Menelan obat pahit, merupakan rutinitas Gading saat rasa nyeri menyerangnya. Ia tidak kuat jika hanya menahan tanpa pereda, memberi sugesti diri tanpa penawar. Sakit malah semakin mendera jika Gading tidak menelan pil pahit.
Saat ini, Gading ada di tempat karantina, bersama juara satu dan dua lomba barista tingkat nasional. Gading mengikuti pelatihan racik kopi dengan guru yang andal. Mengamati dengan seksama, dan mempraktikkan dengan benar. Hingga, banyak teknik sudah Gading kuasai dalam waktu singkat.
Gading bersyukur memiliki otak yang gampang menangkap ilmu, hingga tidak butuh waktu lama untuk belajar.
Namun, bukan sekolah yang menjadi jalannya untuk menyalurkan kecerdasan. Melainkan, menjadi barista, dan belajar berbagai teknik hingga namanya menjadi kebanggaan. Gading Arisna, seorang barista muda yang mahir.
"Oke, hari ini kita selesai. Silakan istirahat," ucap pelatih.
🍃🍃🍃
Hari yang ditunggu-tunggu, akhirnya tiba. Hari di mana Gading menerima giliran untuk tes jantung. Dua hari sudah Gading menunggu antrian untuk tes jantung, hal ini terjadi karena ada banyak orang yang ingin mengecek kesehatan tubuhnya. Terutama orang yang ber-uang, walaupun tidak sakit, tetapi tetap memeriksakan tubuh. Opini mereka, mencegah lebih baik daripada mengobati.
Sebenarnya, Gading takut menerima fakta yang kemungkinan buruk. Namun, Gading harus siap dengan itu. Ia harus kuat menerima semua ujian dari Tuhan. Toh, Tuhan memberi ujian manusia sesuai dengan kemampuannya.
"Mas, saya izin ikut pelatihan hari ini. Ada acara penting. Boleh?" tanya Gading kepada pelatihnya.
"Hmm? Gimana, ya?" Sang pelatih tampak berpikir, dahinya mengkerut dan kembali berucap, "Kalau benar-benar penting, silakan tidak ikut latihan hari ini. Kamu juga udah bisa diandalkan di lomba nanti. Kemampuan kamu di atas rata-rata."
Gading tersenyum, dan pergi meninggalkan ruangan berbau kopi. Hotel tempat karantina Gading, memang ada sebuah ruangan untuk meracik kopi. Tepatnya, di kafe hotel yang cukup luas.
Gading melangkah dengan tegas, berusaha menghilangkan getar khawatir yang ia rasakan. Mencoba membuang rasa takut untuk bertemu dokter, yang terus menghujamnya. Hingga Gading sampai di depan hotel, mencegat ojek online yang sudah ia pesan.
Tangannya saling bertautan, menyalurkan berani yang belum kunjung hadir. Bahkan, perih mulai menjalar di sana, sebab ada goresan kuku panjang di kulit sawo matangnya. Membuat Gading mengaduh dengan lirih, enggan mendapat tanya dari pengemudi ojek.
Sampai di rumah sakit, Gading langsung membayar kontan ojek yang ia tumpangi. Kemudian, masuk ke bangunan berbau obat, berwarna putih, juga dengan suasana yang menyeramkan.
Kepalanya menunduk, menunggu gilirannya bertemu dokter. Namun, sesekali tatap matanya berkeliaran, mencari sosok perempuan yang ia harapkan ada. Gading tahu dan sangat yakin, jika Mira akan hadir bersamanya hari ini. Bukan tanpa alasan Gading berpikir demikian. Hal ini ia lalukan, sebab ucapan dokter tempo hari, yang mengatakan kalau Mira membayar tes jantungnya.
Namun, harapan tetap sebuah harapan, tidak mungkin menjadi fakta yang menyenangkan. Gading tidak menemukan sosok itu hingga gilirannya tiba. Gading masuk ke ruangan dokter, menyunggingkan senyum sebagai tanda hormat, sebelum duduk di hadapannya.
"Gading Arisna?" Gading mengangguk ketika dokter memastikan kebenaran nama pasien.
"Saya kenapa, Dok?" tanya Gading dengan lirih, menyisakan debar jantung yang tidak teratur. Takut dan khawatir dengan keadaan tubuhnya.
"Belum dilakukan tes, udah tanya kenapa, dasar anak muda. Silakan berbaring dulu." Dokter itu terkekeh sekaligus memberi titah kepada Gading.
Ranjang pesakitan yang semula kosong, kini menjadi tempat Gading berbaring. Alat medis pun sudah menempel di bagian tubuh Gading. Dokter hanya mengamati dalam diam, melihat aktivitas listrik jantung Gading.
"Takut? Cuma tes doang aja takut, jadi laki-laki jangan cemen, dong," ucap Dokter setelah tes telah selesai sembari duduk di hadapan pasien.
"Takut hasilnya, Dok. Bukan takut tesnya."
"Oh, gitu. Kamu ke sini sendirian? Wali kamu ke mana? Yakin, mau tahu fakta mengenai tubuhmu sendiri?"
"Saya nggak punya siapa-siapa, Dok. Langsung kasih tahu saya aja, saya siap, kok. Apapun hasilnya, saya akan terima dengan lapang dada."
"Diagnosa saya terhadap penyakit kamu setelah menjalankan serangkaian tes, yaitu aritmia."
Deg.
Gading kelimpungan mencari kekuatan, ia membeku di tempat duduknya. Menahan air mata ketika mendengar fakta baru. Self diagnosis-nya ada benarnya, kelainan irama pada jantung. Namun, ia tetap terkejut dengan fakta itu. Kebenaran melalui mulut seorang ahli, memang mudah dipercaya, daripada dugaan yang belum tentu benar.
"Kenapa saya bisa kena penyakit itu? Saya masih muda, jarang makan junk food. Ini beneran, Dok?" ucap Gading dengan nada sendu.
"Penyakit itu, nggak mengenal orang untuk mulai menyerang. Tua, muda, miskin, kaya, semua bisa terserang penyakit. Aritmia terjadi karena beberapa hal, misalnya stres berlebihan, merokok, mengonsumsi minuman berkafein dan beralkohol, ada juga penyebab lainnya."
"Ya sudah, terima kasih sudah memberi tahu fakta ini. Oh iya, Dok, kalau saya menunda pengobatan hingga dua sampai tiga minggu, apakah menjadi masalah?"
"Ada beberapa kasus aritmia yang berdampak pada gagal jantung atau bahkan henti jantung mendadak. Jadi, lebih baik lakukan pengobatan secepatnya. Kamu masih muda, harus punya semangat untuk hidup."
"Saya ada kompetisi barista, Dok. Kira-kira dua minggu lagi, setelah itu, saya akan melakukan pengobatan dengan baik, saya akan berjuang untuk sembuh."
"Sekarang, kamu saya beri obat warfarin dulu, untuk menurunkan risiko penggumpalan darah. Setelah lomba, secepatnya lakukan pengobatan."
"Iya. Oh iya, emang pengobatannya apa saja, Dok. Maaf, kalau saya banyak tanya." Gading terkekeh mengakhiri ucapan tanyanya.
"Ada ablasi, Implantable cardioverter-defribilator, pemasangan alat pacu jantung."
"Saya nggak akan tanya detailnya, sekali lagi, terima kasih, Dok." Gading meninggalkan ruangan dokter dengan perasaan nano-nano. Takut, sedih, khawatir, semua jadi satu. Hingga tidak ada bahagia sama sekali dalam dirinya.
Gading meninggalkan rumah sakit, tetapi belum sampai ujung pintu utama, ia terjatuh. Menabrak seseorang dengan bau yang tidak asing. Ia mengangkat kepalanya, menyunggingkan senyum guna memberi sapa.
"Mbak Mira, ngapain ke sini? Mbak sakit? Atau mau tahu hasil tes aku?" tanya Gading kemudian, setelah menghapus jejak air mata yang tadi bercucuran.
"Kalau jalan lihat-lihat, dong! Bahu saya jadi sakit kena badan kamu yang tulang semua! Oh iya, jangan kepedean, saya nggak pernah peduli sama kamu, saya ke sini mau jenguk teman."
"Oh, gitu. Mbak, makasih udah bayarin tes jantung aku. Kalau gitu, aku pergi dulu." Lagi-lagi, Gading menyimpan kecewa atas perlakuan Mira, yang tidak pernah mau tulus sayang kepadanya. Namun, Gading juga percaya pada Tuhan, bahwa takdir bisa melembutkan hati seseorang. Hati yang dulu membenci, bisa menjadi mencinta. Toh, takdir memang rahasia.
Di sisi lain, Mira juga kecewa pada dirinya sendiri, sebab tidak bisa lembut dalam berucap. Tidak bisa menurunkan gengsi di hadapan Gading. Hingga, ia harus kembali menorehkan luka di hati adik tirinya.
|Désespéré|
[TBC]
ODOC BATCH 2 DAY 24
12 Juni 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Désespéré ✓
General FictionMimpi sudah menjadi abu yang hilang terbawa angin. Mungkin, menyerah menjadi pilihan yang paling tepat. Tidak! Gading memilih bertahan dan melepas mimpi, membawa harapan baru untuk ia wujudkan. Baginya, hidup selalu punya kejutan, tidak selamanya me...