Semua pandang menatap arah yang sama. Telinga mereka pun, turut mendengar kalimat makian dari seorang perempuan bertubuh menawan.
Gading turut andil dalam drama itu, dia diam dalam bingung. Ingin maju untuk menolong, tetapi rasa sakit di dadanya menahannya. Bukan sakit nyeri seperti biasanya, hanya rasa sesak ketika mengingat perlakuan orang di hadapannya.
Tubuhnya membeku, menatap tamparan keras yang mendarat dengan apik. Menyisakan bekas merah muda di pipi Mira.
"Kamu puas buat keluarga saya hancur? Itu yang kamu mau? HAH?" teriak lawan bicara Mira. Tanpa rasa malu dengan tatap pengguna jalan juga warga yang menonton. Ia hanya fokus berteriak memaki Mira tanpa segan. Menyuarakan resah hatinya yang bergejolak tanpa batas.
Kerumunan warga semakin ramai, membuat Mira semakin menundukkan kepala. Ia ingin menyangkal ucap lawan bicaranya, tetapi ia juga berbuat salah. Hingga ia hanya bisa diam, menatap aspal dengan objek semut berjalan.
Di tempat yang berdekatan dengan Mira, Gading pun hanya diam seribu kata, menahan ungkap untuk membela. Ia masih enggan bersuara, sebab marahnya wanita begitu menyeramkan. Melawannya, bukanlah pilihan yang tepat, malah mencari petaka saja.
"Maaf." Mira berucap lirih, sembari menahan air mata penyesalan palsu yang ada di pelupuknya. Mengakui kesalahan demi kebebasan yang harus ia dapatkan.
Plakk.
Namun, lagi-lagi, tamparan perempuan menawan itu mendarat di pipi mulus Mira. Membuat Gading ikut naik pitam, tetapi tetap diam di tempat. Ia mengepalkan kedua tangannya erat, menahan rasa marah terhadap dua orang di hadapannya. Marah sebab kakak tirinya disakiti, juga marah terhadap Mira yang tidak mau menuruti perintahnya untuk tidak lagi bermain laki-laki.
"Saya gak butuh maaf dari kamu, kata maaf mu, gak akan mengubah suami saya sama seperti dulu lagi."
Plakk. Plakk.
Marah yang sedari tadi Gading tahan sekuat tenaga, kini sudah mencapai puncak. Ia melangkah persis di hadapan perempuan yang menampar Mira. Tujuannya, ingin mengucap serapah, tetapi tidak bermaksud membela satu pihak.
"Tolong, Ibu jangan salahkan satu pihak saja. Coba lihat dari sudut pandang suami Ibu. Dia juga salah, dia mau menyewa Mbak Mira dengan uangnya. Di sini, yang salah bukan cuma dia, tapi suami Ibu juga."
"Kamu anak kecil, sok berani ngelawan orang tua. Gak usah ikut campur urusan saya. Orang yang lebih tua aja, cuma menonton, kamu malah ikut adu mulut."
Gading mendesah, merasakan debar jantung yang tidak karuan, ditambah nyeri yang perlahan hadir pada tubuhnya. "Saya bukan sok ngelawan, saya hanya menyampaikan kebenaran. Bahwa, semua pihak salah." Gading berucap lirih, sambil mencengkeram dada kirinya erat. Menggigit bibir bagian dalamnya, hingga rasa asin mulai menguasai mulutnya.
Ia berlari tanpa arah setelah berucap, mencari tempat sepi untuk meludahkan cairan rasa asin, tanpa ada yang tahu. Ia tidak mau dikasihani, Gading hanya ingin terlihat kuat di hadapan semua orang. Tidak ada satu orang pun, yang boleh melihat lemahnya. Selain Bagus, dia tahu titik lemah Gading dengan sendirinya.
Namun, dadanya yang nyeri membuatnya berhenti mendadak. Menjatuhkan tubuhnya di jalan beraspal, di balik pohon beringin. Ia mencengkeram dada kirinya dengan kuat, juga meludahkan darahnya.
Panas mulai menjalar ke tenggorokan, entah apa yang membuatnya demikian, yang Gading tahu, ini sangat menyiksa. Membuatnya mengerang. Namun, para manusia masih fokus pada kasus Mira di sana. Hingga Gading harus meredam sakit sendirian. Toh, memang ini yang ia inginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Désespéré ✓
General FictionMimpi sudah menjadi abu yang hilang terbawa angin. Mungkin, menyerah menjadi pilihan yang paling tepat. Tidak! Gading memilih bertahan dan melepas mimpi, membawa harapan baru untuk ia wujudkan. Baginya, hidup selalu punya kejutan, tidak selamanya me...