Chapter 8

21 1 0
                                    

Chapter 8
Disuatu tempat


Seorang pria berdiri dibawah gelapnya malam disalah satu puncak gedung di Jakarta. Lalu lintas dijalanan dibawah gedung tampak sepi. Bintang-bintang terlihat berkilauan di gelapnya malam, memberi sedikit cahaya untuk membentuk bayangan pria tersebut yang tampak kekar mengenakan mantel hitam panjang. Pria ini tampak memegang sebuah cerutu ditangan kanannya dan foto seorang perempuan berambut panjang dan berkacamata ditangan yang lain. Dibelakangnya terlihat seorang pemuda berdiri dengan setelan jas hitam seakan-akan menunggu perintah dari pria misterius tersebut.

"Jadi dimana perempuan ini sekarang?" sang pria berkata sambil menghisap cerutunya dalam-dalam.

"Dia berhasil keluar dari Jakarta." sang pemuda menjawab tenang.

"Tetap awasi perempuan ini apapun yang terjadi" sang pria misterius lanjut berkata. "Dari sekian banyak pihak yang sudah kita kuasai, cuma perempuan ini yang punya kesempatan untuk menggagalkan semuanya."

"Dia sedang berada di Bandung" sang pemuda menjawab. "Perempuan tersebut sepertinya aman, dia tidak akan berbicara tentang apapun dalam waktu dekat. Agen memberi kabar kalau pengiriman vaksin baru akan terjadi 6 bulan, sementara waktu kita tidak bisa melakukan apa-apa supaya tidak menyita perhatian publik. Rencana sejauh ini berjalan lancar karena terjadi chaos diberbagai tempat setelah teror ledakan kemarin. Pemerintah mulai goyah. Kita tinggal menunggu waktu yang tepat untuk mengeksekusi rencana akhir agar tujuan kita tercapai."

"Bagus" sang pria misterius menjawab. "tetap jalankan semuanya sesuai rencana. Dalam waktu 2 hari kedepan eksekusi perempuan tersebut sebelum semuanya terlambat. Jangan tinggalkan jejak apapun, buat seolah-olah terjadi karena tindakan anarkis akibat pemberontakan terhadap pemerintah."

"Baik" sang pemuda menjawab.

"Eksekusi langsung dengan tanganmu sendiri, Leo" sang pria misterius melanjutkan. "Jangan sampai gagal dan jangan libatkan siapapun"

"Baik" sang pemuda menjawab tenang lalu melangkah pergi meninggalkan gedung.

"Atlas, Klaus" sang pria misterius berkata sambil menghisap cerutunya diantara hembusan angin malam. Angin malam yang berhembus cukup kencang diatas gedung tersebut membuat mantel sang pria terombang-ambing. "Sampai bertemu di alam berbeda"

-------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pagi ini gue bangun dengan perasaan sedikit membaik setelah hampir semalaman bibi tidur dengan memeluk gue dari belakang. Perasaan gue sedikit lebih tenang sekarang setelah sebelumnya dipenuhi emosi marah dan sedih dengan kapasitas yang tidak pernah gue rasakan. Semalam Bibi benar-benar memberi kehangatan. Berada sepanjang malam disamping perempuan yang gue kenal 10 tahun ini membuat gue sadar kalau gue gak sendirian sekarang. Gak pernah gue bayangkan sebelumnya kalau gue dan Bibi bakal melewati momen berat seperti ini dan akan saling menghibur seperti yang kami lakukan tadi malam.

Gue mulai merasakan kalau pagi mulai tiba. Tidak beberapa lama yang lalu gue mendengar suara ayam berkokok dan adzan shubuh dikumandangkan. Cahaya mentari pagi mulai masuk melalui celah jendela yang tidak tertutup tirai.

"Ren bangun" Bibi tiba-tiba bergumam. Tangannya yang sedang memeluk pinggang gue tiba-tiba sedikit bergerak. "Udah pagi tau"

"Kamu yang belum bangun, Bianca" gue menjawab sambil memutar tubuh gue agar saling berhadapan dengan tubuh Bibi. Rambut hitam panjangnya, bibir tipisnya, dan matanya yang indah terlihat polos dengan ekspresi yang belum pernah gue liat selama 10 tahun gue kenal Bibi. "Bangun sih, tapi kalau mau tetep tidur gak apa-apa. Kamu cantik Bi kalau lagi tidur"

"Ah?" Bibi membuka mata secara cepat setelah mendengar kata cantik sambil tangan kirinya meraba-raba meja tempat menaruh kaca mata yang letaknya ada disamping tempat tidur. "Kamu bilang aku cantik? Huuhu so sweet. Pengen lagi yah kayak semalem? Ngaku"

"Dari awal kenal kan aku emang bilang kamu cantik, dih. Aku pernah nulis kamu mirip Maudy Ayunda" gue menjawab sambil tetap memperhatikan ekspresi bibi yang baru bangun. "kamu udah gak pernah baca ceritanya lagi sih, aku nulis bertahun-tahun padahal. kayak semalem? pengeeeen. Aku selalu pengen kalau berdua sama kamu"

"Hehehe gaplok juga nih, gak bakal aku kasih kamu kesempatan kayak gini sering-sering, inget ya. Aku inget, gak bisa lupa lah kalau udah ditulis terus dikasih judul CERITA KITA UNTUK SELAMANYA hahahaa. Tiap kamu nyebelin aku selalu baca curhatan kamu disana. Lucu" Bibi menjawab sambil memakai kacamata yang berhasil dia temukan dimeja sebelah tempat tidur dengan hanya meraba-raba. Mata gue dan dia saling bertatapan sekarang. Jantung gue dagdigdug untuk kesekian kalinya dalam beberapa jam terakhir. "Hari ini kita sarapan bareng, masak bareng, beres-beres bareng, ah banyak banget kegiatannya, tapi yang penting kita mandi dulu yuk sekarang?"

"Aku mager Be" gue menjawab perkataan Bibi sambil tetap menatap matanya dalam-dalam. "Kamu aja sendiri aku tidur disini boleh?"

"Dih kamu gak denger aku barusan ngomong apa? Bareng. Semua bakal kita lakuin bareng" bibi menjawab sambil tersenyum jahat. "Tapi kalau kamu mau kita tetep dikamar aja seharian juga boleh. Paling ya nanti dapur berantakan bekas semalem. Barang Ibu dan Ayah gak ada yang beresin..."

"Ah, serba salah yah" gue menjawab perkataan Bibi cepat. Kondisi kamar masih remang karena tirai dan lampu belum dinyalakan sama sekali. Melihat Bibi dalam kondisi remang seperti ini menggoda gue untuk tetap stay dikamar berdua dalam beberapa jam kedepan, tapi terlalu banyak hal yang harus diselesaikan hari ini karena gue dan Bibi masih harus mengirim doa untuk keluarga gue dan Ben."Bener kata kamu kita mandi dulu terus sarapan sekarang. Setelah itu kita beres-beres terus kirim doa buat keluarga aku sama Ben. Berdua aja"

"Gitu dong. Iya, berdua aja" bibi menjawab sambil tersenyum dan bangkit dari atas tempat tidur. "mandi dulu terus kita happy-happy hari ini."

"Iya" gue menjawab sambil menatap punggung Bibi yang tertutupi rambut panjangnya

"Ya udah aku ke kamar Ina dulu" bibi menjawab sambil merapikan pakaian. "terus nanti kita ketemu didapur buat bikin sarapan bareng"

"Iya, Bianco" gue menjawab singkat, masih dalam posisi tidur di atas tempat tidur.

"Kamu bangun dong" setelah merapikan pakaian, Bibi menundukkan tubuhnya kearah gue dan mencium pipi gue cepat. "Makasih udah nemenin aku semalem ya"

"Iya, Bi." Jawab gue sambil bangun dari tempat tidur setelah bibi berjalan menuju pintu kamar. "Sayang kamu" gue berkata sebelum bibi menutup pintu untuk keluar kamar.

Hubungan gue dan Bibi memang complicated dari awal. Tapi se-complicatednya hubungan ini, gue gak pernah kehilangan perasaan sayang gue ke dia, ini hal yang coba gue pahami bertahun-tahun kebelakang. Dan semalem gue dapet jawabannya, setelah menatap wajah bibi diremang cahaya malam.

Cerita Kita Untuk Selamanya 3 : Cataphiles [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang