Tubuh kurus Gading sudah dibalut dengan seragam putih abu-abu kebanggaannya. Duduk di tingkat paling akhir, membuatnya harus rajin dalam belajar. Menepis malas yang sering menghampiri, juga meluangkan waktu yang jarang longgar.
Gading berkaca sejenak, melihat penampilannya yang memukau. Kemudian, menyunggingkan senyum sebelum keluar kamar.
Kakinya melangkah dengan yakin, mencari Mira untuk sekadar berpamitan. Berharap dapat izin pergi yang selama ini sulit didapat. Gading ingin berangkat sekolah, tetapi Mira sering menolak. Kata Mira, sekolah itu gak ada gunanya. Hanya menghabiskan uang dengan cuma-cuma. Tidak ada ilmu yang bisa diterapkan dalam kehidupan. Tidak ada penerapan aljabar dalam kegiatan sehari-hari, apalagi algoritma.
Namun, Gading menolak ungkapan Mira. Menurut Gading, sekolah membuatnya punya masa depan cerah. Menepis mimpi buruk yang kerap mampir. Menepis hidup menganggur tanpa ada manfaatnya.
"Mbak, aku sekolah dulu." Gading berucap sopan sambil menatap mata Mira yang terlihat seram.
"Ngapain sekolah? Mbak mau pergi, kamu jaga Caca sama Ani. Kalau ketahuan kabur, Mbak gak akan segan buat ngasih maaf ke kamu."
"Mbak aku mau lulus, pengin punya ijazah buat nerusin kuliah. Aku gak mau hidup susah di masa depan. Hidupku juga gak selamanya tentang ngurus Caca dan Ani. Aku bosen ngurus mereka, aku muak dengan dunia anak kecil."
"Oh, sekarang kamu berani melawan ucapan, Mbak?"
"Kalau aku benar, kenapa harus nurut ucapan Mbak yang salah? Aku hidup, butuh kebebasan, gak melulu dikekang dengan aturan yang Mbak bikin tanpa persetujuanku."
"Masuk kamar! Jaga Caca dan Ani, gak usah nolak. Ibu gak akan bahagia kalau kamu kayak gini. Nurut sama titah Mbak apa susahnya, sih? Mbak gak pernah nuntut apa-apa ke kamu, Ding."
"Ibu lebih sedih kalau Mbak sering marahin aku. Ucapan Mbak tiga tahun lalu ternyata cuma omong kosong. Mbak tetap galak, atau sekarang, Mbak main laki-laki lagi?"
Gading semakin berani menatap mata Mira. Ia ingin memperjuangkan mimpinya untuk sukses di masa depan. Tentunya dengan bantuan ijazah SMA. Tetapi sepertinya, keberaniannya sia-sia. Mira tetaplah Mira, yang selalu membenci Gading tanpa alasan.
"Masuk kamar sebelum Mbak paksa!" Bentak Mira yang berhasil membuat nyali Gading menciut.
Gading kesal dengan perlakuan Mira. Hingga ia menemukan ide untuk kabur ke sekolah dengan menghubungi Bagus. Ia meminta Bagus untuk membantunya pergi ke sekolah tanpa ketahuan Mira. Gading berencana kabur ke sekolah melalui pintu belakang. Pintu yang jarang Mira lewati, juga pintu yang tidak bisa dijangkau dari ruang tengah. Membuat Gading yakin dengan rencananya yang akan berhasil.
Tidak sulit mendapat persetujuan dari Bagus untuk membantu kabur ke sekolah. Sebagai sahabat yang baik, harus saling membantu dengan ikhlas.
Gading mengendap-endap ke pintu belakang. Mengharap Mira tidak sadar bahwa ia kabur ke sekolah. Tetapi, beruntung memang jarang berpihak pada Gading. Mira sedang ada di dapur mengambil minum, menatap Gading dengan tatap garang.
Nyalinya kembali menciut, tidak ada berani tersisa walau sedikit. Gading mundur dari inginnya. Ia kembali ke kamar sebelum Mira membentak. Sekali lagi, beruntung tidak berpihak pada Gading.
Mira berjalan tergesa, menghampiri Gading dan menggeret ke dalam kamar Caca. Mengunci dari luar tanpa bisa dibantah.
"Kamu harus terima hukuman ini. Makanya, gak usah coba-coba kabur. Sekolah gak ada gunanya, mulai bulan ini, Mbak juga gak mau bayar sekolah kamu lagi. Siap-siap dikeluarkan aja, kamu." Teriak Mira setelah mengunci pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Désespéré ✓
General FictionMimpi sudah menjadi abu yang hilang terbawa angin. Mungkin, menyerah menjadi pilihan yang paling tepat. Tidak! Gading memilih bertahan dan melepas mimpi, membawa harapan baru untuk ia wujudkan. Baginya, hidup selalu punya kejutan, tidak selamanya me...