Chapter 10

11 1 0
                                    


"Bintangnya keren" Bibi berkata sambil menatap langit malam. Setelah seharian berkaraoke dilanjut dengan makan malam pakai telor, nugget, dan sosis yang digoreng Bibi seadanya, gue dan Bibi memutuskan untuk melihat langit malam di rooftop. Rumah gue memang punya satu area atap yang dibuat khusus oleh ayah untuk menjemur pakaian dan untuk duduk-duduk santai disore hari. Rooftop sederhana ini gak sebesar rooftop kosan gue waktu di Jakarta memang, tapi ya cukuplah untuk melihat bintang berdua Bibi sebelum tidur. Romantis. "Kira-kira Ben sama keluarga kamu disana lagi ngapain?"

"Gak tau Be" gue jawab Bibi sambil menghirup udara malam. Gue udah gak bisa ngerokok sejak ada Bibi karena Bibi pasti bakal marah tiap liat gue nyemburin asap rokok keluar dari mulut gue. Dan sekarang gue ngerti alasannya kenapa banyak orang susah buat berhenti ngerokok, adiksi yang ditimbulkan terlalu besar, saking besarnya gak ada yang bisa bertahan menahan keinginan buat gak ngerokok kecuali motivasinya besar banget. Dan motivasi gue sekarang besar banget sih emang, karena gak mau kehilangan Bibi lagi. "Mereka lagi istirahat disana setelah mengarungi hidup. Persis kayak liburan. Tapi liburannya gak bisa balik lagi ke Bumi."

"Iya, mereka lagi istirahat" suara bibi terdengar diantara alunan musik jazz lawas yang gue setel malam ini dirooftop. Langit malam ini memang cerah, banyak bintang berkilauan diatas sana membentuk berbagai rasi. "Aku kapan ya bisa istirahat juga"

"Nanti ada waktunya Be" gue menjawab sambil melihat dari atas kalau suasana tenang menyelimuti perumahan yang gue tempati sekarang. Beberapa hari terakhir gue belum liat keadaan luar rumah dan gak juga menyetel TV untuk melihat berita, mungkin keadaan sudah mulai kondusif lagi sekarang. Tapi kesimpulan ini harus gue tepiskan karena beberapa rumah disekitar rumah gue masih dalam keadaan gelap seperti tak berpenghuni. "Belum sekarang, masih ada tugas yang harus kamu kerjain, aku juga."

"Ren" Bibi berkata dengan pelan dan tiba-tiba merangkul lengan gue. "Kalau kamu pergi, aku juga pergi. Aku gak mau tinggal sendiri di Bumi tanpa kamu, Ben, orangtua aku. Aku gak akan bisa."

"Yakin?" gue jawab sambil melirik kearah bibi dan gue kecup bibirnya singkat. "Aku gak bakal kemana-mana bebe. Eh tapi kalau aku gak ada tapi kamu dijagain Iron man mau?"

"Gak mau" Bibi menjawab cepat. "Iron man cuma ada di film, bukan didunia nyata"

"Tapi kan berasa real banget" gue berkata. "Siapa tahu emang ada iron man diluar sana cuma kita gak tau aja"

"Belum ada yang bisa bikin teknologi kayak gitu" Bibi menjawab. "Bikin Siri sama Google Assistant aja masih banyak kekurangannya. 100 tahun lagi mungkin Iron man baru beneran ada di Bumi"

"Mudah-mudahan aja virusnya udah ilang 100 tahun lagi dan kita berdua masih hidup jadi bisa liat iron man bareng" gue menjawab perkataan Bibi sambil tersenyum. "Eh tapi, kayaknya bakal gak ilang sih Bi virus ini sementara urusan vaksin aja gak kelar-kelar."

"Tuh kan aku jadi inget sesuatu" Bibi tiba-tiba berkata. "Kamu mau tahu gimana virus ini bisa ada? Dari awal banget?"

"Gimana Gimana coba ceritain" Gue merapatkan duduk gue dan menatap kearah bibi sekarang." kamu udah janji mau cerita sama aku kemaren"

"Gini" Bibi memulai ceritanya. "Beberapa tahun yang lalu sempet ada isu kalau virusnya ini buatan manusia kan? Jawabannya baru aku dapet dalam beberapa bulan terakhir, waktu atasan aku bilang kalau vaksinnya udah tinggal finishing dan dalam setahun bakal didistribusi kesemua negara. Aku seneng dong denger berita ini."

"Wah beneran?" Gue menjawab dengan antusias, gue baru tau sih info detail ini sekarang, sebelumnya Bibi cuma ngasih info-info singkat ke gue lewat chat. "Tapi kok ya heran kenapa gak ada satupun berita tentang vaksin yang disiarin TV? Kalau beneran beberapa bulan lagi bakal didistribusi harusnya kan rakyat berhak tahu biar gak ada chaos dan salah paham sama pemerintah."

"Nah itu masalahnya" Bibi menjawab. "Setelah ngomong vaksin bakal didistribusi setahun lagi, atasan aku bilang kalau berita ini gak boleh kesebar kesiapapun. Aku awalnya bingung persis kayak reaksi kamu sekarang, berita baik kok gak perlu disebar ya gak. aku pikir sih mungkin karena pihak industri takut ada kemunduran jadwal atau hasil uji klinik yang gak sesuai yang bisa bikin jadwal tertunda, tapi ternyata ada alasan lain dibalik semuanya Rendy"

"Apa alasannya be?" gue bertanya ke Bibi, dikejauhan gue denger suara jangkrik khas malam hari saling bersahutan di kegelapan malam.

"Alasannya karena ada pihak-pihak yang mau ngambil keuntungan dari keberadaan vaksin ini" Bibi menjawab. "Kamu bayangin aja di situasi chaos kayak gini, yang punya vaksin pasti yang berkuasa. Gak cuma memonopoli vaksin, pihak ini jugalah yang katanya bertanggung jawab atas keberadaan virus ini dari awal"

"Pihak siapa maksud kamu? Organisasi yang diTV itu bukan sih?" gue bertanya penuh rasa ingin tahu. "Cataphiles ya?"

"Iya, katanya mereka. Aku juga gak tau pasti. Aku pernah denger atasan aku nyebut nama Shadow gitu berkali-kali tiap ditelfon" Bibi menjawab. "Atasan aku gak punya pilihan lain dan terus ngasih aku info terupdate karena cuma aku yang bisa dipercaya buat bantu dia. Tapi gak tau kenapa tiap dia ngasih info tiap itu juga aku selalu berasa dimata-matai. Sampe akhirnya beberapa hari sebelum teror itu aku dapet info penting kalau vaksin benar bakal dikirim 6 bulan lagi, tapi jumlah akan dibatasi oleh pemerintah, cuma untuk beberapa pihak tertentu aja."

"Maksudnya?" gue bertanya. "Yang gak ngedukung bakal mati sia-sia dong kalau jumlahnya terbatas. Bentar, kok pemerintah ikut-ikutan?"

"Mungkin kayak gitu. Ada yang salah juga sama pemerintah kayaknya. Gak tau Presiden tau berita tentang vaksin ini atau beliau lagi sibuk ngurusin urusan lain." Bibi menjawab cepat. "Tapi aku udah bikin file backup sembunyi-sembunyi untuk informasi pengiriman vaksin tadi. Pas hari jumat sore sebelum aku masuk parkiran apartemen, tiba-tiba apartemen aku meledak, dan Ben jadi korban. Setelahnya aku bingung dan aku lari kesini"

"Jadi mereka nutup-nutupin keberadaan vaksin supaya penggunaannya bisa dimonopoli untuk kepentingan mereka?" gue menyimpulkan cerita Bibi. "Terus teror-teror itu sengaja supaya situasi jadi chaos dan pemerintah keliatan gak becus?"

"Iya" bibi menjawab singkat. "Kemungkinan kayak gitu, Rendoy"

"Tapi apa tujuannya ditutup-tutupin ya be?" gue melanjutkan kebingungan gue. "Maksud aku, buat apa juga toh kalau rakyat chaos mereka juga yang bakal rugi dan didemo"

"Semua bakal masuk akal kalau bikin rakyat chaos emang jadi tujuan mereka" Bibi melanjutkan. "Coba pikir deh, rakyat chaos, minta presiden turun, terus tanpa pemilu ditunjuk presiden baru. Mulai keliatan kan arahnya kemana?"

"Nah, aku juga baru mau ngomong gitu." Gue berkilah atas kegoblokan gue yang gak pernah kepikiran sampai kesana. "Bibku kamu pinter banget sekarang"

"Makasih Rendy, udah ah ngomongin itu kan kita sekarang udah janji mau happy-happy aja." Bibi tiba-tiba berkata, masih dengan merangkul lengan gue. Udara malam bandung memang terasa agak dingin sekarang. "Eh, kita berasa honeymoon gak sih? Berdua, gak diganggu siapa-siapa, ngelewatin momen romantis, karaoke bareng, masak bareng."

"Hmm kayaknya kamu udah mau tidur dari arah pembicaraannya" gue menjawab perkataan bibi sambil menggenggam tangan bibi yang ada dirangkulan lengan gue. "Tidur yuk? Udah malem juga"

"Aku sih hayu aja kalau mau turun sekarang" bibi menjawab. "Tapi aku maunya digendong sampai kamar"

"Jalan sendiri bisa kali" gue berkata dengan nada dewasa. "Aku sih mau aja gendong kamu dari sini sampe Zimbabwe, aku gak mau kamu jadi terbiasa manja aja nanti"

"Yakin bisa gendong aku sampe zimbabwe?" Bibi berkata dengan nada manja dan menatap mata gue. "Tapi aku lagi pengen dimanja gimana dong?"

"Yaudah sini" gue jawab dengan mengambil nafas panjang sambil sedikit menunduk agar Bibi bisa naik ke punggung gue. "Aku sekalian olahraga juga udah lama gak olahraga"

"Gitu dong" Bibi dengan antusias meloncat dengan memeluk punggung gue dengan erat. "Ayo pak supir antar aku ke kamar buat tidur"

"Dibayarnya pake apa nanti?" gue bertanya ke bibi sebelum melangkahkan kaki untuk turun kebawah.

"Pake cinta, mau? Hehe" bibi menjawab singkat.

Cerita Kita Untuk Selamanya 3 : Cataphiles [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang