Berkali-kali mencoba dan berlatih demi berhasil yang harus diraih. Melupakan lelah yang terus berteriak untuk mewujudkan bahagia. Juga melepas rasa lapar demi kenyamanan di masa mendatang. Gading selalu melakukan itu untuk hidupnya yang lebih baik. Ia akan melewati semua rintangan sulit yang menimpa hidupnya, dengan rasa ikhlas.
Hampir setiap hari, Gading datang ke tempat kerja di pagi buta. Tujuannya hanya satu, melatih diri untuk menjadi barista andal. Bahkan, Gading pernah beberapa kali menggantikan tugas Pepi untuk meracik kopi. Kepiawaiannya bisa diacungi jempol dengan waktu latihan yang singkat. Sungguh, Gading orang yang cepat menyerap ilmu dari mana saja. Ia hanya belajar melalui video dalam ponsel juga dari Pepi.
Pagi ini, ditemani alunan lagu yang ia putar di dapur kafe, Gading kembali berlatih meracik kopi. Bahan yang digunakannya tidak banyak, sebab, ia tidak mau merugikan kafe tempatnya bekerja. Bahkan, Gading juga sudah menawarkan kepada atasannya untuk memotong gaji, tetapi tawarannya ditolak begitu saja. Katanya, tidak perlu melakukan itu, dengan alasan, Gading belajar juga untuk kebaikan bersama. Pihak kafe mendapat keuntungan memiliki pekerja yang cakap. Juga Gading yang untung karena semakin mahir dalam meracik kopi.
"Pagi-pagi udah minum kopi aja, lo. Gak sehat, Ding. Awas mati muda," tegur Pepi begitu masuk kafe.
Mata Gading membola mendengar ucap Pepi. Orang yang selalu menegurnya, mungkin hanya sekadar menaruh perhatian lebih. Sebagai teman yang baik, tentunya harus saling mengingatkan.
"Dibuang sayang, gue minum aja. Tumben lo udah dateng?"
"Lah, gue emang biasanya dateng jam segini. Masih muda udah pikun." Gading terkekeh mendengar jawaban Pepi. Pasalnya, basa-basi yang ia lontarkan, mendapat jawaban yang serius.
Pepi mendudukkan tubuhnya di bangku hadapan Gading, sambil menunggu pelanggan yang akan datang. "Oh iya, Ding, kemarin gue lihat poster soal lomba barista, lo tertarik?" tanya Pepi.
"Memangnya, barista ada kompetisi, ya? Kirain cuma pekerjaan doang."
"Jadi manusia kok kurang update, barista sering ada kompetisi, bahkan ada sampai tingkat Internasional."
"Oh, gue baru tahu," ucap Gading sambil menarik napas, memberikan jeda untuk ucapan selanjutnya. "Gue pengin ikut, sih. Tapi, gue masih cupu. Kalau lomba, pasti lawannya keren. Ntar aja deh, kalau gue udah pinter, baru ikut."
"Dasar penakut! Ikut aja kali, Ding. Gue temenin deh, kesempatan gak dateng untuk kedua kalinya. Kalau kesempatan ini berhasil dapet juara, syukur. Kalau kalah, buat pengalaman aja, gimana? tertarik?"
"Tawaran yang menarik. Oke, gue mau," putus Gading membuat Pepi menyunggingkan senyum.
"Oke, gue daftarin sekarang." Pepi mengambil ponselnya, dan mulai melakukan pendaftaran via daring.
🍃🍃🍃
Bahagia yang Gading peroleh, selalu dibagikan kepada Bagus. Satu-satunya teman yang selalu ada dalam suka maupun duka.
Seperti saat ini, Gading senang akan mengikuti lomba barista. Ia pun berbagi kepada Bagus dengan ekspresi bahagia pula.
"Gus, gue mau ikut lomba barista, nih."
"Hah? Serius lo?" kata Bagus tidak percaya.
"Serius dong. Walaupun kemampuan gue masih cupu, tapi gue mau nyari pengalaman. Kalaupun menang, itu cuma bonus."
"Nah gini, dong. Jadi Gading yang gue kenal, selalu optimis dalam hal apapun. Jangan berubah jadi pribadi yang pesimis lagi, Ding. Gue gak suka," ucap Bagus, sekali lagi dengan senyum yang indah di wajahnya.
"Gue usahain, gue juga bisa berubah cuma karena keadaan. Semoga aja, keadaan selalu mendukung gue buat jadi pribadi yang optimis."
Ruang keluarga dengan warna dinding hijau muda terlihat hidup, sebab ada suara televisi yang memekik di sana. Diikuti juga dengan suara tawa kedua manusia yang ada di depannya. Menonton film kartun lucu yang selalu menjadi pemecah suasana beku.
Pandangan mata Gading fokus pada layar televisi. Namun, pikirnya tidak. Dalam pikirnya, hanya dipenuhi oleh kompetisi yang akan ia ikuti. Bahkan, ada sekelebat tayangan seorang barista dalam otaknya. Membuat ia berencana untuk melatih kemampuannya sekarang juga.
Gading menuju dapur yang ada di rumah Bagus, mengambil beberapa bungkusan kopi, juga gelas seadanya. Mencoba teknik dengan bahan dan alat seadanya, mengharap menjadi mahir ketika berlomba nanti.
"Americano, satu," pesan Bagus sambil terkekeh pelan.
"Adanya cuma kapal api, gak usah aneh-aneh," ujar Gading dengan tatapan mata masih fokus pada alat dan bahan yang ada di depannya.
Kedua tangannya menari dengan lincah, bersama dengan gelas juga penyaring kopi yang ikut bergerak. Membuat suara gaduh yang sesekali terdengar di rumah itu. Untung saja, Bagus tidak merasa terganggu, hingga Gading bebas melakukannya.
"Gak usah dilihat terus, gue jadi nggak fokus," ucap Gading pada Bagus yang dari tadi menatapnya intens. Bahkan, tidak pernah membuang muka walau sekali.
"Anggep aja gue jadi jurinya, biar nanti lo nggak gugup banget pas lomba." Gading mengangguk menyetujui. Kemudian, melanjutkan kegiatannya meracik kopi.
Tidak butuh waktu lama hingga kopi buatannya jadi. Bahkan, ada lukisan putih diatasnya. Menambah kesan estetik yang luar biasa, hingga Bagus hanya bisa berucap kagum terhadapnya.
"Gila, gila, belum jadi barista aja udah keren kayak gini. Pakai alat dan bahan seadanya lagi, gimana kalau udah jadi barista beneran? Mantul banget emang lo, Ding." Bagus menyesap kopinya, kemudian membelalakkan mata akibat rasa yang luar biasa enak.
"Kopi seribuan aja bisa enak banget gini, keren lo, Ding. Gue kira, kopi warung rasanya cuma pahit sama manis doang. Ternyata nggak juga, ini rasanya campur aduk, manis, pahit, gurih. Enak banget lah pokoknya," puji Bagus.
"Nggak usah berlebihan, Gus. Jangan terbangin gue setinggi langit, nanti kalau jatuh, sakitnya kebangetan."
"Lah, emang beneran enak, kok. Emang gue harus komentar bohong. Ih, gak enak banget sih kopi buatan, lo. Kayak air got bekas cuci piring, gitu?"
"Nggak gitu juga lah, Gus. Maksud gue, jangan puji secara berlebihan, gue gak suka."
Bagus hanya berdeham menanggapi, kemudian melanjutkan kegiatannya menyesap kopi murah yang terasa enak. Hampir tiap tegukan pula, Bagus berdecak kagum dengan rasanya.
"Eh, Ding," celetuk Bagus di sela-sela kegiatannya meneguk kopi yang tersisa seperempat gelas.
"Apaan?"
"Ternyata, lo bisa jadi bermanfaat tanpa sekolah. Maksud gue bermanfaat buat diri lo sendiri, bisa dapet uang untuk biaya hidup, bisa seneng juga karena banyak bahagia yang lo temukan. Contohnya bikin kopi ini, lo ngerasa terhibur dengan kegiatan ini, kan?"
"Iya, ternyata di balik gagal dan penolakan yang gue dapatkan, ada bahagia yang telah Tuhan rencanakan."
"Hmm."
Sekarang, Gading percaya seratus persen bahwa dirinya punya bahagia. Gading sudah melihat satu titik terang untuk masa depannya, ia akan menjadi barista mahir di kemudian hari. Ia harus mengubur pahitnya masalah yang telah menimpa, bersama dengan bahagia yang terus melanda.
|Désespéré|
[TBC]
ODOC BATCH 2 DAY 18
6 Juni 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Désespéré ✓
General FictionMimpi sudah menjadi abu yang hilang terbawa angin. Mungkin, menyerah menjadi pilihan yang paling tepat. Tidak! Gading memilih bertahan dan melepas mimpi, membawa harapan baru untuk ia wujudkan. Baginya, hidup selalu punya kejutan, tidak selamanya me...