"Nanti aku hitung sampe 3.. Abis itu kita berdoa bareng" gue memberi instruksi ke Bibi tentang proses berdoa bersama yang akan kami lakukan siang ini di ruang tamu setelah selesai melakukan rutinitas harian yang pagi tadi bibi rencanakan. Siang ini suasana terasa sepi dan gue sengaja mematikan TV supaya proses berdoa nanti bisa dilewati dengan khidmat. "Kamu punya ritual-ritual khusus gitu gak sebelum berdoa?"
"Ritual khusus? Maksudnya?" Bibi melontarkan pertanyaan balik untuk gue. Siang ini dia memakai kaos berbahan sutra tipis dan short pants milik Ina. Dengan jepit rambut disalah satu sisi kepalanya, Bibi jadi mirip Ina versi berkacamata sekarang. "Harus motong kambing gitukah?"
"Itu termasuk sih" gue jawab Bibi. "Tapi gak gitu juga, lebih ke kayak.. Hmm gimana yah ngejelasinnya.. Kayak sebelum upacara kita harus pake topi sama dasi.. Gitu"
"Ohh, iya ngerti" Bibi terlihat mengangguk pelan. "Aku sih gak harus pake topi sama dasi kalau mau berdoa, gak tau deh kamu"
"Aku juga gak harus Bianca" gue melontarkan jawaban kembali atas pertanyaan Bibi. Satu-satunya sumber suara lain di rumah gue sekarang adalah suara mesin AC yang menyala diatas TV ruang tamu. "Ada ritual-ritual yang mirip kayak gitu yang lain?"
"Gak ada sih" Bibi menjawab."Aku tinggal berdoa aja"
"Oke" gue menjawab cepat. "Berdoanya dimulai. Satu.. Dua.. Tiga..."
Tepat saat kata "tiga" gue ucapkan, Bibi terlihat langsung mendekapkan kedua tangan dan berdoa sambil menutup mata. Dan ketika gue mulai memutuskan untuk ikut berdoa, semua kenangan tentang Ayah, Ibu, dan Ina muncul. Kenangan tentang perjuangan Ibu dan Ayah dalam membesarkan gue, kenangan tentang Ina, dan segala kenangan lain yang membuat hati gue mencelos begitu mengetahui bahwa belum sedikitpun gue bisa membahagiakan mereka selama ini. Gue selalu membawa beban sementara lupa akan beban yang harus dipikul ayah adan ibu selama membesarkan gue. Penyesalan yang menyesakkan ini semakin terasa ketika gue akhirnya sadar sepenuhnya kalau mereka sudah tidak ada.
Gue terlalu egois dengan selalu mementingkan kepentingan gue selama ini. Gue terlalu egois untuk bisa jadi kebanggan Ayah, Ibu, dan Ina. Gue terlalu mementingkan perasaan pribadi gue. Dalam doa yang sedang gue panjatkan sekarang, gue jadi tersadar kalau penyesalan itu memang begitu menyesakkan dada.
Lama gue dan Bibi diam dalam keheningan untuk memanjatkan doa. Siang ini mendadak suasana menjadi begitu syahdu dan biru. Siang ini suasana mendadak menjadi lebih mellow dari biasanya.
Tiba-tiba gue rasakan pelukan dan suara tangisan Bibi di dada gue. Seketika dada gue terasa basah oleh air mata Bibi. Gue tutup doa gue dan segera membuka mata untuk melihat keadaan Bibi. Dan benar Bibi sedang menangis, menangis dalam artian yang sebenernya karena dalam waktu sekejap baju yang sedang gue pakai basah kuyup oleh air mata Bibi. Gak ada yang bisa gue lakuin sekarang selain mengelus-elus kepalanya lembut.
"Ren... Jangan... Tinggalin... Aku... Juga...." Bibi berkata terisak-isak dalam dekapan gue. "Aku... Udah.. Gak... P-punya.. Si-Siapa.. Siap-a.. La-gi..."
"Iya Bi.." gue menjawab pelan. "Iya..."
"Kamu.. H-harus... Ja-nji.. Re-ndy..." Bibi melanjutkan
"Iya Bi.." Gue menjawab. Shampo yang digunakan Bibi persis sama dengan Shampo yang selalu Ina gunakan setiap hari. Mengingat hal ini membuat dada gue semakin sesak. "Aku janji, ya"
Bibi menghirup nafas panjang setelahnya dan bangun dari dekapan gue. Dengan refleks gue memberikan tisu yang ada dimeja ruang tamu untuk mengelap air mata Bibi. Matanya keliatan sembab sekarang.
"Udah?" gue bertanya, singkat.
"Ud-ah..." Bibi menjawab masih dengan terisak-isak sambil mengelap air mata yang masih keluar. "Aku jadi inget Ben, aku selalu berdua dia sejak merantau ke Jakarta, aku selalu jagain dia, aku selalu jagain dia Ren, setiap saat. Tapi sekarang dia gak ada, aku ngerasa gagal, aku ngerasa gak ada alasan untuk hidup lagi"
"Gak Bi" gue menjawab sambil mengenggam tangan Bibi yang terasa dingin sekarang. "Kamu gak gagal, Ini semua bukan salah kamu. Ben udah bahagia diatas sana yah, jangan kasih dia alasan buat sedih karena tangisan kamu sekarang. Ben bisa istirahat dengan tenang ya sekarang."
"I-Iya.." Bibi menjawab singkat diikuti tangisan yang kembali meledak untuk kedua kalinya. "Ren.. A-ku.. Bany-ak do-sa sama Ben... "
"Cup-cup" gue kembali mendekap bibi kedada gue. Hembusan AC yang keluar siang ini mendadak lebih dingin dari biasanya sekarang. "Kita semua punya salah Bi, gak ada yang benar-benar sempurna, justru karena gak sempurna jadi lucu kan kalau di-inget-inget."
Bibi tetap terisak-isak menangis di dada gue.
"Bi.." gue melanjutkan perkataan gue. "Kita semua punya takdir masing-masing. Ben, Ina, Ayah, Ibu, Orang tua kamu, kita semua punya batas waktu didunia ini, gak ada yang namanya manusia yang hidup abadi. Sekarang memang waktunya mereka untuk pergi, kita gak bisa berbuat apa-apa selain melanjutkan apapun keinginan mereka sampai waktu kita suatu saat nanti juga habis Bi. Aku yakin Ben gak akan mau ninggalin kamu sendiri sekarang, tapi dia gak punya pilihan, orang tua aku gak punya pilihan. Jangan biarkan kepergian mereka sia-sia dengan kesedihan yang berlarut-larut Bi, aku yakin mereka yang sekarang lagi di Surga gak mau liat kita kayak gitu."
Tangisan Bibi sedikit mereda sekarang. Nasihat panjang yang barusan gue ucapkan untuk Bibi mungkin lebih ke nasihat untuk diri gue pribadi yang juga diserang kesedihan yang sama. Gue gak bisa memperlihatkan kesedihan gue sekarang. Bibi butuh gue untuk menguatkan dia setelah kemarin Bibi lah yang menguatkan gue.
"Iy-a.. U-dah" suara bibi terdengar parau. Baju gue sepenuhnya basah kuyup sekarang akibat air mata Bibi.
"Kita tutup doanya, yuk" gue berkata sambil memegang tangan Bibi erat. "Kita bilang Amin bareng-bareng, ya. Satu.. dua.. Tiga.."
Serentak gue dan Bibi berkata "Amin" setelah hitungan ketiga selesai gue ucapkan.
"Bi.." gue melanjutkan perkataan gue. "Liat aku Bi.. Jangan sedih lagi.. Ya.."
"I-iya.." Bibi berkata sambil menatap mata gue. Belum pernah gue liat mata Bibi se-sembab ini. Belum pernah gue liat ekspresi Bibi sesedih ini. "Udah yuk.. Sekarang kita ngapain?"
"Hmm ngapain.." gue menjawab sambil berfikir keras. "Karaoke? Pakai lagu kesukaan Ben, atau lagu kesukaan kamu juga boleh."
"Yuk, aku udah latihan nyanyi beberapa waktu belakang" Bibi menjawab dengan nada yang mulai normal sekarang. "Kalau ada gitar bakal aku gitarin juga sekalian deh"
"Dih, kamu pikir kita lagi konser" gue menjawab Bibi dengan ekspresi heran. Kecepatan berubahnya mood bibi kayaknya melebihi kecepatan cahaya, gak bisa nalar. "Ngapain pake digitarin kan musiknya udah ada"
"Ya siapa tahu kan kamu gak percaya sama skill baru aku" Bibi menjawab. "Cepet siapin, aku request lagu pertama kita Somewhere Only We Know - Keane, lagu pas pertama kenal dulu"
"Hmm, oke bu bos" gue menjawab sambil mengambil remot tv dan mengetik beberapa kata di kolom search kanal sebuah website video untuk mencari lagu yang Bibi minta. "Oke vokalis, are you ready to rock?
"Yes" Bibi menjawab santai sambil memegang microphone yang sudah gue sediakan. "I am Ready"
"lets go" gue berkata sambil memencet tombol play diremote tv yang ada digenggaman gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Kita Untuk Selamanya 3 : Cataphiles [ON GOING]
Fiksi UmumHighest rank: #2 on chaos (June 5th, 2020) Ditahun 2025 terjadi kekacauan besar yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Pandemi virus yang semakin memburuk, serangan teror, unjuk rasa, banyak orang harus kehilangan keluarga dan mata pencarian, sa...