Bau obat langsung menusuk indra penciuman begitu Gading membuka mata. Ia mengerjap perlahan, mencari fokus yang masih bertaburan. Hingga suara Mira berhasil membuatnya menemukan fokus
"Sok sakit, enak?" tanya Mira dengan tajam, membuat Gading bergidik, dan ia memilih diam tanpa memberi tanggapan.
"Jadi orang kok seneng pura-pura, Mbak rugi gara-gara bayar rumah sakit kamu. Pokoknya, kamu harus ganti rugi, gak mau tahu." Mira bersedekap, membuang raut panik yang tadi kentara. Menyisakan ekspresi biasa, dan bisa dibilang menyeramkan.
"Makasih udah mau nolongin aku, Mbak." Gading menjawab dengan lirih, sebab suaranya masih sedikit tercekat. Napasnya pun masih putus-putus, hingga ia harus menggunakan alat bantu napas.
"Saya nolongin kamu karena terpaksa, gak mau dilihat orang-orang jadi kriminal. Apalagi, tadi ada darah di dekat kamu. Sial banget pokoknya, ganti rugi sekarang juga, atau mau saya bunuh?" tanya Mira sadis.
"Astaghfirullah, Mbak nggak punya rasa sayang sama sekali ke aku? Kalau mau bunuh aku, gak pa-pa, aku ikhlas. Toh, aku gak punya alasan untuk hidup lagi. Semangatku untuk terus bertahan, sudah hilang dengan sendirinya. Aku juga pengin nyusul ibu, tapi---"
"Alah, basa-basi sampah! Sana tidur, saya mau nyari duit aja. Gak jadi bunuh kamu, males hidup di penjara." Mira berbalik badan meninggalkan Gading, tetapi ia malah membeku di balik tirai yang menutup ranjang pesakitan Gading.
Mira diam, merenungi ucapnya yang terbilang kasar juga tajam. Ia mendesah, ingin marah pada dirinya sendiri. Ia kecewa, sebab tidak bisa menghilangkan gengsi ketika berhadapan dengan Gading.
Jujur saja, Mira tidak tega melihat Gading sakit, hingga terbaring lemah di ranjang pesakitan. Namun, ucapnya tidak bisa lembut, malah bentakan yang keluar tanpa jeda. Mira kembali menggoreskan luka di hati Gading yang rapuh.
Di balik tirai itu, Mira mengepalkan tangan erat, menyalurkan kecewanya. Hingga ia memilih pergi dari rumah sakit. Namun, semesta tidak mengabulkan niatnya. Mira mendengar Gading merintih kesakitan, membuatnya harus melirik sejenak, kemudian memanggil dokter untuk memeriksa.
"Dok, tolong. Adik saya terlihat kesakitan." Mira berujar kepada dokter yang menangani Gading, setelah berlari di lorong panjang rumah sakit. Bahkan, tarikan napasnya masih tidak beraturan.
Laki-laki dengan kalung stetoskop berjalan dengan langkah tegas, meninggalkan kursi kebanggaannya, guna memeriksa pasien yang membutuhkan. Kemudian, memicingkan mata kala bulatan dingin menempel di dada pasien, sebab denyut jantungnya berbeda dengan manusia pada umumnya.
Dokter itu, meminta obat yang dibutuhkan pada suster, menyuntikkannya perlahan, hingga Gading tak lagi merintih sakit. Berganti dengan mata yang kembali memejam sempurna.
"Dia kenapa, Dok?" tanya Mira.
"Saya rasa ada yang tidak beres dengan jantungnya."
"Terus apa yang harus dilakukan agar dia tidak lagi kesakitan seperti itu?"
"Setelah dia sadar dan merasa lebih baik, saya kira, perlu dilakukan tes terhadap jantungnya. Hal ini dilakukan, agar kita tahu penanganan yang benar untuk diberikan kepadanya."
"Lakukan yang terbaik, Dok. Berapapun biayanya, saya nggak masalah, yang penting dia gak tersiksa dengan sakitnya."
"Baik, panggil saya jika dia sudah sadar." Mira mengangguk menyetujui.
Mira itu sayang kepada Gading, hanya gengsi untuk mengungkapkan. Mira memang sering berlaku keras kepada Gading, tetapi dengan alasannya. Ia galak, sering membentak, sering menggoreskan luka di hati Gading dengan sebab. Mira ingin memberikan pelajaran hidup paling berat untuk Gading. Berharap Gading kuat dengan segala rintangan hidup di dunia luar.
Namun, ternyata caranya salah. Sekarang, Mira sadar dengan itu. Gading malah tersiksa dengan caranya, Gading semakin terpuruk dengan itu. Bahkan, kini semesta yang bertindak untuk menegur Mira. Mengatakan bahwa Gading tidak baik-baik saja, Gading tidak punya siapa-siapa yang memberinya semangat hidup.
"Maafin Mbak, Ding. Selama ini, Mbak terlalu keras sama kamu, Mbak sering maki kamu cuma karena kamu memberi nasihat. Sebenarnya, Mbak juga memikirkan ucapan kamu, tapi belum bisa berhenti dari dunia itu. Mbak masih butuh uang untuk membiayai hidup Caca dan Ani." Mira berucap lembut sembari mengelus rambut Gading yang basah akibat keringat. Air mata pun turut andil di sesal yang Mira ucapkan.
"Mbak pengin kamu sehat, Ding. Kita mulai hidup baru bersama. Mbak nggak akan marah sama kamu lagi, Mbak nggak akan bentak kamu lagi. Mbak nggak bakal ngasih pelajaran hidup ke kamu seberat kemarin. Mbak janji," ucap Mira sembari mengelap air mata yang keluar dengan sendirinya. Ia menangis dalam diam, menangkal sesak di dada yang terasa menyiksa. Bahkan, panas mulai menjalar hingga tenggorokan.
Punggung tangan Gading yang terpasang selang infus, digenggam erat oleh Mira. Ia menciumnya berkali-kali, sebelum Gading bangun. Mira takut ketahuan memiliki rasa sayang kepada Gading. Ia masih belum bisa menampilkannya dengan cuma-cuma. Ia masih gengsi untuk menyampaikan sayang, juga menampilkan perasaan yang sebenarnya. Hingga Mira memilih menyalurkan sayang dalam diam.
🍃🍃🍃
Detik jarum jam berbunyi dengan teratur, dan waktu terus berjalan tanpa bisa dihentikan. Gading masih setia memejam. Bahkan, belum ada tanda-tanda sama sekali untuk bangun.
Mira juga masih setia di samping Gading, menunggu dengan cemas dan takut. Ada dua ketakutan dalam dirinya, takut Gading tidak bangun, juga takut Gading merekam ungkapan sayangnya yang tadi ia lontarkan.
"M-Mbak, aku kenapa?" Gading mengerjapkan mata setelah sadar, seraya bertanya dengan lirih, sebab tenaga yang belum kumpul.
"Baru bangun tidur. Memangnya kamu kenapa?" jawab Mira dengan nada cukup lembut, tidak seperti biasanya. Ia akan mengubah caranya bersikap sedikit demi sedikit. Enggan melukai Gading lebih dalam lagi.
"Bukan itu maksudku, kenapa aku ada di sini? Aku sakit apa?"
"Gak tahu, kata dokter kamu harus tes jantung. Katanya, ada yang gak beres." Mira berucap santai, tetapi tidak dengan dengan tangannya, yang terus meremat saling menguatkan. Ia tidak tega berkata demikian, tetapi ia harus jujur kepada Gading.
"Oh gitu, gak usah aja, Mbak. Aku gak pa-pa, gak mau buang-buang uang juga, mending ditabung."
"Kalau kamu mati tiba-tiba, siapa yang mau ngurus? Gak ada! Saya juga nggak sudi! Sembuh dulu, nyari teman yang banyak, buat ngurus kalau kamu nanti mati." Sungguh, Mira menahan sesak di dadanya ketika berucap. Ia tidak bisa memaksa Gading dengan ucap yang halus, hingga ia harus merangkai kata kasar untuk membujuk.
"Benar juga. Ya udah aku mau tes jantung. Oh iya, kok Mbak nggak pulang? Tadi, katanya mau pulang?"
"Lo kesakitan, nggak ada orang. Gue panggilin dokter, sekalian nunggu lo sadar. Nih, mau pulang. Jangan lupa lakuin kemauan dokter, jangan mati tiba-tiba, nggak ada yang mau ngurus." Gading berdeham seraya Mira meninggalkannya sendiri, di ruang rawat yang sepi.
Tujuan Mira meninggalkan Gading, hanya untuk memanggil dokter. Menyuruh melakukan tes secepatnya, agar tidak lama kemudian, bisa tahu hasil kesehatan Gading. Mira juga sekaliam membayarkan uang untuk tes jantung, yang akan dilaksanakan oleh Gading. Mira benar-benar memberikan perhatian dalam diam.
|Désespéré|
[TBC]
ODOC BATCH 2 DAY 22
11 Juni 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Désespéré ✓
General FictionMimpi sudah menjadi abu yang hilang terbawa angin. Mungkin, menyerah menjadi pilihan yang paling tepat. Tidak! Gading memilih bertahan dan melepas mimpi, membawa harapan baru untuk ia wujudkan. Baginya, hidup selalu punya kejutan, tidak selamanya me...