Masa lalu bukan masa yang harus selalu diingat dan dijadikan ketakutan. Masa lalu hadir untuk memberi pelajaran hidup, juga untuk memberi luka yang harus diobati.
Dengan berdamai pada keadaan, Gading mulai menutup lukanya. Menjalani hidup seolah tidak pernah mempunyai luka itu. Bersenda gurau tanpa ingin mengingat sakit yang terkadang muncul.
Kakak tirinya yang dulu ingin menjadi pribadi yang lebih baik, kini berubah lagi. Bentakan kerap terlontar dari bibir manisnya. Bahkan, Mira kerap berlaku kasar pada Gading yang menjadi kenikmatannya.
Tidak pernah sekalipun, Gading mengeluh mendapat perhatian kasar itu. Toh, tidak ada gunanya, malah menambah dosa yang terus menggunung.
"Mbak, aku main sama Bagus dulu." Gading izin dengan sopan.
"Ya udah sana, nanti kalau mbak butuh kamu, mbak bakal telepon." Gading hanya berdeham menanggapi.
Penumpang gratisan mungkin tepat untuk menggambarkan Gading. Ia tidak membayar sepeserpun untuk tinggal. Tetapi, harus menelan kenyataan pahit setiap hari. Tidak mendapat uang saku jika menentang walau sedikit, tidak pernah juga mendapat perlakuan lemah lembut. Bahkan, Gading sering ditentang untuk berangkat ke sekolah. Gading harus merawat kedua anak Mira di waktu belajarnya.
Kebebasan hidup tidak pernah Gading dapatkan, ia harus mau mengikuti alur hidup yang tidak diinginkan. Tetapi, Gading tetap lapang dada, walau terkadang menangis dalam diam di malam hari. Meratapi hidup yang tidak pernah berpihak kepadanya. Selalu menentang mimpi yang telah Gading susun rapi.
Gading juga pernah beberapa kali keluar alur yang telah ditentukan. Ia pernah menentang Mira ketika membentak. Ia juga pernah kabur dari perlakuan kasar Mira. Tetapi, tidak berakhir baik, Gading dikurung di dalam kamar mandi semalaman. Mulai hari itu, Gading takut menentang walau hatinya ingin.
Di lapangan basket, Gading bertemu dengan Bagus, satu-satunya teman yang ia punya. Bukannya tidak ada yang mau berteman dengan Gading, hanya saja ia terlalu menutup diri.
"Tanding yok, Gus. Bosen gue di rumah terus. Cuma ngurus anak doang. Bukan anak gue, lagi." Gading mengambil bola basket di pinggir lapangan. Memantulkannya hingga ke tengah lapangan dan memulai pertandingan.
Pertandingan belum berakhir, dering ponsel Gading berbunyi nyaring. Menandakan ada telepon yang masuk. Tanpa pikir panjang, Gading mengambil ponselnya dan menekan tombol hijau untuk menjawab.
"Pulang! Mbak mau ngajak kamu ke mall sama Caca dan Ani. Kamu harus ikut, nanti mbak kasih upah makan udon."
"Aku masih main basket sama Bagus, mbak. Aku di rumah aja."
"Gak ada penolakan, atau nanti, kamu mbak kurung di kamar mandi lagi?"
"Oke, aku ikut. Sepuluh menit lagi aku sampai rumah."
Gading kesal lantaran waktu bebasnya telah habis. Padahal, baru setengah jam yang lalu ia keluar rumah. Sekarang, mau tidak mau ia harus pulang. Membawa kesal yang masih bersarang dalam hati.
"Ding, lo kok betah tinggal bareng perempuan nakal itu, sih? Mending tinggal sama gue aja, lagian, gue juga di rumah sendiri. Bokap nyokap gue mah gak peduli, mereka lebih seneng nyari uang, daripada bahagiain anaknya." Bagus memecah hening kala berjalan pulang bersama.
"Sekarang gue masih tahan, kok. Ntar kalau Mbak Mira udah menjelma jadi singa buas, baru gue numpang. Kalau lo gak mau terima gue, gue bisa nyari kos-an."
"Terserah. Tapi, jangan sungkan minta tolong kalau lo butuh, gue akan selalu ada buat lo."
"Dasar! Bucin tingkat dewa." Bagus tersenyum dan masuk ke rumah lebih dulu, meninggalkan Gading yang harus melanjutkan perjalanan hingga rumah.
Rumah minimalis warna abu-abu sudah di depan mata. Terlihat seram walau tidak banyak rumput menggantung. Seram yang hanya ada di pikiran Gading, sebab sifat kakaknya yang galak.
Ia melangkah pasti melewati pintu kayu kokoh. Tatapannya liar ke sembarang arah. Hingga ia menemukan sosok dengan tatap tajam nan menyeramkan. Tatapan yang dulunya sayang, kini berganti dengan tatapan benci.
Gading meremas kedua tangannya, menetralisir takut yang masih menetap dalam tubuhnya. Hingga ia menemukan keberanian untuk bersuara. Tetapi, ucapnya tertahan setelah mendengar tajam suara Mira.
"Besok Senin gak mbak kasih uang saku. Kamu telat lima menit dari janji mu. Gantinya, mbak akan belikan kamu udon di mall." Gading mendengus dan pergi ke kamar untuk berganti baju rapi.
Ia malas menjawab, sebab, jawabnya tidak pernah diterima. Jawabnya selalu ditentang tanpa alasan yang jelas oleh Mira. Kakak tiri yang buruk, tidak menyayangi Gading layaknya menyayangi adik kandung.
Suasana mobil terasa mencekam, untung saja, ada lagu yang bersuara menghalau hening. Hingga sampai di mall, suasana tetap sama, tidak ada yang berubah sama sekali.
"Kamu ajak Caca sama Ani main di timezone, mbak mau ketemu temen dulu. Nih, uangnya. Cukup, kan? Sekalian kamu beli udon pakai uang itu. Jangan disimpan, mbak nggak mau kamu mati kelaparan." Mira berpesan panjang lebar ke Gading. Setelah itu, pergi begitu saja. Meninggalkan Gading dengan Caca dan Ani.
Sudah menjadi kebiasaan Mira untuk selalu memanfaatkan Gading demi kesenangannya. Mira bersenang-senang dengan temannya, sedangkan Gading, harus terjebak di dunia yang tidak ia suka. Dunia anak-anak yang sudah pernah Gading lewati beberapa tahun lalu.
Walau hidup seperti terkurung oleh aturan dari Mira, Gading tidak menyesal. Gading hanya sedikit marah pada keadaan yang tidak bisa mengubah Mira menjadi pribadi yang lebih baik. Gading tidak mau terus menderita di sisa hidupnya. Tetapi, Gading juga tidak mau menyerah sebelum waktunya. Hingga Gading memilih bertahan dengan keadaan yang menyebalkan.
Gading menggandeng Caca di sebelah kiri juga menggendong Ani dengan tangan kanannya. Terlihat seperti laki-laki idaman. Padahal, Gading hanya menjalankan tugasnya sebagai kakak yang baik. Demi mendapat kehidupan juga pendidikan yang layak dari Mira.
Hidup yang miris. Tetapi benar adanya dan harus dijalankan dengan hati ikhlas, tanpa harus mengeluh, tanpa boleh menyerah. Hingga waktu yang harus menjawab, semoga waktu menjawab dengan bahagia yang Gading inginkan.
"Udah sana main, Kak Gading tunggu sini. Jangan lama-lama." Gading membiarkan Caca dan Ani bermain sendiri.
Bukannya Gading ingin abai pada tugasnya menjaga Caca dan Ani. Ia hanya sedikit lelah. Badan dan kedua telapak tangannya banjir keringat di ruangan ber-AC. Sebuah hal yang seringkali hadir pada Gading, tetapi tidak pernah ia pedulikan. Pikir Gading, tubuhnya terlalu berlebihan dalam beraktivitas.
"Kak Gading, aku laper, mau makan." Adu Caca disusul Ani di belakangnya.
"Ayok makan, mainnya udah puas, kan?" Ucap Gading dan dibalas anggukan oleh Caca dan Ani.
Toko udon menjadi tujuan mereka. Memesan makanan dan menunggu pesanan datang dalam diam. Kecuali Ani. Anak kecil yang sangat cerewet. Mulutnya jarang diam walau hanya lima menit.
"Itu mama, kak? Kok malah main sama temannya? Kan aku juga pengin main bareng sama mama. Gak sama Kak Gading terus, bosen." Ucap Ani sambil menunjuk luar toko yang memperlihatkan Mira sedang bersenda gurau dengan temannya.
Gading tersentak dengan pemandangan itu. Pasalnya, Mira berjalan dengan laki-laki berumur. Pikiran Gading mulai menjurus ke hal negatif. Tetapi, buru-buru ditepis dan mulai berpikir positif kembali. Pikirnya, mungkin Mira sedang ada meeting dengan rekan kerja dan baru mencari tempat untuk mengobrol.
|Désespéré|
[TBC]
ODOC BATCH 2 DAY 2
21 Mei 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Désespéré ✓
General FictionMimpi sudah menjadi abu yang hilang terbawa angin. Mungkin, menyerah menjadi pilihan yang paling tepat. Tidak! Gading memilih bertahan dan melepas mimpi, membawa harapan baru untuk ia wujudkan. Baginya, hidup selalu punya kejutan, tidak selamanya me...