|9| Mira Marah

1K 100 0
                                    

Seperti janjinya kepada asisten rumah tangga tadi siang, Gading menggantikan pekerjaan rumah yang belum dilakukan. Gading akan mencuci baju dan mengepel lantai. Ia tidak masalah akan hal itu, tetapi takut masih hadir pada dirinya, hingga tubuhnya gemetar dalam melakukan kegiatan apapun.

Tangannya memang lincah dalam menggerakkan pel, tetapi getar tangannya begitu kentara. Tubuhnya melakukan pekerjaan rumah, berbeda dengan pikirannya yang terus berkeliaran. Gading terus memikirkan ucapan yang harus ia lontarkan, ketika berhadapan dengan Mira.

Setelah tugasnya selesai, Gading bergegas ke kamar Ani dan Caca. Melakukan tugas yang sebenarnya, sebagai perawat dua anak kecil tanpa bayar.

Kedatangan Gading ke kamar mendapat sambutan hangat dari Ani dan Caca. Ani yang langsung memeluk Gading erat, dan Caca mengajak Gading bermain boneka.

"Kak Gading dari mana? Sekolah? Ayo kita main boneka," ujar Caca.

Sebenarnya, Gading ingin menolak permintaan Caca, tetapi ia tidak mau membuat Caca menangis. Ia tidak mau tenggelam dalam drama tanpa akhir lagi. Pada akhirnya, Gading menuruti Caca dengan terpaksa.

"Iya dari sekolah," bohong Gading yang dipercayai oleh Caca. Anak kecil memang gampang percaya, dunianya masih indah. Belum banyak kebohongan yang muncul.

Di tangan Gading sudah ada boneka kuda poni berwarna merah muda, ia memainkannya mengikuti alur cerita dari Caca. Dongeng abstrak yang terdegar lucu ketika diceritakan, membuat Gading tersenyum.

"Princess Caca pergi ke pasar naik kuda poni untuk membeli wafer, terus ketemu dengan kakek tua yang ganteng. Setelah itu, Princess Caca diberi uang recehan dengan cuma-cuma. Tak lupa--"

"Caca main sama Ani dulu ya, Mama mau ngobrol sama Kak Gading bentar. Nanti main lagi," ujar Mira yang baru saja membuka pintu kamar, dan berhasil memutus cerita karangan Caca begitu saja.

"Iya, Ma. Jangan lama-lama, aku lagi seru banget ini mainnya," Mira mengganguk menyetujui.

Gading melangkah mengikuti Mira dengan pandangan ke bawah. Tidak berani menatap ke depan, sebab, ia masih belum siap mendapat bentakan yang kemungkinan lebih keras dari biasanya. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti secara paksa. Mukanya terkena punggung Mira yang membuat Gading terjatuh.

"Punya mata itu dipakai, nggak malah lihat ke bawah terus!" Mira membentak.

Gading bangkit dari posisinya seraya berkata, "Maaf, Mbak."

"Basi! Maaf doang gak ada gunanya," Mira menjeda ucapannya, mengumpulkan tenaga dan segera memulai hobinya untuk marah.

Plakk! Plakk!

Tamparan keras begitu saja mendarat ke dua sisi pipi Gading. Hal itu membuat Gading berkaca-kaca menahan perih. Sungguh, kali ini Gading sangat takut. Ia tidak pernah merasa setakut ini, tetapi kasus kemarahan Mira kali ini benar-benar membuat nyalinya menciut. Ia takut diusir dari tempat ini, rumah yang selama tiga tahun ia tempati.

Sebenarnya, Gading ingin pindah, tetapi belum menemukan tempat yang cocok. Ia juga belum memiliki uang yang cukup untuk pindah dari rumah Mira.

"Kamu ngapain ngikutin Mbak ke hotel? Kamu gak percaya sama Mbak?" tanya Mira dengan kilat marah yang menusuk, membuat dada dan tenggorokan Gading terasa panas. Menahan air mata yang seolah-olah siap untuk keluar.

"Jawab! Mau Mbak kasih hadiah tamparan, lagi?" Gading bergidik dan berusaha mengumpulkan nyalinya untuk berucap. Meyakinkan dirinya bahwa tidak akan terjadi apa-apa setelah ia menjawab.

"Aku penasaran sama alasan Mbak jarang di rumah," ucap Gading lirih.

"Terus, sekarang udah tahu jawabannya?" Gading mengangguk menanggapi.

"Maaf, Mbak. Aku gak akan ngulangi kesalahan ini lagi. Tapi, aku mohon sama Mbak. Jangan jadi perempuan gak baik kayak dulu lagi, kasihan suami Mbak nanti," Gading bersuara, tetapi ia masih takut untuk menatap ke depan. Sebab, ucapannya tidak enak hati jika didengar, dan ia melakukan itu sekadar menasihati Mira.

"Jangan berani ngatur urusan, Mbak. Mbak melakukan hal ini buat kelangsungan hidup kita, biar kita hidup tanpa kekurangan. Mbak melakukan ini demi kebaikan kita, Ding."

"Apa gak ada cara lain, Mbak? Katanya Mbak mau berubah jadi pribadi yang baik, kenapa sekarang jadi kayak gini lagi?" Gading yang tadinya takut, mulai terbawa alur pembicaraan. Hingga ia berani bersuara walau masih terdengar lirih.

"Jadi orang yang baik, Mbak ngerasa kurang dalam hal apapun. Gak bebas dalam memenuhi gaya hidup Mbak yang serba mewah. Mbak nggak mau ngasih Caca dan Ani kehidupan yang gak baik. Udah kamu gak usah peduliin cara yang Mbak pilih buat bertahan. Kalau kamu gak mau ikut Mbak, kamu bisa meninggalkan rumah ini. Malah, beban yang Mbak tanggung jadi berkurang."

"Karma itu nyata, Mbak. Aku bilang kayak gini, cuma pengin Mbak sadar, kalau ada pilihan yang lebih baik daripada jadi perempuan murahan," Gading meninggalkan Mira yang termenung di ruang tamu, ia pergi keluar rumah untuk menemui Bagus. Ia ingin bertukar cerita dan mendapat pencerahan dari teman satu-satunya.

🍃🍃🍃

Gading melangkah dengan yakin melewati jalanan beraspal. Hingga rumah Bagus sudah ada di depannya, dan ia segera memanggil Bagus. Hanya butuh waktu sekitar lima menit hingga Bagus menemuinya.

"Ngapain malem-malem ke rumah gue?" tanya Bagus.

"Bosen debat sama Mbak Mira, pengin cari suasana hidup yang adem ayem."

"Lah, ternyata seorang Gading bisa bosen debat juga. Pasti ada hal lain, kan?" Gading mengangguk.

"Gue jarang cerita mengenai kehidupan gue ke lo, Gus. Tapi, gue gak bisa nahan ini sendirian. Mbak Mira bekerja kayak dulu lagi," Bagus terkejut, tetapi ia segera mengatur dirinya untuk terlihat biasa saja.

"Terus hubungannya sama lo apa? Gak ada, kan? Gak usah dipikirin, mending mikir masa depan lo aja. Enak ngisi otak dengan keindahan daripada masalah, bukannya makin sehat, malah kena kanker otak."

"Banyak pikiran gak ngaruh sama kanker otak kali, Gus. Ngomong-ngomong soal sekolah, kayaknya gue gak bisa ngelanjutin lagi. Soalnya tadi gue bolos. Kata Pak Indra, sekali bolos, gue bakal dikeluarin dari sekolah."

Bagus prihatin, hingga ia tidak bisa berucap apa-apa. Bagus memang teman Gading, tetapi ia tidak bisa membantu lebih selain ucapan. Ia hanya bisa membantu Gading hanya dengan ucapan semangatnya.

"Pasti Tuhan punya rencana yang lebih indah buat lo. Jangan nyerah, jalan lo masih panjang."

Gading tersenyum dibalik kesedihannya. Ia senang ada orang yang benar-benar memberinya semangat. Gading bersyukur, punya Bagus sebagai temannya berbagi luka. Ia mengucap terima kasih dan segera meninggalkan rumah Bagus. Ia akan kembali ke rumah Mira, setelah semangatnya hadir lagi. Gading itu termasuk orang yang mudah mendapatkan semangat, hanya dengan tutur kata.

Bagi Gading, luka itu akan semakin perih jika terus dipendam. Ada kalanya, luka itu dibagikan agar perihnya menghilang. Walaupun tidak akan sembuh sampai kapanpun, setidaknya luka bisa sedikit membaik. Gading memang bukan orang yang suka berbagi luka, tetapi ia tidak bisa terus-terusan memendam luka. Ia tidak mau hidup dalam keadaan yang menyakitkan. Gading juga ingin hidup dengan bahagia, walau tidak banyak.

|Désespéré|

ODOC BATCH 2 DAY 9
28 Mei 2020

Désespéré ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang