Aritmia, sebuah kata yang mampu membuat Gading hancur. Ketika fakta pahit itu ia terima, dunia baru dengan penuh bahagia, hancur tiba-tiba. Menjadi sedih yang tidak bisa disangkal hadirnya.
Setelah memenangkan lomba, Gading mengira jika hidupnya menjadi lebih baik. Penuh senyuman, juga penuh harapan untuk selalu bahagia. Namun, ternyata perkiraan Gading salah.
Begitu bahagia mulai datang dalam hidupnya, masalah pun ikut hadir bersama. Ia harus jauh dengan Bagus, sebab orangtua Bagus yang melarang mereka dekat. Penyakit jantung yang dideritanya, membuat harapannya untuk bahagia berkurang. Juga perlakuan Mira yang masih sama, belum menyayanginya hingga sekarang.
Saat ini, Gading duduk di bangku halte, diam dalam mengamati para pengguna angkutan umum yang silih berganti. Merenungi hidupnya yang menolak untuk bahagia.
Kenapa hidup gue gini banget, sih? Kapan gue bahagia? Gue udah ikhlas buat nggak kuliah pariwisata, gue rela nggak duduk di bangku sekolah. Tapi, kenapa sekarang malah ujian semakin berat? Gue harus apa? Apa sebaiknya menyerah saja? Gading bertanya dalam hatinya, menaruh rasa kecewa dalam diri. Menahan sesak yang tak kunjung menghilang.
Gading masih belum ingin kembali ke tempat karantina. Ia masih belum bisa menjadi Gading yang sebenarnya. Gading yang selalu bahagia dalam keadaan apapun. Hatinya masih bersedih, ia masih butuh waktu untuk mengobati hati. Ia masih butuh waktu untuk tersenyum dengan benar.
Sudah bosan mengamati lalu lalang manusia yang berganti seiring waktu, Gading mengambil ponsel dari sakunya. Menyalakan layar yang menghitam, hingga terlihat wallpaper kucing di sana. Menonaktifkan mode pesawat yang selama ini ia nyalakan. Kemudian, mengecek notifikasi yang masuk.
Ratusan pesan juga puluhan telepon langsung membabi buta menggetarkan ponsel Gading. Membuat Gading malas dan kembali memasukkan ponselnya ke saku. Namun, ada getar yang terus menerus mengusik.
"Bagus." Gading membaca nama yang terpampang nyata di layar ponsel. Namun, enggan untuk mengangkat telepon yang masuk. Ia memilih untuk mematikan kembali mode pesawat. Ia sudah malas berurusan dengan Bagus. Terlebih, hubungan pertemanan mereka, ditentang oleh orangtua Bagus.
🍃🍃🍃
Langit sore tampak cerah, menampilkan sinar oranye yang sedikit memudar. Menampilkan indahnya gumpalan awan, juga sebagai tempat para burung berkicau dengan bebas.
Sudah cukup lama Gading berjalan, ia memilih pergi ke makam sang ibu. Jarak yang ditempuh pun tidak main-main, delapan kilometer, dan Gading berhasil sampai dengan waktu dua jam setengah. Berteman dengan terik matahari, juga polusi yang terus menusuk indra penciuman.
Mungkin, bukan masalah yang besar jika hal itu dilakukan oleh orang yang sehat. Namun, menjadi masalah yang besar, jika hal itu dilakukan oleh Gading, yang notabenenya penderita Aritmia.
Napasnya menjadi ngos-ngosan kala ia sampai di pemakaman, tetapi ia kembali mengatur napasnya dengan baik. Hingga napasnya kembali teratur.
Seperti biasa, sebelum masuk ke area pemakaman, Gading membeli bunga lili kesukaan ibunya terlebih dahulu. Ia harus memberikan hadiah terbaik ketika mengunjungi ibunya.
Kemudian, Gading masuk ke area pemakaman dengan langkah pasti, menuju batu nisan bertuliskan nama ibunya. Berjongkok dan mulai merapalkan doa. Namun, pandangannya terpecah dengan tiba-tiba. Ada seorang gali kubur yang menjalankan tugasnya. Gading yang melihat itu, merasakan dadanya kembali sesak. Merasakan waktunya untuk tinggal di dunia, tidak banyak lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Désespéré ✓
General FictionMimpi sudah menjadi abu yang hilang terbawa angin. Mungkin, menyerah menjadi pilihan yang paling tepat. Tidak! Gading memilih bertahan dan melepas mimpi, membawa harapan baru untuk ia wujudkan. Baginya, hidup selalu punya kejutan, tidak selamanya me...