|11| No Life

1K 106 2
                                    

Semalam setelah Gading resmi dikeluarkan dari sekolah, ia bermimpi mengenai sebuah masa depan. Di mimpi itu, Gading memiliki profesi sebagai barista terkenal. Entah apa kaitannya dengan kehidupan nyata, tetapi Gading punya keyakinan bahwa itu petunjuk dari masa depannya. Mungkin, barista adalah sebuah jalan untuknya meraih kesuksesan.

Gading suka kopi, tetapi tidak pernah membuatnya dengan teknik. Paling ia juga minum kopi warung yang murah. Seribu sebungkus, bisa diseduh segelas. Walaupun demikian, Gading tetap percaya akan mimpinya. Bunga tidur yang kerap dianggap angin lalu, kini dianggap nyata oleh Gading. Toh, bekerja sebagai barista, ada pelatihannya terlebih dulu. Jadi, pasti Gading bisa melakukan itu.

Memang belajar dari awal itu sulit, tetapi tidak ada salahnya untuk mencoba. Tuhan selalu memberikan yang terbaik pada umatnya yang mau bekerja keras. Karena itu, Gading akan bekerja keras untuk meraih mimpinya. Lebih tepatnya, Gading akan menempuh jalan menuju sukses yang ada di benaknya.

🍃🍃🍃

Dikeluarkan dari sekolah, mungkin bukan hal yang mengagetkan bagi Gading. Sebab, ia sudah terbiasa membolos, dan di rumah saja merawat Caca dan Ani. Namun, kali ini terasa berbeda. Tidak ada tugas menumpuk yang harus ia kerjakan, juga tidak ada kewajibannya lagi untuk belajar ilmu sains.

Untuk merealisasikan apa yang telah Gading mimpikan semalam, menjadi seorang barista. Ia menonton video mengenai teknik-teknik tersebut tiap waktu. Hingga ia melupakan makan dan minum sebelum tubuhnya meronta.

"Gak usah main HP terus, Caca sama Ani ajak main. Kan kamu udah dikeluarkan dari sekolah, gak ada kerjaan lain selain jaga anak," titah Mira yang dibalas desahan Gading.

"Aku pengin punya hidup sendiri, Mbak. Bosen main sama anak kecil terus, aku udah dewasa. Gak mau terjebak dalam dunia membosankan."

"Oh, kamu udah jadi adik pembangkang?" tanya Mira dengan tatap mata sinis.

"Mbak yang buat aku jadi pembangkang, Mbak yang selalu ngekang aku. Aku pengin pergi dari rumah kayak penjara ini. Apalagi, Mbak juga yang membuat aku dikeluarkan dari sekolah."

"Alah sok-sokan mau minggat, gak ada yang mau nerima kamu di luar sana. Anak gak berguna kayak kamu, gak bakal ada yang mau ngadopsi. Silakan kalau mau pergi, Mbak nggak akan nahan. Tapi, Mbak gak bakal mau nerima kamu lagi."

"Kenapa Mbak jahat banget sama aku? Mbak gak punya hati? Aku adik Mbak, lho. Apa Mbak udah nggak menganggap aku?" Gading mulai tersulut emosi. Amarahnya sudah terbakar hebat setelah Mira berucap tanpa hati.

Rumah yang tidak pernah memiliki kehangatan, kini semakin menyeramkan. Dua manusia yang menjadi tokoh utama itu saling beradu mulut. Hingga asisten rumah tangga yang ada dapur, mundur menghindari debat panas itu.

Sayang Gading kepada Mira yang dulu setinggi langit, semakin terkikis bersama dengan kata tajam yang terlontar. Bahkan, saat ini, rasa benci mendominasi. Ah, manusia memang makhluk labil. Selalu berubah sikap dan sifatnya dalam waktu singkat.

"Kamu adik, Mbak? Yakin? Dari dulu, Mbak hanya nganggep kamu budak di rumah ini. Rasa sayang yang pernah Mbak berikan padamu itu palsu. Cuma balas budi ke ibumu aja, jangan salah mengartikannya."

"Oh gitu. Ternyata aku udah salah nilai, Mbak. Aku muak dengan perlakuan, Mbak. Aku benci sama Mbak. Dalam waktu singkat, aku bakal pergi dari rumah ini," kata Gading sambil menahan sesak di dada. Menahan gejolak rasa sedih yang ingin pecah bersama dengan air mata.

"Kalau mau minggat sekarang, malah lebih bagus," tutur Mira sambil berlalu ke kamar Caca dan Ani. Meninggalkan Gading dengan wajah cengo.

"Lo kuat, Ding. Jangan nangis, lo siap menghadapi galaknya Mbak Mira," batin Gading memberi semangat untuk dirinya. Jujur saja, setiap manusia pasti punya lemah. Gading pun sama. Ia lemah dalam meredam emosi, tetapi ia terus berusaha menghilangkan lemahnya. Ia akan berusaha untuk kuat dalam segala hal.

Gading punya opini, bahwa jadi laki-laki itu jangan pernah menampakkan air mata di depan orang. Bukannya tidak boleh menangis, laki-laki boleh sedih sampai menangis. Hanya saja di tempat sepi. Ini hanya opini Gading saja, tentunya sangat sulit untuk dilakukan. Apalagi dalam keadaan Gading yang sekarang.

🍃🍃🍃

Diam, termenung, menahan dinginnya angin setelah hujan. Gading memeluk tubuhnya erat, berharap tubuhnya menjadi hangat. Namun, sia-sia. Harapannya sirna bersama waktu yang terus berjalan. Dingin angin di pelataran teras rumahnya, semakin menusuk tulang. Hingga mulutnya menjadi gemetar.

Tangannya mengambil ponsel di saku celana, menghalau gejolak sedih dan dingin dengan menonton video barista. Lagi-lagi Gading memiliki mimpi, dan ia akan berusaha mewujudkannya. Memang tidak mudah, tetapi usaha tidak pernah mengkhianati hasil.

Hidupnya berubah drastis, ia malas dengan tugasnya merawat Caca dan Ani. Ia bosan ada di rumah penuh kekang ini. Namun, belum ada jalan keluar untuknya bangkit. Ia masih harus menunggu waktu untuk beranjak. Ia akan mengasah kemampuannya menjadi barista terlebih dulu, sebelum bertindak.

Bau petrikor menjadi candu bagi Gading. Bau tanah bercampur air yang menyejukkan hati. Juga membuatnya menjadi ingat akan kenangan indah dalam hidupnya. Hingga ia menjadi betah duduk di bangku kayu teras rumah, bahkan langit pun sudah berganti menjadi hitam. Suara azan juga sudah nyaring berkumandang. Membuat Gading bangkit untuk mandi, juga menunaikan kewajibannya.

Peci dan sarung sudah menetap di tubuh kurusnya, tiga rakaat pun sudah ia tunaikan dengan khusyuk. Setelah itu, tangannya menengadah ke langit-langit kamar, merapalkan doa untuk masa depannya.

Suaranya bergetar meminta bantuan dari yang Maha Kuasa. Hingga tangisnya ikut pecah bersama kata yang ia ucapkan.

Setelahnya, Gading membaringkan tubuhnya di atas kasur. Menghidupkan pendingin ruangan dan segera memejamkan mata. Melupakan kejadian hari ini yang benar-benar menyakitinya. Gading diusir oleh Mira. Walaupun ia ikut berdebat, tetapi Mira tetap menjadi pusat masalah di sana.

"Aww!" teriak Gading.

Dadanya terasa nyeri, entah ada penyakit apa yang bersarang. Gading tidak pernah memikirkan hal itu, yang ada di otaknya hanya masa depan yang bahagia. Bagi Gading, kesehatan tidak penting, tidak ada yang peduli dengannya. Kalaupun ia meninggal, mungkin banyak orang yang bahagia.

Nyerinya hanya berlangsung sebentar, tetapi pikiran buruk masih menetap dalam pikirnya. Pikiran aneh-aneh yang selalu menutup kemungkinan baik.

"Percaya sama diri lo, Ding. Lo gak kenapa-napa, nyeri tadi cuma tanda aja kalau lo masih hidup. Orang mati gak merasa sakit," batin Gading meyakinkan dirinya.

Obat yang paling manjur yaitu sugesti dari diri sendiri. Juga semangat dalam menghadapi penyakit yang bersarang. Jangan menyerah jika obat tidak menyembuhkan penyakit, masih ada pemulihan yang lebih manjur darinya. Percaya saja ada jalan dibalik susah yang kita hadapi.

|Désespéré|

ODOC BATCH 2 DAY 11
30 Mei 2020

Désespéré ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang