Diam dalam kesendirian, Gading mengemas bajunya untuk menginap di tempat karantina. Sebelum mengikuti lomba barista tingkat Internasional, ia harus melalui masa karantina dahulu. Kurang lebih selama dua minggu.
Beruntung, tempat karantina yang akan ditinggali Gading, dekat dengan rumah Bagus. Hingga sesekali, ia bisa bertemu Bagus, untuk sekadar berbagi cerita.
Tas ransel berukuran sedang sudah penuh dengan baju-bajunya. Menggendongnya dengan yakin, dan berjalan keluar rumah.
Namun, pintu yang tadi tertutup rapat, kini terbuka lebar. Menampakan dua sosok manusia dengan tatapan tajam. Mereka tidak mengucap salam juga mengetuk pintu. Mereka masuk ke dalam rumah tanpa permisi. Hingga Gading terkejut dengan kedatangan mereka, mengelus dadanya juga menetralkan rasa takut yang menghujamnya. Mereka adalah orang tua Bagus yang baru pulang dari bekerja.
"Kamu kenapa ada di rumah kami? Gak sekolah?" tanya seorang perempuan dengan pakaian elegan juga tatapan mata setajam silet.
"Saya numpang tinggal di sini, Tante," jawab Gading singkat.
"Lah, gak sekolah? Anak saya ke mana?"
"Saya udah lama dikeluarkan dari sekolah, Tante. Sekarang, Bagus lagi sekolah dan saya akan berangkat ke karantina."
"Kenapa tinggal di sini? Diusir sama perempuan gak jelas itu? Terus kenapa milih rumah saya sebagai pelarian?" tegas ibu Bagus tanpa mengalihkan tatapannya dari Gading walau sekali.
Gading membuang napas kasar, "Iya benar, saya diusir oleh kakak tiri saya. Jujur saja, sebenarnya saya tidak mau tinggal di sini, tapi Bagus yang memberi ruang untuk saya menetap sementara. Katanya, untuk teman dia saat kalian tinggal di luar kota." Gading menjelaskan dengan runtut, mengharapkan tidak ada bentakan yang akan menyakiti hatinya.
Namun, semesta memang jarang berpihak pada Gading. Suara bariton yang dari tadi tidak terdengar, kini menjadi hal yang paling menyeramkan. Kata tegasnya langsung menusuk hati Gading.
"Kamu bukan anak baik-baik, jangan pengaruhi anak saya untuk ikut ke dunia mu."
Gading diam, memahami kata yang mampu membuat dada sesak. Tubuhnya kaku di tempat, menatap dada bidang ayah Bagus.
Kemudian, ia menelan ludah, mengumpulkan kata seraya menjawab, "Aku bukan anak nggak baik, aku juga nggak pernah memengaruhi Bagus ke jalan yang gak baik. Jadi, saya minta tolong jangan mengecap saya seperti itu. Kalau gitu, saya permisi."
"Saya belum selesai bicara, yang sopan sama orang tua." Lagi-lagi, suara bariton itu mampu membuat tubuh Gading membeku.
"Tapi,--"
"Apa?" Gading kicep dengan ucap tegas ayah Bagus. Ia mempertahankan posisi diamnya juga menundukkan kepala.
"Mulai sekarang, jangan berteman dengan anak saya lagi. Kamu bukan anak baik, kamu nggak pantes berteman dengan dia. Terbukti dari kakak tiri mu yang suka main laki-laki."
Gading masih mempertahankan sikap sopan, menahan marah yang mulai bergejolak. Berkali-kali, Gading membuang napas kasar, menunggu ucapan tajam lain yang akan ia dengar.
"Mulai sekarang, jauhi anak saya. Jangan pernah bertemu dia lagi, biarkan dia punya bahagianya sendiri, kamu gak perlu ikut campur. Kamu hanya menambah masalah dalam hidup anak saya saja."
Suara detik jam, menjadi beku disaat Gading mulai angkat suara. Mengatakan fakta yang tidak bisa diterima dengan mudah oleh orang tua Bagus.
"Sebelumnya, saya minta maaf karena ingin berkata kurang sopan." Gading menunduk seraya memejam, mengumpulkan berani untuk beradu mulut dengan dua manusia di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Désespéré ✓
General FictionMimpi sudah menjadi abu yang hilang terbawa angin. Mungkin, menyerah menjadi pilihan yang paling tepat. Tidak! Gading memilih bertahan dan melepas mimpi, membawa harapan baru untuk ia wujudkan. Baginya, hidup selalu punya kejutan, tidak selamanya me...