Rumah minimalis berwarna abu-abu, kini ramai orang berdatangan. Memakai baju hitam, tanpa janjian. Membacakan ayat suci dengan lirih, dan mendoakan seseorang yang terbujur kaku, juga mata yang enggan terbuka sama sekali.
"Kamu nge-prank lagi 'kan? Nggak lucu, Ding. Bangun!" Bagus berteriak tanpa rasa malu, menyamarkan suara mengaji orang di dalam ruangan.
Di pagi yang cerah, Bagus bangun dengan rasa perih yang masih menjalar di pelipisnya. Namun, ada hal yang lebih menyakitkan ketika didengar. Suara pengumuman orang meninggal dari surau, terlebih sahabatnya yang telah kembali ke sisi-Nya.
Saat itu juga, Bagus berlari ke rumah Mira, tanpa memedulikan penampilan yang masih berantakan. Dalam pikiran Bagus, hanya penuh akan pengumuman yang ia dengar. Tujuannya ke rumah Mira, hanya memastikan Gading yang sedang main-main seperti kemarin.
Namun, semesta memang benar-benar telah mengambil nyawa Gading. Sosok yang selama ini ceria di balik luka, sosok yang selama ini berjuang bersama lara yang tertahan.
"Katanya manusia sampah kayak lo masih dibutuhkan di dunia? Kenapa malah pergi duluan? Kenapa bukan gue dulu aja yang pergi?Kenapa lo bohong?" Bagus meracau, menangis di samping tubuh berbalut kain putih. Mengabaikan tatap manusia di sekelilingnya.
"Ikhlasin Gading, Gus. Biar dia bisa tenang," ucap Mira kemudian yang mampu membuat Bagus menoleh. Menatap mata tajam milik Mira yang masih mengisyaratkan sedih.
Bagus mendesah, mengumpulkan tenang yang belum kunjung ketemu. Hingga ia harus menghirup napas panjang berkali-kali, sampai debar jantungnya menjadi normal, seraya menjawab Mira, "Kenapa dia bisa meninggal, Mbak? Selama ini, dia kelihatan baik-baik aja di hadapan aku. Kalau nggak salah, cuma sekali aku ngelihat Gading kesakitan banget."
"Gading itu emang pembohong andal, dia selalu bilang nggak pa-pa kalau ditanya, padahal dia kesakitan, Gus. Dia menderita aritmia."
"Kenapa nggak melakukan perawatan, Mbak?" tanya Bagus.
"Niatnya, hari ini mau ke rumah sakit buat menjalani prosedur pengobatan. Tapi, Gading menolak dengan alasan, kalau dia bisa sembuh cuma dengan tidur. Ternyata, maksud Gading itu, dia sakitnya hilang itu, karena telah dijemput malaikat. Mbak nggak sadar sejak kemarin, Mbak bodoh."
Tangis Mira kembali pecah, sebab menyesal yang masih ia rasakan. Benci pada dirinya sendiri, karena selama ini tidak bisa menahan emosi. Tidak bisa bersikap lembut dengan Gading, malah sering kali menorehkan luka di hati lembutnya.
Tubuh yang telah tidak bernyawa, kini menjadi penyesalan terbesar untuk Mira. Ia belum bisa merawat adik tirinya dengan baik, malah sudah pergi ke Sang Pencipta. Tentunya, hal itu membuat hati menjadi perih, mengingat perlakuan buruk yang telah ia lakukan.
🍃🍃🍃
Semesta selalu punya rahasia, bisa menghidupkan juga menghilangkan orang tanpa permisi. Bisa membuat rasa kehilangan yang terus bersarang dalam tubuh.
Saat ini, Mira bersama Bagus ada di gundukan tanah yang masih basah. Menatap kayu yang menancap dengan mata yang berkaca-kaca.
"Gue nggak bisa hidup tanpa lo, Ding. Lo udah nggak di sini, lo udah ninggalin gue untuk selamanya. Lo tega, Ding. Jangan lupa buat jemput gue secepatnya, gue nggak sanggup hidup sendirian di dunia yang kejam ini. Gue nggak bisa dengan mudah mencari pengganti diri lo." Bagus berkata pada angin yang berembus, tanpa jawaban yang ia dapatkan.
Dadanya sesak, hatinya perih, matanya berair, menatap bayangan tersenyum dari kejauhan. Bayangan yang tercipta dari imajinasinya. Gading tengah menatap Bagus dengan senyum hangat, seraya tatapnya mengatakan kalau ia sudah tenang. Sudah aman di dunia yang berbeda.
"Mbak pulang dulu, Ding, yang tenang di sana, ya. Mbak janji akan jaga anak Mbak dengan baik, tanpa melakukan pekerjaan haram lagi. Lagian, uang hasil lomba kamu yang udah kamu berikan, cukup buat memenuhi hidup kita. Makasih, udah singgah di hidup Mbak. Makasih udah jadi pelajaran berharga buat Mbak."
Mira bangkit dari posisi jongkoknya, mengajak Bagus untuk pulang bersama yang kemudian disetujui.
🍃🍃🍃
Hilang, tidak bisa dijangkau, hingga membuat orang lain harus menahan rindu dalam waktu yang lama.
Mimpi yang Gading susun rapi, perlahan pudar dan berganti dengan sukses yang lain. Namun ternyata, bahagia yang lain tidak bertahan lama untuk bisa dinikmati. Ini semua karena semesta yang menghilangkan nyawa dari raganya. Membuat pemilik sukses ini, harus terkubur dalam tanah selamanya.
Banyak orang bersedih karena kepergiannya. Berbeda dengan ucapan Mira kala itu yang mengatakan, jika Gading meninggal tidak ada yang peduli. Nyatanya, banyak orang yang menangis sebab kehilangan dirinya.
Semua orang akan kembali kepada-Nya. Membawa bekal yang telah disiapkan selama hidup tanpa penolakan. Kebaikan dan keburukan, semua dicatat dan akan diperhitungkan.
Gading yang sering beribadah, amalnya dicatat. Gading yang terkadang mengeluh, pekerja keras pun ikut dicatat. Semua perilaku manusia ada catatannya.
"Manusia itu diciptakan dari tanah dan akan kembali ke tanah. Ikhlas karena kehilangan memang sulit, tapi mau tidak mau harus dilakukan." Mira berkata pada Bagus yang ada di sampingnya dan hanya mendapat deheman sebagai jawaban.
"Gading anak yang baik, tapi Mbak nggak memperlakukan dia dengan baik. Untung ada kamu yang selalu menolong dia. Makasih ya, Gus. Udah selalu ada buat Gading, mungkin kalau kamu nggak ada buat dia, Gading milih mengakhiri hidup secara paksa." Sekali lagi, Bagus hanya berdeham menanggapi.
"Kalau kamu kesepian nggak ada temen di rumah, kamu bisa nginep di rumah Mbak. Tenang aja, Mbak udah nggak galak lagi, kok. Lagian, di rumah Mbak ada kamar bekas Gading. Bisa kamu pakai kalau mau."
"Makasih tawarannya, Mbak. Tapi, aku nggak kuat kalau harus tidur di kamar Gading. Nggak sanggup."
Bagus keluar dari mobil, "Aku pulang dulu, Mbak. Makasih udah mau buat Gading bahagia walau sebentar," ucap Bagus dan segera berlalu ke rumahnya.
Sore telah datang membawa warna oranye di langit. Biasanya, Gading dan Bagus menonton indahnya senja bersama. Atau mungkin bermain basket di suasana yang sejuk seperti ini. Namun, itu semua hanya kenangan, tidak bisa dilakukan kembali. Semua kegiatan itu telah hilang, bersama dengan Gading yang telah kembali.
Derap langkah Bagus yang biasanya penuh dengan semangat pun, kini tidak lagi demikian. Ia melangkah lunglai, seperti tidak ada tulang yang bertengger dalam tubuhnya. Ini semua karena Bagus baru saja merasakan sakitnya kehilangan. Sakit yang terlalu menyiksa, hingga ia pun ingin ikut menyusul. Jika Bagus tidak mengingat dosa, ia akan melakukan itu dengan segera.
"Jangan lupa jemput gue secepatnya, gue pengin bareng sama lo, lagi." Bagus berkata lirih.
|Désespéré|
[TAMAT]
ODOC BATCH 2 DAY 30
18 Juni 2020Terima kasih yang sudah membaca cerita ini.
Maaf jika mengecewakan :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Désespéré ✓
General FictionMimpi sudah menjadi abu yang hilang terbawa angin. Mungkin, menyerah menjadi pilihan yang paling tepat. Tidak! Gading memilih bertahan dan melepas mimpi, membawa harapan baru untuk ia wujudkan. Baginya, hidup selalu punya kejutan, tidak selamanya me...