Detik terasa lama, ketika tidak ada kegiatan yang dilakukan. Terus berlatih untuk menjadi barista yang mahir, ternyata cukup membosankan. Sempat Gading melawannya, tetapi beberapa menit kemudian, bosan kembali melanda. Hingga ia memilih diam sembari menunggu pelanggan yang datang.
"Ding, lo mau belanja keperluan kafe, gak?" tanya Pepi dengan tangan yang masih basah, ia baru saja cuci tangan.
"Hah? Gue nggak ngerti tentang keperluan kafe, emang kenapa nggak lo aja yang belanja?"
"Gue nanti malem ada acara, dan bahan-bahan kafe udah mau habis. Lo mau aja ya, Ding. Nanti gue kasih catetan, deh."
"Oke kalau gitu, jangan lupa uangnya sekalian, gue gak punya duit banyak soalnya."
"Beres, tinggal minta sama bos cantik, langsung dikasih," ucap Pepi membanggakan diri.
Gading terkekeh dan segera berlalu menuju dapur. Mencuci gelas-gelas bekas kopi para pelanggan dan bersenandung sesuka hati. Bahkan, nada dari ucapnya tidak begitu jelas, tetapi Gading tidak malu dengan kegiatannya. Toh, hanya ada Pepi dan dua temannya yang ada di sana.
🍃🍃🍃
Malam sudah menjemput, Gading pun harus pulang dari bekerja. Guna beristirahat dan mengumpulkan tenaga di esok hari.
"Gus, lo mau ikut gue belanja perlengkapan kafe, gak?" tanya Gading saat sampai di rumah Bagus.
"Ke mana?" tanya Bagus singkat menanggapi Gading.
"Ke toko kopi yang ada di mal biasanya kita ke sana."
"Oh boleh. Kapan? Sekarang?"
"Habis magrib," ucap Gading seraya ke kamar mandi dengan berlari, untuk mempersingkat waktu.
Sepuluh menit bukan waktu yang lama, Gading sudah siap dengan baju berbeda dan sarung di bawahnya. Mengajak Bagus untuk menunaikan salat bersama. Gading memang selalu menomorsatukan ibadah dibanding hal lainnya. Bagi Gading, tanpa ibadah, dia bukan manusia yang sesungguhnya.
Usai bersalaman dan merapalkan doa, Gading mengganti sarungnya dengan celana jeans kebanggaan. Menuruti titah Bagus untuk mengambil kunci motor dan segera keluar rumah.
Cahaya bulan menyorot bumi dengan terang, tidak pernah malu menampakkan wajahnya yang penuh lubang. Namun terkadang, ada kabut nakal yang menghalanginya. Hingga ia menangis dan membuat penghuni bumi berdecak sebal pula.
Dengan penerangan bulan, Gading dan Bagus bergegas menuju mal untuk berbelanja. Gading sebagai pengemudi dan Bagus sebagai penumpang, berbeda dengan biasanya. Ini semua karena ulah Bagus yang katanya malas menyetir saat malam. Hanya omong kosong sebenarnya, tetapi Gading setuju dengan mudah.
Pintu otomatis yang ada di mal, terbuka lebar ketika Gading berada di dekatnya. Hatinya sesak mengingat kenangan bersama Mira saat ke sini. Merawat Caca dan Ani dengan terpaksa kala Mira bersenang-senang dengan dunianya.
"Ding, lo udah dikasih uang buat belanja?" celetuk Bagus.
"Udah lah, kalau belum, gue nggak mau belanjain. Duit gue gak cukup buat beli barang beginian." Bagus terkekeh dan kembali melanjutkan jalannya menuju toko kopi tujuan mereka.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba Gading berhenti. Membuat Bagus bingung dengan alasannya, ditambah raut wajah Gading yang sedang terlihat menahan sakit.
"Hei, ngapain berhenti? Lo sakit? Kok meringis kayak nahan sakit, gitu sih?"
Gading ingin menjawab, tetapi lidahnya kelu. Bersama dengan nyeri di dadanya yang begitu menyiksa, juga keringat dingin yang ikut membanjiri tubuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Désespéré ✓
General FictionMimpi sudah menjadi abu yang hilang terbawa angin. Mungkin, menyerah menjadi pilihan yang paling tepat. Tidak! Gading memilih bertahan dan melepas mimpi, membawa harapan baru untuk ia wujudkan. Baginya, hidup selalu punya kejutan, tidak selamanya me...