Semua orang punya hidup masing-masing, tanpa ada yang tahu masalah pribadi manusia lain. Setiap manusia pasti memiliki sudut pandangnya sendiri, yang rahasia. Tidak ingin dibagi oleh siapapun. Tentunya ada alasan dibalik itu, entah malu berbagi atau malas mendapat respon yang tidak seperti harapan.
Di pagi cerah, ditemani terik matahari yang bersinar terang, Gading melangkah dengan tegas, berbaur bersama pengguna jalan dengan semangat membuncah. Ia dengan kemeja rapi, berniat untuk melamar pekerjaan guna mencari bahagia. Angkot yang sesak pun ia tumpangi, guna menghemat pengeluarannya tanpa pemasukan.
Semalam, Gading telah memantapkan niat untuk mencari kerja. Menjadikan hidupnya lebih bermakna. Ia pun sudah mencari beberapa kafe terdekat tempatnya tinggal. Guna mendapat pekerjaan tetap di sana.
Satu kafe sudah ia datangi, tetapi waktu masih sangat pagi. Hingga, kafe belum buka. Namun, Gading setia menunggu di sana, berharap ada kepastian untuknya bekerja. Hingga satu jam telah berlalu, pekerja mulai berdatangan. Membuat Gading bangkit dan langsung mengobrol singkat bersama.
"Pagi, Mas. Saya ingin melamar kerja, apa ada lowongan?" tanya Gading to the point.
"Eh, saya hanya pegawai disini. Kalau mau melamar kerja, bisa dengan atasan saya. Mungkin, lima belas menit lagi baru datang."
"Oh, begitu, Mas. Ya sudah saya menunggu disini saja," ucap gading seraya mendudukkan tubuhnya di bangku plastik berwarna hitam.
Tangan kanannya menumpu kepala, menunggu bos di kafe ini. Gading cukup bosan, tetapi ia akan menahannya, semua demi mencari masa depan yang bahagia. Mencari kebahagiaan hidup untuknya bertahan di dunia ini.
Tiga puluh menit kemudian, hal yang dinanti oleh Gading datang. Seorang perempuan dengan baju santai masuk ke kafe ini. Semua pegawai pun menaruh hormat padanya. Dengan mengucapkan selamat pagi juga menundukkan kepala mereka.
"Selamat pagi, Mbak," ucap para pekerja yang dibalas senyum manis perempuan muda itu. Mungkin, umurnya kisaran dua puluh tiga tahun.
"Mas, dia atasan saya. Kalau mau melamar kerja, silakan bertemu dengannya. Ayo saya antar ke ruangan beliau," ujar pegawai yang tadi bertegur sapa dengan Gading.
Gading mengikuti langkah pekerja itu, menuju ke ruangan paling pojok yang terlihat mewah. Kemudian, ia mengetuk pintu setelah pekerja yang mengantarnya berlalu.
"Silakan masuk," ucap seseorang dari dalam ruangan itu dengan lembut.
Pintu kaca tidak transparan telah Gading buka, menampilkan perempuan cantik dengan senyum manis. Kemudian, Gading membalas senyumnya juga, hingga mendapat sapaan yang selama ini tidak pernah ia dapatkan.
"Selamat pagi. Ada perlu apa mencari saya?" tanya perempuan cantik itu.
"Eh, saya ingin melamar bekerja disini, Bu. Apakah ada lowongan?"
"Siakan duduk dulu, tapi saya minta tolong jangan panggil saya dengan sebutan 'Bu', saya masih muda," Gading tersenyum dan duduk mengikuti titahnya. "Oke, apa alasan kamu melamar kerja disini? Dan, apa kemampuan yang kamu miliki sehingga ingin bekerja disini?"
Gading gugup ketika hendak menjawab, ia menikmati debar jantungnya yang tidak beraturan. Hingga tenang hadir kembali dalam tubuhnya, membawa suara yang tadi tercekat. Menghilangkan takut berucap kepada perempuan dihadapannya.
"Sebelumnya, perkenalkan nama saya Gading Arisna, umur saya delapan belas tahun," ucapnya lirih, tetapi dengan yakin. "Alasan saya melamar bekerja disini, karena ingin mempunyai penghasilan sendiri. Kemampuan saya yaitu bisa belajar dengan cepat, rasa percaya diri saya juga cukup tinggi."
"Oh begitu, kalau rasa percaya kamu tinggi, kenapa kamu terlihat gugup begitu? Apakah ada yang mengusik pikiranmu?"
Gading diam, menelan air liurnya sendiri hingga terasa sesak di dada. Rasa mengganjal juga timbul di tenggorokannya. Kedua telapak tangannya menjadi berkeringat dingin, sebab takut yang hampir padanya.
Ia menarik napas panjang, guna mencari tenang dalam diri. "Jujur, saya takut dapat penolakan ketika melamar bekerja. Pasalnya, sudah banyak yang menolak saya untuk bekerja di usahanya. Saya tidak ingin mendapat jawaban penolakan yang menusuk hati kembali. Saya kira, hal itu yang membuat saya gugup," Gading tahu jika ucapnya tidak layak untuk dikatakan ketika melamar kerja. Namun, ia ingin jujur dengan calon atasannya. Kalaupun ia ditolak, Gading masih punya semangat untuk mencari pekerjaan di tempat lain.
Perempuan berparas cantik itu terkejut dengan jawaban Gading. Mungkin, isi kepalanya dipenuhi dengan ucapan Gading yang nyeleneh, tetapi terdengar kasihan.
"Oh begitu. Apa kamu tidak sekolah? Bukannya masih delapan belas tahun, yang berarti masih duduk di bangku SMA?"
"Saya dikeluarkan dari sekolah karena tidak bayar uang bulanan," ucap Gading berbohong. Ia tidak mau berkata jujur, sebab tidak mau mendapat pertanyaan lebih mengenai hidupnya. Jika ia jujur banyak membolos, pasti pertanyaan semakin panjang. Mungkin juga, pertimbangan untuknya diterima kerja juga semakin kecil.
"Oke, bagian apa yang ingin kamu lamar?"
"Barista. Sebab, saya sudah sering menonton video mengenai itu. Saya juga sudah beberapa kali berlatih teknik-teknik tersebut dengan barang dan bahan seadanya."
"Walaupun begitu, saya yakin kalau kemampuan kamu belum besar. Gimana kalau jadi pelayan dulu, sekalian belajar teknik meracik kopi dengan pekerja saya?"
"Eh, saya diterima, Bu? Beneran ini?"
"Sekali lagi kamu panggil saya dengan sebutan 'Bu', ucapan saya yang tadi, saya cabut."
Gading tersenyum sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Saya diterima, Mbak?"
"Iya. Kamu bisa bekerja mulai hari ini. Kebetulan, di kafe ini juga kekurangan pekerja. Kamu juga bisa melatih kemampuan kamu menjadi barista, jika kafe ini sepi."
Gading bangkit dari duduknya, berdiri di hadapan bos kafe ini, seraya berkata, "Makasih, Mbak. Makasih udah mau nerima saya bekerja disini," Gading membungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat.
"Oh iya, ini seragam buat kamu. Kebetulan saya sudah menyiapkan untuk beberapa pekerja yang akan melamar bekerja disini."
"Eh, makasih, Mbak. Kalau gitu saya ganti baju dulu, terus mulai bekerja."
"Siapa yang ngizinin kamu keluar ruangan saya sekarang?"
"Belum boleh, Mbak? Ada apa lagi?" tanya Gading kemudian.
"Boleh kok, saya bercanda. Muka kamu lucu kalau lagi bingung," Gading terkekeh dan membalik badan. Namun, niatnya urung karena pikiran yang mengusiknya.
"Mbak, kamar mandi dimana?"
"Keluar dari ruangan saya, terus belok kiri. Kamar mandi ada di pojok."
"Makasih, Mbak."
"Hmm."
Gading senang bukan main, akhirnya penantiannya selama ini terkabul. Keinginannya untuk mendapat penghasilan sendiri terwujud. Dengan ini, ia bisa menabung dan bisa tinggal di kos atau kontrakan. Tidak lagi merepotkan Bagus untuk tinggal bersama. Gading harap, penghasilannya cukup untuk itu.
Senyumnya seolah tidak akan pudar. Pergi berganti baju dengan senyuman, setelah itu pun, ia masih tersenyum. Gading tidak menyangka, ternyata mimpi yang terlihat nyata itu, benar akan terwujud. Ternyata, Tuhan sudah menunjukkan jalannya untuk bahagia. Jalannya untuk meraih sukses. Gading harap, bahagianya tidak hanya sampai disini saja, tetapi terus berlanjut hingga maut menjemput.
|Désespéré|
[TBC]
ODOC BATCH 2 DAY 15
3 Juni 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Désespéré ✓
General FictionMimpi sudah menjadi abu yang hilang terbawa angin. Mungkin, menyerah menjadi pilihan yang paling tepat. Tidak! Gading memilih bertahan dan melepas mimpi, membawa harapan baru untuk ia wujudkan. Baginya, hidup selalu punya kejutan, tidak selamanya me...