When i was young i listen to the radio
Waiting for my favorite song
When they played i sing along
Its make me smileSuatu hari ditahun 2018
"Gimana kerjaan kamu, Mas?" Ibu mencoba membuka pembicaraan di mobil. Gue, Ayah, Ibu sedang diperjalanan menuju rumah setelah sebelumnya Ayah dan Ibu menjemput gue di Jakarta. Ibu yang lahir di Jakarta sejak kecil selalu memanggil gue dengan panggilan "Mas" walaupun darah keturunan jawa gak ada dikeluarga gue. "Temen-temen kerja kamu dikasih oleh-oleh semua? Mereka bilang apa setelah kamu pulang dari Khatmandu?"
Lalu lintas mobil di tol terlihat lancar setelah sebelumnya terjadi kemacetan cukup lama menjelang keluar pintu tol lingkar luar. Langit mulai menguning, pepohonan dan area sawah yang sedang dilewati terlihat bergoyang ditiup angin sore. Ayah dan Ibu duduk dibangku depan sedangkan gue duduk sendiri dibangku tengah bersama dengan tas ransel kecil yang gue bawah dari kosan.
"Sehat, Bu" gue menjawab perkataan Ibu sambil tetap menatap keluar jendela. Gue belum menceritakan detail perjalanan gue ke Khatmandu pada Ibu dan Ayah karena tepat di tanggal 31 Desember menjelang tahun baru, 3 hari setelah kepulangan gue dari Khatmandu, Ayah dan Ibu pergi menyelesaikan urusan pekerjaan disuatu tempat yang gue gak tau dimana, sementara Ina sibuk merayakan tahun baru bersama teman-temannya. "Dikasih semua kok, oleh-oleh buat Ibu sama Ina juga udah disimpen dirumah. Mereka gak bilang apa-apa, cuma bilang makasih."
"Kamu beliin oleh-oleh apa emang?" Ibu meneruskan pembicaraan. "Kamu kesana sama siapa? Sama Bianca yang waktu itu?"
Iya, Ibu sedikit banyak tahu tentang Bibi karena dihari gue bantu Bibi untuk beres-beres sebelum pindahan ibu sempat menelfon dan sejak saat itu topik Bibi sesekali ibu bawa diantara obrolan-obrolan telfon yang membuat perasaan rindu gue ke Bibi semakin besar. Ibu belum tahu kalau Bibi sudah pindah dan gue sudah lost contact dengan Bibi dalam waktu yang cukup lama.
"Ada yang mas beliin teh" gue menjawab. "Ada yang mas beliin slayer, terus ada juga mainan magnet, pin, banyak Bu. Gak, Mas kesana sama temen kuliah bukan sama Bianca."
"Ooh, temen kuliah yang mana?" Ibu meneruskan pertanyaan. Area persawahan mulai berganti dengan deretan rumah-rumah penduduk yang berada disisi tol. "Bianca apa kabar? Sehat?"
Ini pertanyaan yang gue takutkan bakal ibu tanyakan. Gue harus jawab gimana kalau ibu udah menanyakan kabar Bibi kayak gini coba?
"E-eeh, ibu gak kenal. Bianca? dia sehat Bu" gue jawab singkat. "Sehat banget"
"Oh iya udah syukur kalau gitu" Ibu berkata lagi. "Kapan-kapan ajak kerumah bilang Ayah sama Ibu pengen ketemu"
Gak, ini gak boleh berlanjut. Ibu gak boleh salah paham terhadap bagaimana status hubungan gue dan Bibi yang sebenernya. Gue harus jelasin kenyataan yang terjadi kalau sekarang Bibi udah pindah sebelum semua terlambat.
"Iya ajak dia ke rumah" Ayah tiba-tiba berkata datar. "Kamu belum pernah ajak satu cewek pun kerumah selama ini"
Telat, semua udah terlambat. Disaat kayak gini kalau gue kasih tahu kebeneran yang sebenernya nasib gue bakal jadi lebih buruk. Gue udah gak ada pilihan lain selain mencari keberadaan Bibi dan ngajak dia buat ketemu Ayah dan Ibu atau gue terancam dicoret dari kartu keluarga sekarang.
"I-Iya nanti diajak" gue menjawab lemah sambil membuka handphone dan melihat foto terakhir Bibi yang gue tandai "love" di gallery handphone gue. "Dia lagi sibuk"
Bibi mungkin benar-benar sedang sibuk. Bibi mungkin bener-bener udah lupa sama keberadaan gue sekarang. Kecil kemungkinan gue bisa ketemu lagi sama Bibi dalam waktu dekat. Walaupun ketemu lagi dia pasti udah jadi pribadi baru yang gak gue kenal sebelumnya.
Ayah dan Ibu belum tahu kalau kebanyakan waktu gue di Jakarta gue habiskan sendiri dengan datang ketempat-tempat tenang bergaul dengan msyarakat-masyarakat yang gak gue kenal sama sekali. Ayah dan Ibu gak tahu kalau semenjak Bibi pergi gue mengalami pergolakan batin yang belum pernah gue alamin sebelumnya dan gue berjuang sendiri buat mengatasi kecemasan gue dengan melakukan meditasi-meditasi bermodalkan aplikasi di handphone. Ayah dan Ibu gak tahu kalau setiap kali mereka membawa Bibi ke topik pembicaraan, hati gue terasa remuk dan teriris-iris karena bisa jadi gue gak akan pernah ketemu Bibi lagi untuk selamanya.
Gue gak pernah benar-benar jujur tentang perasaan hati gue ke siapapun, bahkan keorang tua gue. Gue sebisa mungkin gak mau untuk minta tolong atau menyusahkan orang lain selama urusan pribadi bisa gue selesaikan sendiri. Bahkan disaat-saat terlemah, dimana orang yang normal akan berusaha mencari bantuan, gue memilih untuk berdiam sendiri dikamar menuliskan cerita tentang gue dan Bibi sambil melawan perasaan-perasaan lemah tadi, sendiri.
"Ya sudah" Ibu tiba-tiba berkata. "Ayah dan Ibu mau pergi lagi besok, kamu pulang ke Jakarta sendiri dulu aja, naik bis"
Gue udah biasa ditinggal, gue udah biasa sendiri. Mendengar kalau orang tua gue bakal ninggalin gue sendiri besok di long weekend kayak gini membuat gue menyesali keputusan gue untuk ikut mereka pulang sekarang dan bakal lebih milih buat stay di Jakarta, ke Kalijodo dan ngeskate disana menghabiskan libur panjang.
Benar-benar gak ada yang kenal gue bahkan orang tua gue sendiri dan gue mulai ngerasa kalau gue capek menjalani hidup kayak gini terus.
When they get to the part
Where he's breakin' her heart
It can really make me cry, just like before
It's yesterday once more
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Kita Untuk Selamanya 3 : Cataphiles [ON GOING]
Ficción GeneralHighest rank: #2 on chaos (June 5th, 2020) Ditahun 2025 terjadi kekacauan besar yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Pandemi virus yang semakin memburuk, serangan teror, unjuk rasa, banyak orang harus kehilangan keluarga dan mata pencarian, sa...