Hidup tanpa ada harapan untuk sukses tentu menyakitkan. Tetapi, Gading hanya bisa menerima dengan ikhlas. Tidak mau menolak hal yang telah diberikan. Tidak mau menyerah sebelum waktunya.
Mengaku sebagai manusia sekuat baja, Gading harus sanggup menerima hal pahit dalam hidupnya. Walaupun ia lelah, ia akan bertahan dan terus mencari suksesnya. Ia akan terus mencari akhir hidup yang bahagia.
Bagi Gading, sekolah adalah prioritas. Harus menjadi yang pertama diantara hal lain. Tetapi, jika sekolah dan ijazah bukan jalannya menuju sukses, Gading hanya bisa diam. Seraya mencari bahagia yang lain, sesuai dengan rencana-Nya yang lebih baik.
Sepulang sekolah, Gading membuat janji dengan Bagus untuk bermain basket di dekat rumah mereka. Selain menetralisir sakit hati akibat peringatan dari Pak Indra, Gading juga bisa menyalurkan bakatnya bermain bola karet oranye. Siapa tahu, menjadi atlet basket menjadi suksesnya yang lain. Tetapi, ini semua hanya angan yang belum tentu terwujud.
Jalanan beraspal menjadi pijakan Gading dan Bagus menuju lapangan. Mereka berjalan dalam diam seraya mengamati keadaan sekitar yang sepi. Maklum, komplek orang elite yang kebanyakan menghabiskan waktu di kantor. Termasuk orang tua Bagus juga Mira yang jarang ada di rumah.
Lapangan sudah di depan mata. Dengan semangat yang berkobar, Gading mengambil bola basket dan memantulkannya ke lapangan. Hingga ia memasukkannya ke dalam ring beberapa kali, tanpa memberikan kesempatan kepada Bagus untuk memegang bola. Gading memang sangat lincah dalam bermain basket, tetapi ia tidak mau memperlihatkan kelincahannya di hadapan banyak orang. Takut dibilang sombong.
"Capek gue, istirahat bentar, Gus," celetuk Gading sambil melempar bola basket ke sembarang arah.
"Jelas aja lo capek, gue gak diberi kesempatan buat main bola. Lo boleh melampiaskan rasa kesal, tapi gak gini caranya. Tubuh lo punya batas," nasihat Bagus.
"Dan yang tahu batas tubuh gue, gue sendiri. Kalau gue capek, gue bakal istirahat kok."
Suasana lapangan yang sepi, membuat Gading dan Bagus bisa menguasainya. Telentang di atas lapangan hijau tanpa malu dilihat orang. Tatapan Gading lurus ke langit, sembari pikirnya mencari jalan untuk sukses.
"Gus, gue males pulang ke rumah Mbak Mira. Boleh numpang, gak? Hari ini aja, deh," ujar Gading yang membuat Bagus menyunggingkan senyum.
"Dengan senang hati, lo boleh tinggal bareng gue."
Setelah istirahat sejenak, Gading dan Bagus tidak melanjutkan permainan lagi. Mereka memilih pulang dan mandi. Mengingat waktu sudah hampir malam, terlihat dari warna langit yang mulai menghitam.
Gading masuk ke rumah Bagus dengan tidak yakin. Sebab, ini pertama kalinya Gading akan menginap di rumah orang. Ia memang sering main ke rumah Bagus, tetapi belum pernah bermalam walau sekali.
"Lo tidur bareng gue aja, Ding. Sekalian belajar bareng buat ulangan besok," ujar Bagus yang sukses membuat Gading terbelalak.
"Hah? Lo mau tidur bareng gue? Gue ngoroknya kenceng, gak anteng juga. Lo yakin?"
"Setahu gue, manusia tuh gak ada yang mau mengakui keburukannya, deh. Kok lo malah dengan bangga bilang kejelekan lo ke gue?" heran Bagus.
"Daripada nanti dihujat, mending bilang aja dengan jujur," jawab Gading, kemudian ia beranjak menuju kamar mandi yang sudah ia hafal lokasinya.
Bau semerbak masakan, langsung menusuk indra penciuman Gading saat ia keluar dari kamar mandi. Kemudian, ia beralih menuju dapur, dengan tujuan membantu bibi Bagus yang sedang memasak. Tetapi, pikirannya malah tertuju pada kejadian beberapa tahun lalu, bersama ibunya yang telah tiada. Kegiatan masak bersama yang sekarang tidak pernah ia lakukan lagi. Mira tidak bisa menggantikan sosok ibunya dengan baik. Mira malah menjadi hal seram dalam hidup Gading.
"Baunya enak. Gak sabar buat makan," ucap Gading sekadar basa-basi.
"Iya dong. Mending, Mas Gading nunggu masakan matang aja, Bibi udah biasa masak sendiri," Gading menurut dan melangkah ke meja makan. Menghampiri Bagus yang dari tadi senyum-senyum memandangnya.
"Lo ngapain senyum-senyum sendiri? Kesambet setan?" celetuk Gading.
"Senyum itu sebagian dari ibadah, bebas dong kalau gue mau senyum," Gading diam dan menarik kursi samping Bagus. Menunggu masakan matang dan mengisi waktu itu dengan obrolan ringan.
Usai makan, Gading dan Bagus beranjak ke kamar untuk belajar bersama. Gading yang memiliki kecerdasan tinggi, tentu bisa menyerap pelajaran apapun dengan mudah. Berbeda dengan Bagus yang harus berkali-kali membaca dan latihan soal untuk menyerap ilmu.
Namun, setiap kelebihan pasti ada kekurangan. Gading memang pintar, tetapi tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah. Apalagi, tidak mendapat dukungan dari keluarga. Berbeda dengan Bagus yang kurang pintar, dia ditunjang biaya hingga lulus oleh orangtuanya.
Hidup itu adil, hanya saja pandangan orang yang membuatnya tidak adil. Padahal, selalu bersyukur bisa membuat hidup lebih baik. Tidak perlu membandingkan kehidupan kita dengan orang lain. Toh, Tuhan sudah menjanjikan kesuksesan untuk tiap umatnya.
🍃🍃🍃
Buku berwarna biru muda sudah ada di depan mata. Gading membaca dan sesekali bergumam untuk menghafalkan isinya. Semangatnya sangat tinggi dalam menimba ilmu, prestasinya pun tidak kalah besar dari usahanya.
Namun, saat ia mencari beasiswa, Gading tidak beruntung. Ia gagal, dan harus menelan mahal harga uang sekolah yang harus dibayarkan tiap bulan. Apalagi, sifat Mira yang mulai nampak buruk. Membuat Gading harus mau menelan pahit kenyataan jika sewaktu-waktu ia dikeluarkan dari sekolah.
Saat ini Gading belajar, semata-mata untuk menambah ilmu, juga mencari nilai yang baik. Jika besok adalah hari terakhirnya sekolah, setidaknya Gading sudah memberi kesan yang baik untuk sekolahnya.
"Ding, serius banget, sih? Ajarin gue dong, jangan pelit ilmu. Ntar gak berkah," ujar Bagus memecahkan hening.
"Lo gak tanya, gue gak jawab," jawab Gading singkat yang membuat Bagus berdecak sebal. Gading tetap pada prinsipnya sejak dulu, tidak mau mengajari jika tidak ditanya.
"Ngomong-ngomong, lo mau kuliah jurusan apa, Ding?" ucap Bagus mengalihkan topik pembicaraan.
"Gue belum mikir masalah kuliah, lulus SMA aja gue udah syukur. Lo tahu lah apa yang buat gue mikir kayak gini. Mbak Mira."
"Poor you. Tapi apa salahnya kalau buat rencana dulu, siapa tahu nanti dikabulin," ucap Bagus.
"Gue pengin jurusan pariwisata. Tapi ini cuma angan doang, kayaknya sih, gak bakal terwujud. Soalnya, beruntung gak pernah mau berpihak ke gue."
"Manusia gak selamanya ketiban sial, Ding. Mungkin, saat ini lo belum beruntung. Tapi, di masa depan, siapa yang tahu? Gak ada yang bisa nebak."
Gading merenungi ucapan Bagus yang ada benarnya. Ia meletakkan buku yang ada di genggamannya, kemudian, diam termenung membayangkan masa depan yang indah. Bayangan di kepalanya akan masa depan selalu indah, dan Gading harap, kenyataan juga sama indahnya.
Ia tersenyum seraya berkata, "gue gak akan nyerah mencari bahagia yang sebenarnya. Makasih udah buat gue yang pengin menyerah, jadi semangat lagi dengan ucapan lo."
Bagus tersenyum bangga, sahabatnya yang tempo hari terpuruk akibat peringatan Pak Indra, kini punya semangat lagi. Dan itu terjadi akibat ucapan sok bijak darinya. Gading mengambil bukunya kembali, menjawab dengan sabar, pertanyaan dari Bagus yang tidak ada habisnya.
|Désespéré|
ODOC BATCH 2 DAY 5
24 Mei 2020Mohon maaf lahir dan batin teman-teman :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Désespéré ✓
Fiction généraleMimpi sudah menjadi abu yang hilang terbawa angin. Mungkin, menyerah menjadi pilihan yang paling tepat. Tidak! Gading memilih bertahan dan melepas mimpi, membawa harapan baru untuk ia wujudkan. Baginya, hidup selalu punya kejutan, tidak selamanya me...