul erat tubuh Gading.

"Aku harap janji yang mbak ucapkan, bukan janji palsu."

Gading melangkah tegas ke kamarnya. Kamar baru setelah pindah ke rumah kakak tirinya. Suasana baru yang selalu mengingatkan akan kehilangan. Suasana baru yang sangat Gading benci. Tapi, harus diterima dengan lapang dada.

Jam dinding berbunyi nyaring, angin AC pun berembus kencang. Tapi, Gading abai. Ia memilih telentang di pelataran lantai kamar, menghalau dinginnya lantai yang menusuk. Mengharap sedih hilang seketika. Sekali lagi, kegiatannya sia-sia.

Hati yang kehilangan, akan selamanya terasa perih. Tapi, kata orang, laki-laki harus kuat dan berani menerima pahitnya kenyataan. Gading percaya, ujian yang diberikan oleh-Nya tidak akan melampaui batas. Pasti ada jalan keluar untuk bangkit dari sedih yang saat ini membuncah.

🍃🍃🍃

Tiga tahun sudah berlalu dengan cepat, Gading pun sudah menjadi remaja dengan banyak penggemar. Tapi, Gading tidak pernah sekalipun bertegur sapa dengan penggemarnya. Dalam pikirannya, hanya penuh akan merawat dua adik tirinya.

Bahkan seringkali, Gading merelakan waktu belajarnya hanya untuk merawat dua adik tirinya. Jika ditanya lelah, Gading dengan tegas akan menjawab lelah. Tapi, Gading masih ingat pesan ibunya untuk tetap melanjutkan hidup dengan baik.

Mira yang dulu sudah meminta maaf, kini berubah kembali. Sering pergi dan meminta Gading untuk membatu merawat anak-anaknya. Disini Gading tidak menaruh curiga sama sekali, toh, Mira sudah janji untuk tidak bermain dengan laki-laki kaya, lagi. Pikir Gading, mungkin Mira hanya bekerja paruh waktu secara halal.

Mengalah pada takdir untuk tidak melanjutkan sekolah, bukan pilihan yang tepat. Gading masih ingin mewujudkan mimpinya untuk kuliah jurusan pariwisata. Dan mungkin, bisa keliling dunia dengan ilmu. Tapi, mimpi masih menjadi mimpi, waktu belum memutuskan untuk terwujud.

"Kak Gading, aku tadi gambar bagus. Ada ibu, mama, Kak Gading sama Ani." Ucap Caca, anak pertama Mira dengan sopan sambil menunjukkan gambar yang terlihat abstrak.

"Wah, bagus. Tapi, kenapa Ibu jaraknya jauh dari kita?"

"Kata Kak Gading, ibu masih pergi. Nanti, kalau ibu udah pulang, aku bikin gambar yang deket semua. Oh iya kak, ibu kapan sih pulangnya? Aku kangen." Caca merajuk menanti jawab dari Gading.

"Nanti kalau udah waktunya, kamu bakal tahu sendiri kemana ibu pergi. Sekarang, mandi dulu, keburu ada momok yang menghantui."

"Ih, Kak Gading bikin aku merinding." Caca berlari ke kamar mandi. Walaupun masih berumur empat tahun, Caca sudah terbiasa mandiri. Sebab, keadaan yang memaksanya demikian.

Perasaan sayang dari seorang kakak pasti berbeda dengan kasih sayang orangtua kandung. Seperti kasih sayang yang Mira berikan pada Gading. Terlihat sayang, tapi hanya pura-pura. Sayang palsu yang terlihat karena perbuatan Gading menjaga Caca dan Ani. Hanya memberi upah saat Gading menjaga dengan benar.

Tapi, Gading hanya bisa menerima kenyataan. Tidak bisa menepis pahitnya hidup yang terjadi. Ini semua ia lakukan demi melakukan pesan ibunya. Hidup dengan baik tanpa banyak mengeluh. Hidup dengan alur yang sudah ditetapkan dan yakin dengan rencana yang telah disiapkan oleh-Nya.

Gading kerap merangkai kisah indah dalam pikirannya. Tapi, masih menjadi semu yang tak kunjung terjadi. Kata Gading, imajinasi lebih indah jika disandingkan dengan fakta. Dan, hal itu benar adanya. Tidak ada satupun orang yang bisa mengelak.

|Désespéré|

[TBC]

ODOC BATCH 2 DAY 1
20 Mei 2020

ODOC BATCH 2 DAY 120 Mei 2020

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Désespéré ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang