Chapter 12

12 1 0
                                    

Gue, Bibi, dan Mr.K duduk di meja makan yang ada di dapur untuk mendiskusikan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sebelumnya, Setelah gue buka pintu kamar, gue dapati Bibi sedang duduk di tepi tempat tidur dengan piyama tidur dan terlihat matanya agak sedkit sembab. Melihat gue dalam kondisi babak belur, Bibi menghampiri gue dan memeluk gue sambil menangis sampai akhirnya bisa ditenangkan oleh Mr. K dengan memberi penjelasan singkat. Sementara kondisi ruang tamu sekarang masih berantakan. Pria misterius yang menyerang gue juga sudah diikat dan luka tusukan dipahanya sudah gue balut seadanya dengan bantuan Bibi dan sekarang pria ini sedang dikunci di Gudang.

Setelahnya, Mr.K, pria tua yang rambut ikalnya sudah memutih dibanyak bagian, tampak sedang merokok sambil menikmati teh manis panas yang sebelumnya telah Bibi siapkan. Mantel hitam panjang dan topi yang sebelumnya dia gunakan sudah dilepas bersisa sehelai kaos dan jeans hitam polos ditubuhnya yang sudah termakan usia. Disisi sebelah kanan kaus hitamnya terdapat logo "C" berwarna emas berukuran cukup besar, persis seperti gantungan kunci yang selalu ayah gunakan. Gue perkirakan Mr.K berumur 50-60 tahun, seumur dengan Ayah. Terkesan agak slengek-an, gue melihat sekilas kalau Mr.K ini bukan orang sembarangan sewaktu muda dulu. Dia duduk disebrang tempat gue yang duduk berdampingan dengan Bibi.

"Turut berduka buat Ayah dan Ben" Mr.K tiba-tiba berkata setelah menghisap dalam-dalam rokoknya. "Semuanya memang lagi kacau sekarang, tapi se-enggaknya kalian berdua bisa honeymoon sekarang. Ya gak?"

Gue dan Bibi terdiam mendengar perkataan Mr.K. Darimana Mr.K tahu semuanya?

"Ehem.." gue berdeham sebelum melontarkan pertanyaan pertanyaan untuk mr.K. "Monmaap nih, tapi bapak siapa ya?"

"Klaus" Mr.K menjawab. "Panggil aja Mr.K"

"Bukan, bagian yang itu udah" sambil menahan rasa sakit, gue terus berupaya meng-introgasi Mr.K. "Maksudnya lebih ke pekerjaannya apa, disini lagi ngapain, terus kenapa mau nolong. Sama satu lagi, gak ada nama yang lebih Indonesia lagi selain Klaus? Kayak Ahmad atau Tony atau Silvester?"

"Silvester bukan nama Indonesia kali rendy" Bibi menekan kompresan di wajah gue kuat-kuat sambil berbisik perlahan.

"Duh, duh" gue bergidik dan melirik kearah bibi sambil berbisik. "Tapi temen aku ada yang namanya Silvester bibku"

"Ehem" gue melanjutkan pertanyaan gue ke Mr.K. "Terus kenapa sebelum shubuh kami berdua harus pergi darisini? Disini lagi enak menikmati hidup kenapa harus pergi ketempat yang gak tau dimana dan tujuannya apa?"

Mr. Klaus masih terus menghisap rokoknya sambil sesekali menyeruput teh yang dibuatkan Bibi. Dia selalu kelihatan tenang.

"Gak ada waktu buat menjawab pertanyaan kayak gitu" Mr.K berkata."Sebelum shubuh kita harus pergi darisini karena mereka pasti bakal datang lagi buat mencari kalian berdua dengan jumlah orang yang lebih banyak. Mereka gak bakal berenti sampe ngedapetin Bibi. Paham?"

"Masuk akal sih" gue berbisik kearah Bibi yang sekarang sedang mengamati Mr.K. "Kalau seandainya memang harus pergi, kenapa gue dan Bibi harus ikut bapak? Gue dan Bibi bisa pergi kemana aja gak perlu ikut siapa-siapa."

"Nah kan pinter" Sambil terus menghisap rokoknya, Mr K menjawab pertanyaan gue dengan tenang. "Masalahnya adalah, denger baik-baik ya, kemanapun kalian pergi kalian gak akan aman karena orang-orang ini punya jaringan yang luas. Kalian juga gak punya opsi berpindah karena semua akses jalanan ditutup akibat isolasi, lupa?"

"Gak, gak lupa. Artinya gak bisa kemana-mana kan?" Rasa sakit akibat perkelahian masih terus gue rasakan sekarang. Bibi yang tahu gue sedang menahan rasa sakit tiba-tiba menjulurkan beberapa obat penahan sakit untuk gue minum."Tapi kenapa kita berdua harus percaya Bapak, kenal aja gak? Bisa aja kalian komplotan yang sama kan?"

"Gak ada ceritanya komplotan yang sama malah saling ngerusak rencana kayak gini" Mr.K menjawab.

"Bisa, aja." gue menjawab setelah meminum obat yang Bibi berikan. "Banyak contohnya, di film-film"

"Rendy, kamu mirip banget sama ayah kamu yah" Mr. K menjawab sambil mematikan rokoknya dan mengeluarkan selembar foto tua hitam putih dari dompet tuanya. Foto tua ini tampak lusuh termakan waktu. Didalam foto berdiri 3 orang pemuda dengan latar belakang menara Eiffel di Paris."Coba liat foto ini dan bilang ada siapa aja didalemnya?"

"Ini, ayah?" Setelah mencermati foto tersebut dengan seksama, gue yakin kalau pria yang berdiri ditengah adalah Ayah. "Dan ini Bapak?" gue menjawab sambil menunjuk pria yang berdiri disebelah kanan Ayah.

"Iya" Mr.K menjawab singkat. "Gue dan Ayah lo teman sewaktu muda dulu. Dia gak bakal cerita. Gue juga gak bakal cerita tentang itu sekarang. Yang harus dikerjakan sekarang adalah pergi dari tempat ini secepat mungkin."

Gue terdiam, Bibi juga. Mr.K benar. Gue dan Bibi memang gak punya pilihan lain sekarang selain mencari perlindungan dari Mr.K.

"Bi, kamu diem aja daritadi?" gue menatap mata Bibi sekarang. "Kamu kenapa?"

"Gak apa-apa Rendy" bibi menjawab sambil tersenyum. "Aku ikut kamu aja ya"

"Yakin?" gue melontarkan pertanyaan untuk Bibi dengan wajah penuh luka lebam.

"Iya" bibi menjawab sambil merangkul lengan gue.

"Oke kita pergi dari sini sekarang" gue menjawab ajakan Mr.K dengan nada suara yang diturunkan. "Tapi kita mau kemana? Kan akses jalanan udah ditutup semua"

"Akses jalanan ditutup buat umum iya, tapi buat orang kayak gue gak semua jalan ditutup" Mr.K menjawab. "Kita bakal pergi jauh dari sini. Gue bakal latih kalian langsung supaya bisa jaga diri sendiri. Pengiriman vaksin bakal terjadi 6 bulan lagi, bener kan Bi? Kita punya banyak waktu."

"Mohon maaf, dilatih?" gue memotong perkataan Mr.K cepat. "Bapak polisi? Gue bakal dilatih jadi polisi?"

"Bukan, lo bakal gue kasih dasar-dasar menjadi seorang intelijen. Kehidupan lo yang penyendiri, punya analisa tajam, gives zero fuck tentang apapun, semua memenuhi syarat buat jadi intelijen hebat" Mr.K menghidupkan rokok kedua nya pagi ini, kemungkinan sekarang sudah pukul 4 pagi. "Kalau kalian mau, asisten gue bakal menyiapkan semuanya. Siang nanti kita akan terbang ke Denpasar dengan izin penerbangan khusus tanpa diketahui siapapun dan bersembunyi di salah satu desa selama 4 bulan sebagai tempat latihan kalian"

"Bentar, kenapa gak bawa yang udah terlatih aja? Kenapa harus ngelatih orang baru kayak gue dan Bibi?" gue kembali memotong perkataan Mr.K. "kenapa harus kita berdua? Bukannya intel banyak?"

"Gak ada yang bisa dipercaya" Mr.K menjawab cepat. "Kalau lo bener mau ngejaga Bibi ini satu-satunya kesempatan. Jalan didepan bakal berat, kalau sekarang takut mending mundur dan ikhlasin Bibi dari sekarang. Ikhlasin nyawa lo sendiri."

Gue merasakan rangkulan lengan Bibi semakin erat sekarang. Situasi semakin rumit, gak hanya harus bersembunyi, gue sekarang juga harus bersiap-siap dengan kehidupan yang lebih rumit kedepannya karena sudah berhubungan dengan orang-orang jahat.

"Jadi itu alasan bapak nolong kita berdua?" Gue bertanya.

"Iya" Mr.K menjawab dengan nada yang sudah terbiasa sekarang. "Selain karena gue udah janji ke orang tua lo sebelum mereka pergi. Ledakan ini sudah direncanakan rendy, semuanya, termasuk siapa aja yang bakal jadi korban. Kalian berdua beruntung karena bisa selamat. Lo gak bakal bisa ngadepin ini kalau sendirian. Gimana? Terima kesempatan ini gak?"

Gue tatap mata Bibi sekarang. Mr.K benar, gue butuh bantuan kalau memang gue pengen terus bareng sama Bibi. Malam ini gue yakin gue bakal terbunuh kalau Mr.K gak nolongin gue. Gue harus terima tawaran ini.

"Oke" gue menjawab setelah melakukan beberapa pertimbangan. "Gue ngelakuin ini cuma untuk ngejaga Bibi, gak lebih. Kalau emang ini jalan yang terbaik gue bakal lakuin sebisanya, demi Bibi. Gue setuju dengan syarat gue gak dipisahin sama Bibi. Gimana? Terus? kemana kita bakal pergi sekarang?"

"Deal. Kita bakal ke Sumba, Desa Praijing" Mr.K menjawab singkat. "Lo bakal gue tempa disana biar gak menye-menye lagi. Satu lagi, stop panggil gue Bapak, gue bukan Ayah lo. Sekarang cepet siap-siap".

Cerita Kita Untuk Selamanya 3 : Cataphiles [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang