Toko bunga depan pemakaman menjadi tujuan Gading saat ini. Setelah menyuruh Bagus untuk pulang, Gading tidak langsung masuk ke area pemakaman. Ia berniat untuk membeli bunga lili kesukaan ibunya. Gading akan memberikan yang ibunya suka, walaupun hidup di dunia yang berbeda. Gading akan memberikan yang terbaik untuk ibunya, walaupun uangnya tidak banyak.
Uang bewarna hijau sudah diterima oleh penjual bunga, Gading tersenyum seraya pergi ke gundukan tanah yang telah ditumbuhi oleh rumput liar. Menaruh bunga lili di atasnya dan merapalkan do'a untuk ibunya sejenak.
Tangannya menengadah ke arah langit, tidak berharap bunga atau uang jatuh di atasnya. Gading hanya berharap do'anya dikabulkan, dan ibunya mendapat tempat yang baik di sisi-Nya.
"Bu, kapan Ibu mau jemput aku? Mbak Mira jahat banget sama aku, dia cuma sayang aku selama dua tahun setelah ibu pergi. Setelah itu, dia jadi perempuan yang buruk lagi. Jarang ada di rumah, sering bentak aku, gak ngasih izin aku sekolah. Sebenarnya, sekarang aku curiga sama Mbak Mira, Bu. Aku curiga kalau Mbak Mira bekerja kayak dulu lagi," monolog Gading.
Ia curhat dengan gundukan tanah yang tidak punya kemampuan menjawab. Namun, ia suka melakukan itu, sebab jarang ada orang yang bisa percaya akan curhatannya. Kecuali, ibunya dan Bagus, tetapi, Gading tidak pernah curhat ke Bagus masalah ini, ia malu. Hanya saja, terkadang Bagus terlalu peka akan keadaan Gading, dan pada akhirnya Gading cerita kehidupannya.
Tangisnya pecah walau tidak ada yang menaruh bawang merah di sana. Air mata sedihnya turun dengan bebas, bersama dengan rintik hujan yang mulai deras. Gading tidak berniat minggir untuk berteduh. Ia tetap diam di tempatnya, sembari mengelus batu nisan bertuliskan nama ibunya.
"Ibu aku kangen, jemput aku secepatnya, Bu. Aku gak sanggup terus-terusan hidup bareng Mbak Mira," ujar Gading yang tentunya tidak mendapatkan jawaban.
Angkasa sudah tidak lagi menangis, Gading pun ikut meredakan sedihnya. Ia bangkit dari posisi duduknya, memutuskan untuk pulang ke rumah Mira. Gading memang takut mendapat marah kembali, tetapi tidak ada pilihan lain selain kembali. Menginap di rumah Bagus lagi, tidak menjadi pilihannya. Tidak ada seragam untuknya sekolah besok, juga tidak enak terlalu merepotkan teman.
Jarak antara makam dengan rumah Mira kurang lebih dua kilometer. Dan, Gading memutuskan untuk pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Bukan tidak punya uang, tetapi Gading tidak ingin terlalu cepat sampai ke rumah. Ia belum siap mendengar ocehan dari Mira. Setidaknya, dengan berjalan, dirinya bisa mempersiapkan diri terlebih dahulu sebelum berdebat.
Gading melangkah dengan yakin di trotoar. Sesekali berhenti dan merangkul tubuhnya yang basah. Hujan memang sudah reda, tetapi, bajunya yang basah belum mengering. Ia kedinginan, dan harus menghalaunya dengan pelukan singkat oleh dirinya sendiri. Memang kegiatannya tidak berbuah manis, buktinya ia masih kedinginan.
"Dek, mau ke mana? Mau bareng sama saya?" tanya seorang pengemudi mobil yang melihat Gading berjalan.
"Gak usah, Pak," tolak Gading dengan senyum manisnya.
"Beneran? Baju kamu basah, gak kedinginan?" tanya pengemudi itu kembali, yang berhasil membuat suara klakson mobil belakangnya memekik di jalan sempit itu.
"Gak, Pak. Mending Bapak duluan aja, kasihan mobil yang ada di belakang, gak bisa lewat," ujar Gading yang membuat pengemudi itu mendesah kasar, dan meninggalkan Gading begitu saja.
Orang yang baik, biasanya bertemu dengan orang yang baik pula. Gading orang yang baik, dan ia jarang menemukan orang baik di sekitarnya. Atau memang dirinya yang tidak peka akan hal itu, entahlah.
🍃🍃🍃
Sampai di rumah, Gading dikejutkan dengan tatapan nyalang dari Mira. Gading malas membalas tatapan itu, ia pun memilih masuk ke kamar tanpa bertegur sapa. Namun, Mira selalu menghancurkan hati Gading yang sudah ditata kembali. Gading yang tadinya sudah lebih baik setelah dari makam ibunya, kini hancur kembali akibat teguran dari Mira.
"Dari mana? Baju basah, muka kusam, rambut gimbal. Udah jadi anak berandal beneran kamu?" ucap Mira dengan nada tegas.
"Bukan urusan, Mbak."
"Jelas urusan Mbak, kamu adik tiri Mbak. Dan, kamu jadi tanggung jawab Mbak setelah ibu meninggal. Jadi, jangan sekali-kali berani nentang ucapan Mbak. Kalau mau sukses, harus punya restu dari Mbak."
"Eh, Mbak bukan Tuhan yang bisa ngatur hidup orang. Aku mungkin bisa sukses tanpa restu dari Mbak. Toh, Mbak gak pernah baik sama aku," ujar Gading yang mulai tersulut marah. Dalam sehari, mereka sudah berdebat dua kali. Tanpa peduli hubungan keluarga, mereka saling mengucap kata benci yang menyakiti hati.
"Kalau Mbak gak pernah baik sama kamu, kamu gak bakal gede kayak gini. Setiap hari, Mbak kasih kamu makan biar kamu tetap hidup, Ding. Masih mau bilang kalau Mbak gak baik?"
"Terserah, Mbak. Aku capek, mau istirahat. Debat sama Mbak gak pernah selesai, malah aku makin capek," ujar Gading dan berlalu ke kamarnya.
Mira masih kesal, tetapi, ia diam dengan kepergian Gading. Mira kembali duduk di sofa ruang tamu dan membaca majalah, guna meredakan marahnya. Punya hobi marah itu melelahkan, suara cepat serak juga tenaga yang cepat menyusut. Namun, Mira suka melakukan itu. Entahlah, manusia memang makhluk yang punya sifat unik.
Gading telah mandi dan berganti pakaian. Perutnya meraung minta diisi, tetapi, ia malas untuk keluar kamar. Malas mendapat amukan dari Mira lagi. Bagi Gading, mending menahan lapar daripada beradu mulut yang bisa menghabiskan tenaga.
Ia memilih membaringkan tubuhnya di atas kasur putih, menahan gejolak lapar dengan minum air yang sudah ia ambil tadi. Namun, tiba-tiba Gading batuk dengan hebat, mungkin efek dari kehujanan tadi sore.
Suara batuknya terdengar menyakitkan. Namun, Gading meyakinkan dirinya kalau batuk itu akibat kehujanan. Ia menepis pikiran buruk akan penyakit parah, yang mungkin menimpa dirinya. Ia takut merepotkan orang lain jika dirinya benar sakit parah. Ia takut tidak bisa mewujudkan mimpinya yang indah, jika benar dirinya sakit parah.
"Kalau sakit, minum obat. Gak usah ditahan sakitnya, Mbak gak mau kalau nanti Caca dan Ani ikut sakit gara-gara kamu," ucap Mira dari balik pintu kamar.
"Siapa yang sakit? Aku baik-baik aja," Gading mengelak.
"Kalau gak sakit, kenapa batuknya gak berhenti-berhenti?" tanya Mira, ia masih di luar kamar Gading. Tidak mau masuk ke dalam dengan alasan takut kelepasan untuk marah. Mira punya sedikit rasa sayang untuk Gading, tetapi, sayangnya akan pudar jika melihat wajah Gading. Entah apa yang membuatnya demikian, intinya, Mira benci melihat muka Gading.
"Mbak peduli sama aku?" tanya Gading dengan senyumnya.
"Mbak cuma gak mau kamu bawa virus buat Caca dan Ani," kata Mira yang kemudian berlalu ke meja makan.
Gading memilih tidur setelah mengobrol dengan Mira tanpa tatap muka. Hatinya sakit, mendapat peduli palsu yang tadi Mira tunjukkan. Gading ingin terlelap dan bertemu dengan alam mimpi yang lebih indah daripada kenyataan.
|Désespéré|
ODOC BATCH 2 DAY 7
26 Mei 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Désespéré ✓
General FictionMimpi sudah menjadi abu yang hilang terbawa angin. Mungkin, menyerah menjadi pilihan yang paling tepat. Tidak! Gading memilih bertahan dan melepas mimpi, membawa harapan baru untuk ia wujudkan. Baginya, hidup selalu punya kejutan, tidak selamanya me...