Jantung Gading berdebar tak karuan, menunggu waktu dimulainya kompetisi barista tingkat nasional. Belum berpengalaman menjadi seorang barista, tetapi Gading tidak takut mencari pengalaman. Awalnya memang ragu untuk melangkah ke sana, tetapi dengan niat yang ia tanamkan dalam hati, Gading berani untuk ikut kompetisi ini.
Pekikan panitia melalui mikrofon menambah debar jantung yang semakin tidak karuan. Gading meremat kedua tangannya erat, menghilangkan rasa takut yang hadir padanya.
"Yakin aja kalau lo bisa, gak usah takut dengan lawan yang udah ahli. Fokus aja dengan kegiatan lo sendiri, tanpa melirik milik lawan. Gue yakin, kalau lo bisa menang. Lo udah sering berlatih, bahkan dengan alat dan bahan seadanya pun, lo bisa." Bagus menyemangati Gading.
Hari kompetisi barista ini diadakan di tanggal merah, yang berarti seluruh pelajar libur. Sehingga, Bagus bisa ikut menonton dan menyemangati sang sahabat dalam lomba. Mengharap dapat juara di kompetisi yang baru pertama kali diikutinya.
Gading ikut kompetisi ini tanpa teman dari kafe, Pepi mengurungkan niat untuk ikut. Dengan alasan, ada saudara yang menikah, sehingga ia harus merelakan kesempatan emas ini. Demi datang di acara nikahan saudara, yang menurut Pepi lebih penting.
Suara peluit sudah memekik di ruangan dengan luas seratus lima puluh persegi. Cukup lebar, hingga bisa menampung kurang lebih dua ratus peserta juga puluhan panitia.
🍃🍃🍃
Apron berwarna hitam sudah bertengger indah di tubuh Gading, tangannya pun dengan lincah menari bersama biji kopi juga mesinnya. Menikmati setiap cara untuk mendapatkan rasa kopi terenak menurutnya. Fokusnya pun hanya tertuju pada itu, suara gaduh yang diciptakan oleh beberapa peserta tidak bisa mengusiknya.
Namun, teriak panitia mengenai sisa waktu, mampu membuat fokus Gading terpecah, hingga Gading memilih untuk melafalkan lagu yang ia hafal. Bagi Gading, dengan bernyanyi, fokusnya bisa kembali datang dengan sendirinya. Entahlah, setiap manusia punya cara yang berbeda.
Uap kopi yang menimbulkan semerbak harum, membuat Gading tersenyum bangga. Disertai dengan berdoa dan usaha sedikit lagi, Gading akan menyelesaikan kompetisi ini. Semoga saja, fakta tidak merebut bahagianya dengan menjatuhkan kalah untuk Gading.
Walaupun Gading hanya mencari pengalaman di kompetisi ini, tetapi harapan untuk menang ada, bahkan Gading berharap besar untuk itu. Menurut Gading, ia tidak akan memiliki sisa waktu yang banyak, untuk mendapatkan kesempatan seperti ini, lagi. Bahkan, Gading takut jika ini merupakan kompetisi pertama dan terakhirnya.
Alasannya berpikir seperti itu pun cukup logis. Akhir-akhir ini, dadanya sering nyeri, batuk hebat juga sering datang padanya. Bahkan, Gading sudah mencari tahu mengenai penyakit dengan gejala serupa. Penyakit jantung.
Jujur, Gading takut ketika membaca itu, matanya berair dengan sendirinya, dadanya pun terasa panas hingga menusuk ke tenggorokan. Ia takut jika malaikat maut menjemputnya di waktu dekat, di saat bahagia sedang hampir pada dirinya. Namun, Gading kembali berpikir positif, selalu meyakinkan dirinya bahwa ia baik-baik saja. Toh, Gading berjanji untuk memeriksakan dirinya setelah kompetisi ini selesai. Gading harap, tidak ada halangan untuk itu, juga hasil yang nantinya diterima, tidak buruk.
Waktu tersisa sepuluh menit, lagi. Seseorang dengan baju ungu, khas panitia berteriak lantang. Guna memperingati para peserta.
Kembali pada hiruk pikuk kompetisi yang sedang terjadi. Gading sudah diam tanpa menari dengan lincah lagi bersama bahan dan alat di depannya. Kopi buatannya sudah selesai dengan apik. Ada sebuah lukisan bunga menarik hati di atasnya, bau semerbaknya pun membuat para penikmat kopi ingin menyesapnya cepat.
Untuk peserta yang sudah selesai dengan karyanya, silakan meninggalkan tempat. Para juri akan berkeliling untuk menilai lima menit lagi. Sekali lagi, pria berbaju ungu menyuarakan suaranya.
"Gimana, Ding? Yakin dengan kopi buatan, lo?" tanya Bagus ketika Gading menghampirinya dengan tubuh banjir keringat, sebab rasa lelah setelah meracik kopi.
"Gue sih yakin banget. Semoga para juri juga suka dengan karya gue," ucap Gading sambil mengelap keringatnya dengan lengan baju, dan melepas apronnya.
"Amin," jawab Bagus dengan singkat, juga dengan nada tegas.
🍃🍃🍃
Menunggu para juri keliling, mencicip dengan sendok mini kopi yang berjajar rapi di atas meja, sungguh membosankan. Apalagi ada hasil yang harus ditunggu untuk diketahui, menambah rasa takut tumbuh begitu saja.
Setengah jam kemudian, gaduh ruangan yang tercipta, menjadi hilang. Berganti dengan ricuh para juri yang sedang berkomentar. Meyampaikan pepatah untuk memberi semangat para peserta.
Hingga, waktu yang ditunggu seluruh peserta tiba. Alinea awal pengumuman sudah terucap, tinggal menunggu nama para peserta yang beruntung untuk maju mendapat penghargaan.
Juara ketiga, Gading Arisna, silakan maju ke depan untuk menerima penghargaan. Ricuh suara tepuk tangan mengiringi lega yang sedang Gading rasakan. Senang dengan hasil yang memuaskan. Di kompetisi pertama, juara ketiga bukanlah hasil yang buruk. Malah, bisa untuk diacungi dua jempol.
"Wah, keren banget lo, Ding. Ternyata latihan lo selama ini gak sia-sia," ucap Bagus bangga sambil menepuk punggung Gading singkat.
"Gue juga nggak nyangka, Gus. Tuhan memang baik, deh."
"Iya, Tuhan emang selalu baik ke setiap umatnya yang mau meminta pertolongan. Udah sana maju, keburu penghargannya pindah ke pemenang lain." Gading terkekeh dan menuju ke depan, menghampiri para juri, juga tiga juara favorit yang sudah ada di sana.
Penyerahan hadiah sudah dilakukan, Gading mendapat medali perunggu dan uang sebesar lima juta rupiah. Jujur, Gading tidak menyangka pencapainnya di bidang kopi bisa secepat ini. Takdir memang suka bermain teka-teki yang sulit untuk ditebak.
Satu lagi penghargaan yang harus kami berikan kepada para juara. Untuk juara satu sampai juara tiga, kalian mendapat kesempatan untuk maju di kompetisi barista tingkat Internasional di Paris, satu bulan lagi. Persiapkan diri kalian di waktu yang ada.
Gading kembali terperangah dengan kejutan ini. Kesempatan datang bertubi-tubi kepadanya. Bahagia pun juga datang dalam waktu yang singkat untuk dirinya.
"Gila lo, Ding. Keren banget. Gue bangga punya sahabat kayak, lo." Bagus merangkul Gading dan berjalan menuju parkiran, berniat untuk pulang ke rumah tanpa mampir.
"Gue juga nggak nyangka, Gus. Apalagi ada kesempatan yang lebih besar buat gue jadi sukses, ada lomba di Paris, Gus. Gue harus mewakili negara kita bersama dua juara lain." Gading bercerita sambil menyunggungkan senyum indahnya.
"Apa jangan-jangan, Mbak Mira pembawa sial? Waktu lo tinggal sama dia, lo nggak pernah bahagia dan berhasil dalam hal apapun."
"Hush, ngawur. Gak ada manusia pembawa sial, mungkin waktu tinggal sama Mbak Mira, sukses gue memang belum pengin muncul." Gading dan Bagus terkekeh bersama, hingga sampai ke motor dan melaju bersama pengendara jalan lain, di ramainya kota saat hari libur.
|Désespéré|
[TBC]
ODOC BATCH 2 DAY 20
8 Juni 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Désespéré ✓
General FictionMimpi sudah menjadi abu yang hilang terbawa angin. Mungkin, menyerah menjadi pilihan yang paling tepat. Tidak! Gading memilih bertahan dan melepas mimpi, membawa harapan baru untuk ia wujudkan. Baginya, hidup selalu punya kejutan, tidak selamanya me...