|27| Perancis

1.3K 113 2
                                    

Gagang koper kecil berisi pakaian sudah ada di genggaman Gading. Ia bersama kedua temannya yang akan berangkat ke Perancis hari ini. Berkompetisi untuk hasil yang memuaskan.

Gading melangkah bersama kedua rekannya, masuk ke pesawat yang selama ini belum pernah ia ditumpangi. Duduk di bangku dan segera memasang sabuk.

Namun, ada suara yang membuat dirinya kelimpungan mencari. Suara tidak asing yang tidak Gading harapan kehadirannya. Bukan karena membenci, hanya saja keadaan seseorang itu sedang tidak baik-baik saja.

"Gading!" seru Bagus dengan tatapan tertuju pada Gading sepenuhnya.

Gading membelalakkan mata seraya berucap, "Gue udah bilang suruh jual tiket lo aja, kenapa malah ngeyel ikut? Lagian lo masih sekolah, malah keluyuran naik pesawat. Kalau luka mirip Harry Potter lo kenapa-napa gimana? Kol lo bisa tahu kalau gue naik pesawat ini? Cenayang lo, ya?" cerca Gading.

"Sebelah lo siapa? Temen lo atau orang lain?" ucap Bagus mengalihkan topik, sebab ia malas berdebat di tempat umum.

"Orang lain kayaknya, temen gue duduk berdua di sana," ucap Gading sambil menunjuk bangku di seberangnya.

"Gue duduk di sini, ya? Nanti orang lain suruh duduk di bangku gue." Gading hanya berdeham menanggapi.

🍃🍃🍃

Kompetisi barista sudah selesai, hasil pun sudah keluar lima belas menit yang lalu. Gading menjadi juara dua. Usahanya selama ini tidak sia-sia. Ia bisa berhasil dalam lomba ini, bahkan mengalahkan kedua temannya, yang kemarin mengalahkan Gading di kompetisi tingkat nasional.

Gading tersenyum bangga sambil menghampiri pelatih juga kedua temannya. Ia membawa penghargaan piala, juga uang yang masih dalam bentuk tulisan. Tinggal ditukar menjadi uang asli di panitia.

Kemudian, Gading menghampiri Bagus, memilih untuk berbincang sejenak. Menikmati pemandangan indah dari balik jendela, yang selama ini belum pernah ia lihat langsung. Hanya melalui gambar ponsel tanpa bisa menatap indah yang sesungguhnya.

"Ding, lo pengin jalan-jalan ke luar negeri 'kan? Makanya pengin kuliah jurusan pariwisata." Bagus memecahkan hening seketika, membiarkan beku menjadi cair dengan suaranya.

Mata yang masih nyalang menghadap jendela transparan, kini menatap intens wajah Bagus. Menjawab segala pertanyaan yang Bagus utarakan, "Iya." Gading menjawab singkat.

"Sekarang udah 'kan? Gimana? Puas sama pencapaian lo?"

"Puas dong, manusia emang susah puas dengan pencapaiannya, ada aja hal yang pengin dilakuin. Tapi, gue selalu puas dengan apa yang gue raih dan gue dapatkan, lagian itu pemberian Tuhan, nggak boleh dibiarkan tanpa disyukuri."

"Sok bijak, tapi gue setuju," ucap Bagus singkat sambil mengelus dahinya yang sedikit nyeri, sebab angin dingin yang menerpanya. "Oh iya, Ding. Lo 'kan punya duit dari menang lomba, gimana kalau lo lanjutin sekolah? Biar dapet ijazah, dan nanti bisa lanjut kuliah sesuai dengan keinginan lo."

"Nggak perlu, gue ngerasa hidup gue nggak bakal lama lagi. Gue mau mensyukuri apa yang ada aja, kalau misal bisa lebih sukses, tentunya, gue bersyukur banget." Bagus berdeham untuk menanggapi.

Setelah kompetisi selesai, Gading dan teman-temannya tidak langsung kembali ke hotel. Mereka berjalan-jalan dulu ke ikon negara Perancis. Menara Eiffel.

🍃🍃🍃

Tubuh kurus dengan balutan jaket tebal, mulai melangkah menuju loket, membeli tiket untuk naik ke puncak menara. Menonton pemandangan indah dari sana. Melihat gemuruh manusia yang ada di bawah.

Gading mengulurkan uang asing, menukarnya dengan enam tiket. Saat ini, ia yang membayar untuk semuanya. Dua untuk teman seperjuangan, dua untuk pelatih, dan dua untuk dirinya juga Bagus. Toh, Gading mendapat uang yang banyak setelah menang lomba. Hitung-hitung mentraktir orang yang berharga dalam hidupnya, serta orang yang berjasa dalam bahagianya.

Puluhan potret sudah penuh dalam ponsel Gading. Ia berniat akan mengambil banyak foto untuk kenang-kenangan jika dirinya hilang. Ia akan membuat kolase indah, untuk diberikan kepada orang berharga ketika ia sudah tiada.

Memang tidak ada yang tahu umur manusia, dan semua harus berjaga-jaga untuk pergi saat itu juga. Toh, tidak ada yang mau mati dengan keadaan yang tidak baik. Takut kena azab di dunia setelah kematian.

"Gue ke kamar mandi dulu," pamit Gading kepada Bagus, yang sedang asyik memotret bangunan apik yang tinggi.

"Emang tahu di mana? Gue ikut, gue juga kebelet."

Gading terkekeh, "Nggak tahu, sih. Ya udah ayok."

Toilet di negara asing itu beda, memiliki bau yang sangat menusuk ke hidung. Hal itu dikarenakan oleg orang asing yang jarang menggunakan air, untuk membersikan bekasnya. Mungkin, banyak orang yang mengira orang asing itu lebih bersih. Namun, ternyata tidak.

Gading menutup hidung ketika masuk ke toilet, masuk ke bilik dan mengambil obat di kantong jaketnya. Niatnya ke toilet memang untuk minum obat tanpa ketahuan, sebab ada rasa nyeri sedikit di dadanya. Pikir Gading, daripada berlanjut nyeri, mending dihentikan dulu dengan minum obat.

Namun, obat tidak bisa ajaib dengan langsung membuat nyeri menghilang. Obat pun butuh proses untuk menyembuhkan sakit. Hingga kurang lebih lima belas menit, Gading merasa membaik. Ia keluar dari bilik toilet yang bau tidak enak, dan bertemu dengan Bagus.

"Lama banget lo? Berapa lama nggak boker? Setahun?"

"Nggak usah berlebihan," ucap Gading singkat, sambil mendahului Bagus.

🍃🍃🍃

Tidak bisa mewujudkan harapan yang sudah direncanakan, bukan berarti gagal. Nyatanya, Gading bisa berhasil dengan rencana yang telah Tuhan rencanakan. Indah dan mengejutkan. Bahkan, Gading belum pernah memimpikan hal ini sebelumnya.

Hening tercipta ketika tengah malam sudah datang, yang Gading dengar hanya suara dengkuran Bagus juga dua temannya. Mereka satu kamar hotel, tetapi tidak ada canggung yang tercipta diantara mereka.

Gading menatap mata Bagus yang terpejam dengan intens, kemudian menumpahkan air mata tanpa ragu.

"Maafin gue kalau pergi duluan, gue udah bahagia, dan itu yang gue cari selama gue hidup. Sebenarnya, gue nggak tega ninggalin lo hidup di dunia ini sendirian. Tapi, gue nggak bisa melawan takdir Tuhan." Gading berucap lirih dengan jejak air mata di pipinya.

Ia memang terlihat kuat di hadapan semua orang, bahkan jarang yang melihat air matanya. Namun, jangan ditanya jika ia sendiri. Air mata kerap merembes tanpa henti, hingga lelap datang dan membawa pergi air mata itu.

Sudah bosan dengan kegiatannya menatap Bagus, Gading beralih pada ponselnya. Menjawab pesan dari Mira yang sejak beberapa hari lalu hanya ia baca.

Aku udah maafin Mbak, kok. Aku juga mau buka lembaran baru yang penuh tawa dan bahagia bareng Mbak. Aku harap, kali ini, Mbak Mira nepatin janji buat nggak main laki-laki lagi.

Setelahnya, Gading merebahkan dirinya di sebelah Bagus. Memejamkan mata dan melukis mimpi dengan indah.

|Désespéré|

[TBC]

ODOC BATCH 2 DAY 27
16 Juni 2020

Désespéré ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang