Tinggal di rumah orang tentu tidak nyaman. Walaupun diizinkan untuk menetap, tetapi rasa tidak enak susah untuk pergi. Setiap pagi, Gading selalu di rumah bersama pekerja. Bagus sekolah dan ia membantu asisten rumah tangga.
Sebenarnya, ia tidak perlu repot-repot melakukan itu. Namun, Gading cukup bosan dengan kegiatannya. Nonton video di ponsel sudah ia lakukan setiap saat, untung saja di rumah Bagus ada WiFi. Jadi, Gading tidak perlu menghabiskan uang untuk membeli paket internet.
Gading sudah beberapa kali mencari pekerjaan, tetapi belum ada yang menerimanya. Banyak yang menolak hadirnya, sebab tidak ada ijazah SMA. Melamar pekerjaan di warung makan, juga ditolak. Katanya, sudah banyak pekerja.
Gading tidak lupa jika beruntung jarang mampir dalam hidupnya. Namun, Gading hanya berusaha dengan keras untuk hidupnya yang lebih baik. Hidupnya yang tidak merepotkan orang lain lagi. Memang tidak mudah untuk mewujudkan hal itu, tetapi ia akan selalu berjuang. Demi bahagia yang harus ia raih. Membuat bangga ibunya yang sudah ada di surga, juga membuat Mira menyesal telah membuang Gading.
🍃🍃🍃
Warna oranye sudah menyambangi langit dengan indah. Membuat burung-burung berterbangan dengan kicau indahnya. Di waktu yang sama, Gading sudah membuat janji untuk bermain basket bersama Bagus. Guna melupakan segala penolakan pekerjaan yang telah ia dapat.
Suasana sore selalu sepi di komplek Bagus tinggal. Hanya ada suara kicau burung juga anjing tetangga yang menggonggong. Ketika Gading melewati rumah minimalis abu-abu, ia tidak menoleh untuk melihat. Ia tidak mau jika ada tatap tajam Mira yang bisa mengganggu harinya.
Gading sudah sampai di lapangan basket, menunggu Bagus dengan duduk di pinggir lapangan. Menikmati semilir angin dengan sedikit polusi. Terasa segar, walau waktu sudah tidak pagi.
Ia melamun tanpa ada yang menegurnya. Pikirannya penuh akan mimpi yang telah hilang terbawa waktu. Mimpinya untuk berkuliah sudah berantakan, bersama dengan surat drop out yang beberapa waktu lalu diterimanya.
"Udah disini aja, lo, padahal tadi gue pulang dulu mau nyamperin. Eh, ternyata gue malah ditinggal," ujar Bagus mengagetkan Gading yang masih sibuk dengan pikirannya.
"Lo kelamaan, gue hampir jamuran nunggu. Biasanya jam empat juga udah balik, ini gue tunggu sampai setengah lima belum di rumah. Gue tinggal aja."
"Tadi remidi dulu, makanya lama. Udah yok main, ngobrol terus keburu magrib."
Bola karet oranye sudah memantul lincah, berpindah dari tangan Bagus ke Gading, pun sebaliknya. Beberapa kali, mereka juga mencetak poin secara bergantian. Tanpa dihitung, sebab tidak ada orang lain selain mereka berdua.
Satu jam telah berlalu, keringat sudah membanjiri seragam Bagus, juga kaos polos Gading. Mereka melempar bola ke samping lapangan, kemudian merebahkan tubuhnya di tengah lapangan. Menatap langit yang hampir menghitam.
Namun, suara batuk Gading mengusik tenang yang terjadi. Membuat rasa panik hampir pada Bagus. Sudah hampir sepuluh menit berlalu, dan batuk Gading tak kunjung reda.
"Lo kenapa sih, Ding? Lo sakit? Kok batuk terus?" tanya Bagus sambil memosisikan dirinya untuk duduk.
"Gue gak pa-pa," ucap Gading di sela-sela batuknya.
Rasanya, Gading ingin menenggelamkan diri. Sebab, tidak ada penawar nyeri yang ia miliki, juga tidak ada uang untuk mengetahui kesehatan dirinya. Mengeluh saja rasanya tidak cukup, rasa nyerinya sungguh membabi buta. Mungkin, ini semua akibat ia kelelahan bermain. Namun, ini aneh. Gading tidak pernah seperti ini sebelumnya.
Kabut mulai memenuhi pikirannya, bersama dengan pikiran negatif yang hadir padanya. Mengusir segala bentuk positif dari sana.
Untung saja, batuknya perlahan menghilang, tetapi nyeri masih terasa. Membuat ia meringis menahan sakit. Membuat Bagus ikut merasa panik akan itu.
"Lo kenapa sih, Ding? Kok kayak kesakitan gitu?"
"Gak pa-pa, cuma kecapekan doang."
"Beneran? Atau mau gue anter ke rumah sakit?"
"Apaan sih? Gue baik-baik aja," ucap Gading meyakinkan Bagus. Padahal rasa nyerinya belum menghilang, tetapi ia tidak mau menunjukkan sakitnya pada Bagus.
"Gus, kayaknya gue gak pantes buat hidup lagi, deh. Sekolah udah dikeluarin, nyari kerja juga gak ada yang mau nerima. Kehadiran gue di dunia ini, kayak nggak ada gunanya sama sekali," ujar Gading kemudian.
"Kalau ngomong yang bagus dong, Ding. Dimana Gading yang gue kenal? Gading yang nggak pernah menyerah walaupun banyak masalah menempa. Yakin aja kalau ada sukses buat lo di masa depan."
"Gue selalu yakin akan itu, tapi nggak pernah dapat jalan buat sukses. Nyatanya, sampai sekarang gue masih di rumah aja, memang gue pantes banget jadi kaum rebahan. Nggak ada kerjaan, cuma nunggu malaikat mau jemput aja."
"Hush, omongannya dijaga, ini hampir magrib, ntar dikabulin lagi. Oh iya, Ding. Waktu itu, lo pernah cerita kalau lo mimpi jadi barista, kan?" Gading mengangguk menyetujui.
"Iya gue pernah mimpi jadi barista, terasa nyata banget malah. Makanya, beberapa hari yang lalu, gue mulai nonton video kayak begituan, siapa tahu nanti jadi ahli."
"Nah, berarti Tuhan udah ngasih petunjuk buat masa depan lo, jadi barista, mungkin? Gimana kalau besok lo nyari kerja di kafe? Siapa tahu emang disitu jalan lo buat sukses."
"Lo bener juga, Gus. Oke deh besok gue coba nyari kerja di kafe, lagian gue udah tahu beberapa teknik racik kopi dari video yang gue tonton. Balik yuk, Gus. Udah azan,"
Sinar rembulan menemani motor Bagus melaju ke rumah. Menyamarkan gelap malam yang pekat. Gading yang tadi berangkat ke lapangan dengan jalan kaki pun, kini menumpang Bagus. Tubuhnya lelah untuk diajak berjalan kaki, memang jaraknya tidak begitu jauh, tetapi Gading merasa lemah. Apalagi ada Bagus yang mengendarai motor, Gading pikir akan lebih menguntungkan jika ia nebeng.
Sampai di rumah Bagus, Gading bergegas untuk mandi, mengenakan sarung dan menjalankan salat bersama Bagus. Gading memang rajin dalam hal apapun, terutama dalam urusan ibadah. Jadi, ia heran dengan masalah yang terus menimpa dirinya. Ibadahnya banyak, tetapi masalah seolah tidak henti menimpa hidupnya.
Padahal kata orang, kualitas hidup manusia itu bergantung dengan ibadahnya. Namun, rasanya hidup Gading tidak. Hidupnya tidak pernah menyentuh kata bahagia walau sebentar. Jujur, Gading ingin menyerah, tetapi ia tidak mau mengakhiri hidup secara paksa. Ia tidak mau mendapat balasan menyakitkan di dunia yang berbeda.
Berkali-kali, Gading ingin menyerah pada hidupnya. Namun, berkali-kali juga Gading diingatkan dalam mimpi. Pengingat akan bahaya melakukan mengakhiri hidup secara paksa. Siksaan yang hadir dalam mimpi Gading pun, terasa menyiksa. Jadi, ia memutuskan untuk tidak melakukan itu. Hingga Gading terus meyakinkan dirinya, jika Tuhan punya rencana yang lebih baik dalam hidupnya. Bahagia akan segera datang dalam hidupnya. Mulai saat ini, Gading tidak akan berpikir untuk bunuh diri, ia akan mengubur keinginannya itu. Gading akan percaya akan takdir indah dalam hidupnya.
|Désespéré|
[TBC]
ODOC BATCH 2 DAY 14
3 Juni 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Désespéré ✓
General FictionMimpi sudah menjadi abu yang hilang terbawa angin. Mungkin, menyerah menjadi pilihan yang paling tepat. Tidak! Gading memilih bertahan dan melepas mimpi, membawa harapan baru untuk ia wujudkan. Baginya, hidup selalu punya kejutan, tidak selamanya me...