Chapter 2

27 2 0
                                    

CHAPTER 2

"Nomer yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi"

Setelah bunyi ledakan terdengar, gue secepat kilat mencoba untuk menghubungi ibu dan seperti dugaan gue nomer ibu sedang tidak aktif. Tanpa banyak fikir gue ambil kunci mobil dan segera bergegas untuk pulang kerumah. Perjalanan ini memakan banyak waktu walaupun jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh karena jalanan tampak ramai. Sepanjang jalan banyak warga panik berlarian untuk menyelamatkan diri dijalanan. Pihak kepolisian bahkan belum terlihat untuk mengamankan lokasi karena mungkin mereka kewalahan akibat banyaknya titik ledakan dan banyaknya kasus kerusuhan yang harus ditangani sekarang.

Setelah mencapai area stasiun, gue parkirkan mobil seadanya untuk turun dan melihat keadaan sekitar. Bener dugaan gue, ledakan pertama terjadi diarea stasiun kereta. Kepulan asap hitam masih terlihat membumbung ke langit dari bangunan tua yang dijadikan stasiun oleh pemerintah daerah. Jasad-jasad hitam legam terlihat berhamburan ditanah. Korban-korban selamat terlihat menderita luka serius dan diberi pertolongan seadanya oleh warga sekitar. Ruang tunggu stasiun, monumen gerbong pertama di Indonesia, beberapa gerbong kereta terlihat hancur berantakan.

"Tolong telfon ambulan, anak saya butuh bantuan" Tidak beberapa jauh dari tempat gue berdiri terlihat seorang wanita paruh baya berteriak sambil menangis ke kerumunan orang. Didekapannya terlihat seorang anak kecil bersimbah darah tidak sadarkan diri. Tidak ada yang benar-benar memperhatikan wanita ini karena setiap orang sibuk dengan urusan masing-masing. Sang Ibu terus menangis sambil memeluk anaknya yang sedang berjuang melawan maut sampai akhirnya ada beberapa warga yang bersedia menolong dengan menelfon nomer telfon darurat untuk ambulan.

"Siapapun tolong bapak ini, dia pendarahan hebat" seorang pemuda jangkung tidak jauh dari posisi si ibu juga berteriak meminta pertolongan ke orang-orang yang sedang panik berlarian. Suasana benar-benar mencekam, sepanjang indera penglihatan gue berkerja yang terlihat hanyalah ketakutan, tangisan, dan darah berceceran dimana-mana.

Suara sirine yang tiba-tiba terdengar mungkin memberi sedikit perasaan lega untuk korban yang membutuhkan pertolongan. Beberapa mobil ambulan dari kejauhan tampak sudah mulai berdatangan diiringi dengan kesibukan gue membantu para korban sementara aparat kepolisian belum menampakkan batang hidungnya satu orang pun. Para petugas medis yang datang segera mengevakuasi para korban satu-persatu. Gue gak tahu pasti berapa jumlah warga yang jadi korban diledakan ini, tapi dari dampak kejadian di lokasi yang hancur lebur, gue perkirakan kalau korban dari ledakan ini gak sedikit. Melihat kondisi para korban membuat gue lupa tujuan awal gue datang ketempat ini, untuk pulang kerumah mencari tahu keadaan Ibu.

Pikiran gue kacau, setelah menolong beberapa korban untuk segera dibawa ke rumah sakit terdekat, gue berlari secepat yang gue bisa untuk menuju ke rumah gue yang jaraknya tidak terlalu jauh dari lokasi stasiun berada. Beberapa kali gue kembali mendengar suara ledakan dikejauhan. Sekarang matahari telah sepenuhnya mengalihkan tugasnya ke bulan untuk menyinari bumi, malam telah tiba. Semakin jauh gue berlari, semakin gue sadar kalau lampu-lampu jalanan yang biasanya terang menyinari sudut-sudut kota sekarang tampak padam tidak bernyawa. Suara teriakan terdengar diseluruh penjuru kota dalam suasana gelap mencekamnya malam

Setelah melewati gerbang perumahan yang disinari satu-satunya lampu neon putih redup, dengan nafas terengah-engah gue mulai melihat cahaya kecil dari rumah sederhana yang gue tempati sejak kecil. Rumah gue tampak sepi. Ayah, ibu, dan Ina kemungkinan besar sekarang tidak dirumah. Pagar rumah besi bercat merahmarun setinggi satu setengah meter mulai terlihat samar dengan semakin cepatnya langkah kaki gue berjalan. Jantung gue berdegup semakin cepat seiring dengan semakin dekatnya posisi gue dengan rumah, Gimana kalau ibu dan yang lain benar-benar tidak ada dirumah?

Setelah menapaki kebun halaman depan yang biasa ibu gunakan untuk merawat beberapa tanaman bunga, gue coba untuk mengetuk pintu kayu coklat berukiran sederhana beberapa kali berharap seseorang akan membukakan pintu tersebut. Setelah beberapa menit mencoba mengetuk, gue harus sadar kalau usaha gue sia-sia. Dengan sangat terpaksa gue harus membuka pintu rumah dengan kunci pegangan yang diberikan Ayah beberapa tahun yang lalu. Dan ya, dirumah tidak ada siapa-siapa.

Rumah gue sepi, gue coba melawan kekecawaan gue dengan menghidupkan lampu ruang tengah agar suasana hati gue membaik. Foto-foto ibu dan ayah sewaktu muda, foto keluarga gue dan Ina sewaktu kecil, foto Ina dan Bibi sewaktu kita bertiga melewati liburan akhir tahun sederhana bersama, semua tampak memiliki ekspresi berbeda dengan keadaan yang terjadi malam ini.

"Harusnya ibu dan yang lain sudah dirumah sekarang"

Pikiran-pikiran buruk mulai memenuhi isi kepala gue. Hati gue terasa terjerembab kosong memikirkan kemungkinan apa yang terjadi pada ibu dan yang lain sekarang. Semua terlalu cepat terjadi dan otak gue gak sanggup untuk mencerna semuanya. Dan akhirnya mata gue terasa berat dan semua menjadi gelap.

Cerita Kita Untuk Selamanya 3 : Cataphiles [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang