|6| Ketahuan

1.1K 114 0
                                    

Soal ulangan sudah ada di hadapan masing-masing siswa. Membuat suasana kelas menjadi hening. Tidak ada suara obrolan siswa yang biasanya terjadi. Kini, yang terdengar hanya bisik-bisik dari beberapa siswa yang saling mencontek.

Gading mengerjakan ulangan dengan diam, tanpa menjawab pertanyaan yang sesekali Bagus lontarkan. Gading tidak mau memberi contekan pada Bagus. Bukannya pelit, Gading hanya ingin Bagus berjuang dengan benar. Tidak boleh curang demi mendapatkan nilai yang baik. Sekalian simulasi jika nanti Gading tidak sekolah lagi.

Bel sekolah telah berbunyi, menandakan jadwal pelajaran harus ganti. Membuat para siswa kalang kabut menjawab soal ulangan dengan acak. Terbukti dari keributan yang terdengar. Berbeda dengan Gading yang selesai paling awal, dan kembali ke tempat duduknya untuk menelungkupkan kepala.

Sewaktu mengerjakan ulangan tadi, tiba-tiba Gading merasakan nyeri di dadanya. Tidak berlangsung lama, tetapi terasa cukup menyakitkan. Membuat Gading berpikir mengenai hal buruk yang mungkin menimpa dirinya. Membuat Gading terpuruk jika bayangan buruk akan dirinya benar terjadi.

Gading masih memejam ketika menunggu guru datang. Tetapi, dia tidak benar-benar terlelap ke alam mimpi. Dia hanya meredam pikiran buruknya.

"Ding, kenapa lo? Gak biasanya tidur di kelas," tegur Bagus sambil menyenggol lengan Gading pelan.

"Ngantuk," Gading menjawab tanpa merubah posisinya. Ia masih berdiam diri tanpa mengangkat kepalanya.

🍃🍃🍃

Sepulang sekolah, Gading dan Bagus memilih untuk bermain basket dulu. Seperti biasa, Gading menebeng Bagus untuk pulang. Kemudian, Bagus hanya mengantar sampai rumahnya saja dan Gading harus berjalan ke rumah. Bukannya Bagus tidak mau mengantar Gading sampai rumah, tetapi Gading yang menolak tawaran itu. Gading tidak mau merepotkan Bagus di banyak hal. Yang membuatnya harus balas budi setimpal. Gading tidak yakin hal itu dapat terwujud, makanya ia tidak mau terlalu merepotkan orang lain, terutama Bagus.

Motor Bagus sudah rapi terparkir di pekarangan rumahnya. Mereka tinggal berjalan kurang lebih tiga ratus meter ke lapangan basket. Sekalian lari sore yang jarang mereka lakukan.

"Kamu dari mana? Sampai gak pulang ke rumah. mau jadi anak berandal?" ucap Mira di depan rumahnya. Rumah yang ia tinggali bersama Gading dan kedua anaknya. Rumah yang harus dilewati Gading dan Bagus untuk sampai ke lapangan basket tujuan mereka.

"Mbak gak perlu tahu," Gading melengos setelah berucap. Kemudian melanjutkan langkahnya menuju lapangan basket.

Namun, suara Mira berhasil membuatnya membeku di tempat. Membuat tubuhnya kaku, susah untuk bergerak walau untuk melangkah. Air mata pun ikut memupuk di matanya, siap untuk mengucur dengan sendirinya.

"Mbak gak akan kasih izin kamu sekolah, atau keluar dari rumah. Kerjaan kamu mulai saat ini, cuma ngerawat Caca dan Ani. Kalau melawan, gak usah tinggal disini lagi, dan Mbak juga gak nganggap kamu jadi keluarga sampai kapanpun."

Sedih dan takut memupuk menjadi satu dalam diri Gading. Hingga dadanya seperti tersulut api, dan marah pun ikut membuncah di sana.

"Mbak boleh maki aku sepuasnya, Mbak boleh nyakitin fisik dan hati aku sepuasnya. Tapi, jangan pernah berani buat masa depan ku suram, dengan gak ngasih izin aku buat sekolah. Aku butuh sukses untuk membuktikan bahwa diriku layak hidup di dunia. Aku gak mau dikecam oleh masyarakat sebagai sampah," ucap Gading dengan pandangan ke bawah. Ia tidak mau menampilkan dirinya yang lemah. Toh, dia punya julukan untuk dirinya sebagai manusia sekuat baja. Harus tetap tegar walau ditempa ribuan kali.

"Mbak gak peduli, kalaupun kamu dikecam sebagai sampah masyarakat, apa urusannya dengan Mbak?" ucap Mira santai.

Gading ingin melawan Mira dengan bantahan kembali. Namun, hanya tertahan dalam kepala saja. Hingga ia harus terdiam sejenak, mengumpulkan beraninya. Kemudian, Gading mengerang dan berteriak tanpa peduli keadaan sekitar.

"Dimana peri kemanusiaan, Mbak? Mbak punya hati, kan?" teriak Gading, kemudian ia menghela napas dan melanjutkan kalimatnya yang terpotong, "Hati itu digunain, jangan asal ngomong tanpa disaring dan buat hati orang sakit."

"Alah, bocah bau ingus kayak kamu, gak usah sok bijak? Sok-sok ngomong soal hati, emangnya kamu udah jadi manusia yang sempurna? Gak pernah nyakitin hati orang?" sindir Mira yang berhasil membuat penghuni rumah di samping kanan kirinya keluar. Menatap perdebatan antar kakak beradik yang menyayat hati. Bagus pun hanya diam, tidak bisa melangkah untuk melerai.

"Shut up bi*ch," teriak Gading untuk kesekian kalinya. Tetapi, tiba-tiba dadanya nyeri. Membuat ia mengurungkan niatnya untuk berucap panjang lebar. Membuat tangannya yang semula di samping tubuh, memegang erat dadanya yang nyeri.

Bagus panik melihat Gading kesakitan. Namun, ia hanya bisa mengelus dan bertanya tanpa jawaban. Seraya mengamati perubahan warna kulit Gading yang menjadi pucat.

"Lo kenapa, Ding? Dada lo sakit? Ke rumah sakit, ya. Gue anterin," Bagus berjongkok di samping Gading untuk bertanya, tetapi hanya ringisan pelan yang menjadi jawabannya.

"Gak usah pura-pura sakit, sakit beneran tahu rasa. Ini peringatan terakhir dari Mbak, kerjaan kamu sekarang, cuma ngurus Caca dan Ani. Gak ada keluar rumah tanpa izin dari Mbak. Mau membantah? Gak usah tinggal bareng Mbak, lagi," ucap Mira seraya pergi dengan mobilnya. Meninggalkan Gading yang masih menahan marah dan nyeri di dadanya. Mira juga meninggalkan kesan buruk dirinya di mata tetangga yang melihat.

Ramai tetangga yang berkumpul sudah menghilang, tetapi Gading masih bersimpuh di atas aspal ditemani Bagus. Meneteskan air mata yang bisa sedikit melegakan sakit hatinya akibat perlakuan Mira. Ia mengabaikan pertahanan kuatnya, ia sudah mencapai batasnya. Gading benar-benar akan menyerah jika tidak ada Bagus di sampingnya.

"Gus, kenapa lo masih disini?" tanya Gading setelah menghapus jejak air matanya.

"Mau nemenin lo. Emang gak boleh?"

"Kenapa lo masih mau temenan sama gue? Padahal lo tahu kalau gue bukan anak baik-baik. Mbak Mira seorang mantan kupu-kupu malam."

Bagus menghela napas panjang, "Mbak Mira emang mantan kupu-kupu malam, gue tahu. Terus apa hubungannya dengan lo? Lo tetap Gading yang gue kenal, lo tetap teman gue yang baik."

"Lo emang terbaik, Gus. Gue beruntung bisa kenal dan temenan sama lo," Gading tersenyum. "Gus, lo mau anterin gue ke makam ibu?" tanya Gading setelah sedihnya berangsur menghilang.

"Apa sih yang gak buat lo?" Bagus merangkul Gading ke rumahnya. Mereka mengurungkan niat untuk bermain basket. Mereka memilih kegiatan lain untuk mengisi waktu untuk pergi ke makam.

Hati Gading hancur berkeping-keping, tetapi, ia berusaha menyusunnya kembali. Walaupun tidak sempurna, setidaknya masih bisa tersambung. Tujuan Gading ke makam pun, tidak lain karena ia ingin mengadu akan hidupnya yang pahit. Gading ingin mengadu bahwa dirinya lelah bertahan di dunia ini. Ia bingung akan mengadu kepada siapa, memang benar hanya Tuhan tempatnya mengadu, tetapi, ia bosan belum ada jawab akan aduannya hingga sekarang.

|Désespéré|

ODOC BATCH 2 DAY 6
25 Mei 2020

Désespéré ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang