Seluruh pakaian Gading yang ada di lemari, ia kemas ke dalam tas sekolah. Untung seluruh pakaiannya tidak banyak, jadi muat masuk ke dalam tas berukuran sedang itu.
Sore hari kali ini, ia sudah membulatkan tekad untuk kabur dari rumah Mira. Sebenarnya bukan kabur, hanya sadar diri bahwa keberadaannya disini tidak dianggap.
Setelah selesai melakukan kegiatannya, Gading duduk di atas kasur sejenak. Mengingat perlakuan baik Mira yang dulu pernah diterimanya. Mengingat kenangan masa lalu yang indah. Namun, ingatan adalah semu, tidak bisa diulang lagi kejadiannya. Hanya bisa dikenang tanpa bisa dirasakan.
Gading menggendong tas sekolahnya, menemui Caca dan Ani sebelum beranjak kabur. Berpamitan kepada dua anak kecil yang selama ini ia rawat.
"Loh, Kak Gading mau ke mana?" tanya Caca ketika pintu kamarnya dibuka Gading.
"Mau main sama Kak Bagus."
"Oh, jangan lama-lama, Kak. Kata Mama, nanti kita sama Kak Gading mau diajak ke taman bermain. Kak Gading ikut, kan?"
"Cuma bentar doang kok mainnya, tapi kayaknya Kak Gading gak bisa ikut main bareng kalian, deh."
Caca terbelalak memandang Gading, "Kenapa gak ikut? Biasanya, Kak Gading selalu ikut main bareng kita."
"Gak pa-pa, mulai saat ini Kak Gading gak mau ikut kalian main lagi. Jadi, kalian main sama Mama aja."
"Ih, Kak Gading gak seru, ya udah sana main sama Kak Bagus aja. Caca marah," Caca mengerucutkan bibirnya, juga menghindari tatap mata Gading.
Gading gemas dengan raut Caca yang lucu, ia pun mengacak rambut Caca dan segera keluar kamar. Menapak dengan yakin ke jalanan komplek dan tidak akan menoleh ke belakang. Tidak akan melihat rumah minimalis berwarna abu-abu lagi.
Ia akan melupakan semua kenangannya di sana. Ia akan memulai hidupnya yang baru. Gading harap, hidupnya setelah keluar dari rumah Mira, menjadi lebih baik. Sebab, ia sudah bebas dari kekang tak kasat mata.
🍃🍃🍃
Gading tidak punya tujuan yang jelas. Sudah hampir satu jam, ia masih tetap berjalan. Sandal hitamnya pun akan mengumpat lelah jika ia bisa berkata. Namun, Gading abai dengan rasa lelah yang hadir pada dirinya. Ia tidak akan berhenti begitu saja, sebelum menemukan tempat untuk tinggal.
Hingga suara azan membuatnya terdiam, mencari keberadaan masjid untuk menunaikan kewajibannya. Bagi Gading, masalah boleh menempanya sebanyak mungkin. Namun, ia akan selalu ingat, bahwa Tuhan memiliki rencana dibalik masalah yang diberikan. Rencana terbaik yang tidak bisa dijangkau oleh pikiran manusia.
Celana jeans yang ia kenakan, kini berbalut sarung milik masjid. Sebenarnya, salat menggunakan celana tidak masalah, tetapi Gading tidak biasa dengan itu. Ia tidak pernah salat mengenakan celana.
Gerakan salatnya terlihat lentur mengikuti perintah imam. Hingga salam telah dilakukan, kemudian bersalaman dengan jamaah lain. Merapalkan doa dengan khidmat bersama, juga berselawat setelahnya.
Hatinya yang semula bergemuruh, kini menjadi tenang. Walaupun doa tidak bisa membuat masalah hilang, setidaknya doa bisa membuat hati tenang. Toh, ketenangan adalah hal yang paling dicari oleh mayoritas orang.
"Pak, di masjid ini apa masih butuh marbot? atau tukang bersih-bersih? Kalau ada, saya mau," kata Gading pada imam salat setelah jamaah bubar.
"Gak ada, Dek. Memangnya kenapa Adik tanya seperti itu? Adik tinggal dimana? Kok selama ini, saya gak pernah lihat Adik."
"Gak pa-pa, Pak. Kalau begitu, saya permisi. Assalamualaikum," Gading tersenyum dan segera meninggalkan masjid yang sudah tampak sepi.
Gading kembali menapaki trotoar, mencari tempat tinggal, tetapi tak kunjung menemukan. Rasa lelahnya begitu terasa, hingga ia memilih duduk di warung kopi kecil. Menghilangkan rasa lelah dan kantuknya yang tidak bisa ditahan. Memang waktu belum larut, tetapi sungguh, Gading merasakan kantuk luar biasa. Bahkan, dirinya hampir limbung ketika berjalan. Untung, ada suara klakson motor keras, yang bisa menyadarkan Gading dari rasa ingin tidurnya.
"Bu, kopi satu," pesan Gading sambil mendudukkan dirinya di bangku kayu. Menikmati semilir angin yang terasa menusuk tulang. Bajunya yang tipis, membuat angin dengan mudah menyapanya.
Kedua telapak tangannya saling bergesekan, menciptakan hangat yang tidak begitu kentara. Setidaknya, rasa dingin sedikit berkurang dengan kegiatan itu.
"Ini pesanannya, Dek," ucap si penjual seraya meletakkan segelas kopi hitam di hadapan Gading.
"Makasih, Bu."
Gading menyesap kopinya perlahan, sambil melayangkan pikirannya ke kejadian di masjid tadi.
"Mungkin Tuhan punya rencana yang lebih baik buat gue, gak pa-pa gak jadi tukang bersih-bersih masjid. Masih ada jalan lain untuk melanjutkan hidup," batin Gading meyakinkan dirinya bahwa dia akan baik-baik saja.
"Woi!" teriak pengendara motor sambil menyalakan klakson, yang sukses membuat Gading terkejut.
Dadanya nyeri akibat itu, hingga Gading mengelusnya perlahan. Menetralisir rasa nyeri dan menoleh untuk mengetahui pelaku yang mengagetkannya.
"Gus, ngapain kesini?" ucap Gading setelah mendapati Bagus meringis memamerkan gigi rapinya.
"Tadi habis nyari makan, terus lihat lo, gue samperin dong."
"Nyari makan kok jauh banget? Gak ada kerjaan ya, lo?"
"Suka-suka gue lah, ngapain lo disini? Bawa tas lagi, gak biasanya," ujar Bagus curiga.
"Kabur gue, udah males banget sama perlakuan Mbak Mira."
"Terus, lo mau tinggal dimana? Kenapa nggak ke rumah gue aja? Kan gue udah ngasih tempat buat lo, Ding."
"Gue bingung juga mau tinggal dimana, dari tadi nyari tempat, belum ketemu juga."
"Ya udah tinggal sama gue aja, lagian di rumah gak ada siapa-siapa selain Bibi sama gue."
"Gue gak enak ngerepotin lo terus, terus kalau Mbak Mira tahu gue ada di rumah lo, kayaknya dia bakal marah, deh. Gue mau nyari tempat lain aja, Gus."
"Gak ada penolakan. Buruan bayar kopi lo, terus pulang ke rumah gue," Gading mendesah dan menurut perkataan Bagus.
Ia membayar kopinya, dan segera membonceng Bagus menuju rumahnya. Hatinya masih bimbang akan keputusan ini, tetapi Gading tidak enak hati jika terus menolak. Apalagi Bagus juga kesepian di rumahnya, mungkin dengan Gading tinggal di sana, Bagus tidak merasa sepi lagi.
Motor Bagus sudah melaju bersama pengendara lain. Menikmati polusi udara yang menyesakkan dada. Bahkan, sesekali Gading batuk akibatnya. Dadanya pun ikut nyeri walau tidak begitu menyiksa.
Pikiran negatif kembali hadir pada Gading, tetapi dengan cepat, ia menepisnya. Walau tidak mudah, tetapi ia harus melakukan itu. Semua karena kebaikannya. Pikiran negatif akan membuat sugesti negatif pada diri sendiri. Pikiran positif pun demikian.
"Lo baik-baik aja, Ding. Lo gak sakit. Nyeri di dada cuma sebagai tanda kalau lo masih hidup," batin Gading sembari mengelus dadanya. Juga merapalkan doa agar tidak ada penyakit yang bersarang di tubuhnya.
Sebenarnya, Gading ingin mengecek kesehatan di rumah sakit, tetapi ia tidak punya uang. Tidak mau juga merepotkan orang lain. Jadi, ia hanya bisa memendamnya tanpa berbagi kepada siapapun, selain Tuhan.
|Désespéré|
ODOC BATCH 2 DAY 13
2 Juni 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Désespéré ✓
General FictionMimpi sudah menjadi abu yang hilang terbawa angin. Mungkin, menyerah menjadi pilihan yang paling tepat. Tidak! Gading memilih bertahan dan melepas mimpi, membawa harapan baru untuk ia wujudkan. Baginya, hidup selalu punya kejutan, tidak selamanya me...