Masih menghirup segarnya udara, sungguh nikmat yang sangat luar biasa. Bahkan dalam waktu singkat, masalah yang hadir, larut begitu saja. Bersama dengan rasa syukur yang terus diucapkan.
Memang benar jika masalah itu mengusik pikiran, menenggelamkan diri dalam bayangan semu. Namun, masalah membuat manusia menjadi lebih dewasa, juga menjadi manusia lebih kuat. Termasuk Gading, masalah yang menempanya ia biarkan saja. Ia hanya menganggap masalah sebagai angin lalu. Ia belajar dari masalah yang hadir dalam hidupnya.
Buktinya, hari ini Gading memilih untuk keluar rumah, tidak mau terus terpuruk dalam pikirannya. Hari libur kali ini, ia berniat untuk menghabiskan waktu di mal tengah kota. Tentunya bersama Bagus, teman setianya.
Gading memang tidak punya uang, tetapi ia ingin menenangkan dirinya. Melewati masalah tanpa memikirkannya kembali. Salah satunya dengan melangkah ke depan. Gading harap, ia bisa melakukannya dengan baik.
Langkahnya sempat goyah ketika Mira menginterupsinya. Menahannya untuk tetap di rumah. Namun, Gading benar-benar telah berubah. Ia sudah 100% menjadi pribadi pembangkang. Tentunya berkat ucapan Mira tempo hari yang menyakitinya.
"Mau ke mana? Kalau mau pergi itu izin dulu sama yang punya rumah. Numpang di rumah orang tuh yang sopan." Gading membeku sejenak, tetapi ia abai dan melanjutkan langkahnya. Meninggalkan Mira dengan marah yang membuncah.
Gading menikmati semilir angin yang berembus. Sesekali, pandangannya menelisik ke rumah-rumah tetangga. Menerawang kejadian yang ada di sana, tetapi ia hanya manusia bisa. Tidak bisa melakukan hal di luar nalar. Pikirannya hanya penuh dengan imajinasi belaka.
🍃🍃🍃
Motor kebanggaan Bagus telah berbaur di jalan raya yang ramai. Menuju gedung tinggi pusat manusia ingin menyegarkan pikiran.
"Gus, gak usah beli apa-apa, ya. Gue cuma mau nyari ketenangan disini. Gak punya duit juga buat beli suatu barang disini."
"Suka-suka gue lah, kalau lo gak mau beli gak pa-pa, gue mau beli juga terserah gue," ujar Bagus seraya menyunggingkan senyum dan beranjak masuk mal. Meninggalkan motornya di tempat parkir dengan rapi.
Suara para manusia langsung memekik memenuhi gendang telinga pendengarnya. Bising yang ada disini sungguh mengusik siapapun. Namun, Gading malah merasa senang. Sebab, ia bisa menjadi samar di antara lautan manusia. Tidak ada yang membuatnya menjadi fokus, sebab semua punya urusan sendiri.
Hanya Bagus satu-satunya orang yang menjadi fokusnya. Orang yang sama sepertinya, tidak mendapat kasih sayang dari orangtua. Orang yang sama sakit bersamanya, selalu mendapat banyak luka di waktu yang singkat.
"Ding, main timezone, yuk," ajak Bagus.
"Ya udah. Gue nonton lo main aja, lagi gak mood gue."
"Gak mood apa gak punya duit? Gak usah mikirin duit lah kalau mau seneng-seneng. Kalau lo beneran gak punya duit, gue ada banyak. Kemarin barusan di transfer."
"Lah bokap nyokap lo gak balik lagi? Sayang anak gak, sih?" Gading bersungut-sungut sambil melanjutkan langkahnya.
"Sayang sama harta doang kayaknya, gue mah bisa apa? Cuma upil diantara berlian. Gak pernah terlihat walaupun gue ada."
Gading tersenyum mendengar komedi Bagus yang sebenarnya tidak lucu. Ia mengikuti Bagus dengan tergesa, menyelinap diantara manusia yang tidak bercelah. Hingga suara mesin mainan sudah memenuhi kepalanya. Membuat ia berhenti, menunggu Bagus mengambil kartu timezone di depan pintu masuk.
"Gue capek, udahan yok," ajak Gading.
"Baru lima menit main basket, Ding. Gak usah pura-pura, deh. Lo nggak enak kan kalau gue bayarin main? Anggap aja gue kakak lo, yang selalu ada saat lo butuh."
"Sotong lo, Gus, gue beneran capek. Lo main sendiri aja, gue lihat di sana," Gading menunjuk bangku kayu mengkilap di sisi mesin piano. Meninggalkan Bagus yang masih terjebak di tengah permainan.
Gading memasang earphone guna menetralisir ramai. Menonton video barista sekalian belajar beberapa teknik, sebelum menyelam menjadi salah satunya. Gading itu pekerja keras, selalu meyakinkan dirinya hingga bahagia menjemput. Melawan malas demi berhasil yang harus ia wujudkan.
Baru satu video selesai ia tonton, Bagus sudah selesai bermain dan menghampirinya. Melanjutkan penyegaran pikiran ke toko buku. Membantu Bagus mencari referensi untuk ujian nasional.
Namun, lagi-lagi pandangannya tertuju ke lain arah. Pandangannya tertuju pada mata menusuk yang membuatnya naik pitam. Gading melihat Mira berjalan dengan laki-laki yang berbeda dari kemarin.
Gading ingin abai seperti saat di rumah tadi, tetapi ia tidak bisa. Hatinya bergejolak ingin menyuarakan marah di sana. Namun, rasa malu tentu hadir. Ramainya suasana mal, tidak bisa membuat Gading bebas bersuara.
Hingga idenya datang begitu saja, ia meninggalkan Bagus, dan menyeret Mira ke dalam lift yang kebetulan terbuka. Tentunya meninggalkan Bagus dan pria yang berjalan dengan Mira, cengo menatap itu. Namun, Gading abai dan segera menutup pintu lift sebelum beberapa manusia masuk.
"Kenapa nyeret Mbak ke sini? Masih peduli?" tanya Mira dengan tangan bersedekap di dada.
"Apa Mbak nggak mikirin Ani dan Caca saat melakukan ini? Jalan sama banyak cowok di waktu yang singkat. Kasihan anak Mbak yang nantinya malu dengan kelakuan Mbak."
"Kamu tahu apa soal ini? Mbak melakukan ini karena ingin Caca dan Ani hidup berkecukupan, kayaknya Mbak pernah bilang ke kamu, deh. Kamu lupa?"
"Mbak itu cuma mikir uangnya doang, kerja simpel yang penting dapet uang banyak. Gak mikir dampak yang nantinya menimpa."
"Alah, kamu anak ingusan gak usah sok-sokan nasihatin Mbak. Kamu tuh emang adik gak tau untung. Numpang di rumah orang tanpa bayar, minta disekolahin tapi gak membanggakan." Gading bungkam, hendak membuka mulut, tetapi lift sudah hampir sampai di lantai baru. Mengharuskan Gading diam menahan marah, enggan menampakkan debat di depan umum. Sebab, ia malas dijadikan pusat fokus semua orang.
Namun, Mira malah menjambak brutal rambut lepek Gading. Membuat Gading mengerang pelan. Hingga pintu lift terbuka, dan Mira masih melakukan atraksinya.
"Kami cuma main-main, ini gak serius," ujar Mira kepada beberapa orang yang tanpa sengaja melihat. Kemudian, dia bergegas keluar lift, meninggalkan Gading sendiri dengan tangan membenarkan rambut.
Gading pun ikut keluar dari lift, menghubungi Bagus untuk bertemu kembali. Ia ingin pulang dan mengemas barang-barangnya. Ingin kabur dari rumah Mira tanpa tujuan yang jelas.
Kehadiran Gading di rumah itu sudah benar-benar ditentang. Tidak ada sayang dan tulus kasih dari Mira. Hanya tersisa ucapan 'Mbak' dan 'adik' di debat seru mereka.
Kata orang-orang, sifat manusia itu sangat susah diubah. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa sifat manusia tidak bisa diubah. Terbukti dengan sikap Mira. Ia hanya berubah menjadi pribadi baik sementara, kini Mira kembali menjadi pribadi buruk lagi. Gading sedih, ia sudah menasihati, tetapi tidak ada hasilnya. Mira malah semakin garang ketika diberi nasihat. Gading harap, Mira benar-benar berubah menjadi lebih baik selamanya.
|Désespéré|
[TBC]
ODOC BATCH 2 DAY 12
1 Juni 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Désespéré ✓
General FictionMimpi sudah menjadi abu yang hilang terbawa angin. Mungkin, menyerah menjadi pilihan yang paling tepat. Tidak! Gading memilih bertahan dan melepas mimpi, membawa harapan baru untuk ia wujudkan. Baginya, hidup selalu punya kejutan, tidak selamanya me...