|28| Bersama

1.3K 97 1
                                    

Tidak ada matahari yang menyambut pagi seperti biasanya. Negara asing memang berbeda, hanya ada salju yang turun membuat dingin semakin menjadi.

Bagus terbangun paling awal dari yang lainnya, ia langsung ke toilet untuk cuci muka juga gosok gigi. Kemudian, berniat untuk membangunkan  Gading yang masih asyik bergelut dengan mimpi.

Menyibak selimut dan mengelus lembut lengan Gading, memanggil pelan nama Gading, sebab tidak mau mengganggu yang lainnya. Namun, hanya diam yang menjadi jawab.

Berkali-kali Bagus menepuk pipi, lengan dan kaki Gading, tetapi masih diam yang mampu membuatnya panik. Hingga Bagus memanggil Gading dengan suara lebih lantang, bahkan dua teman Gading pun ikut terbangun. Namun, Gading tetap pada posisinya. Tidur tanpa bergerak sesekali.

Bagus menempelkan telunjuknya di bawah lubang hidung Gading. Tidak ada napas yang terasa, hanya tenang yang dapat Bagus rasakan. Panik dan takut menjadi satu.

Namun, tiba-tiba mata Gading terbuka sempurna. Senyum indah pun ikut muncul di sana. Membuat Bagus dan dua orang lain yang ada di ruangan itu mendesah lega.

"PRANK HAHAHAHA." Gading terbahak-bahak setelahnya. Mengamati tiga orang di hadapannya yang menampilkan wajah malas. Raut muka yang sulit diartikan. Antara takut dan lega. Pasalnya, wajah Gading terlihat pucat ketika memejam tadi.

"Nggak lucu! Kalau misal beneran mati gimana?" Bagus mengalihkan tatapan matanya ke arah lain. Menjauhi tatapan Gading yang masih intens kepadanya.

Gading mendesah, menghilangkan keraguan untuk sekadar berucap. Meyakinkan dirinya bahwa tindakan prank-nya tidak pernah menjadi nyata. Toh, dia hanya main-main dan melihat reaksi dari Bagus.

"Dunia masih butuh manusia sampah kayak gue, nggak mungkin nyawa gue diambil cepat. Lagian kasihan lo juga kalau gue mati di sini, kalau kangen nggak bisa nengok."

"Jangan diulangin lagi, gue nggak suka. Ding, kok tadi beneran nggak ada deru napas, sih? Niat banget bikin gue panik."

"Kalau niat bikin prank, harus totalitas lah, lucu lihat lo khawatir. Teriak-teriak kayak orang gila."

"Asem." Bagus mengumpat singkat.

🍃🍃🍃

Pesawat baru saja mendarat, Gading dan Bagus pun melangkah ke luar untuk mencari taksi. Langit yang berkabut, langsung menyambut hangat kedatangan mereka. Membawa air yang tumpah tanpa ragu, hingga tanah yang kering menjadi basah.

Namun, Gading dan Bagus tidak peduli dengan itu. Mereka malah berjalan dengan yakin menuju pangkalan taksi bandara. Buru-buru masuk sebelum tubuh mereka semakin basah dan berbau tanah.

"Lo kenapa nggak ikut temen lo aja, naik mobil dari pihak yang ngadain lomba?" tanya Bagus sambil mengibaskan bajunya yang basah, juga mengelus luka jahitan di dahinya yang terasa perih.

"Udah nggak ada urusan sama mereka lagi, nanti juga dianter sampai hotel doang. Mending sekalian naik taksi aja bareng lo."

"Oh gitu. Ding, lo mau balik ke mana? Rumah Mbak Mira? Atau rumah gue?"

"Rumah Mbak Mira lah. Lagian, gue udah baikan sama dia lewat chat," Gading menjawab dengan yakin.

"Lo yakin kalau Mbak Mira udah berubah beneran? Gimana kalau dia bohong lagi kayak dulu? Lo udah siap dengan semua kemungkinan?"

Gading diam, mengamati padatnya jalan dari balik jendela mobil. Menatap rintik hujan yang belum memudar. Mencoba meyakinkan hatinya, bahwa Mbak Mira benar-benar sudah tobat. Hingga ia berani berucap dengan mantap menjawab pertanyaan Bagus.

Désespéré ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang