Chapter 13

8 1 0
                                    

"Kenapa sih gak dibunuh aja sekalian ya, sicowok misterius tadi?" Gue bertanya pada Bibi tentang keberadaan pria misterius yang menyerang gue shubuh tadi. Tadi diperjalanan menuju bandara, Mr.K menginstruksikan untuk membuang pria tersebut ke jalanan dengan keadaan tangan dan kaki masih terikat. "Nanti kan kalau orang itu ngelapor ke atasannya bisa jadi ribet lagi urusan"

"Justru bakal lebih ribet kalau cowok itu dibunuh Rendy" Dengan menyeret koper milik Ina yang berukuran cukup besar, Bibi berjalan disamping gue sambil memakan snack coklat yang barusan dia beli dikantin Bandara. Sekarang gue dan Bibi sedang di area tunggu Bandara Husein Sastranegara untuk berangkat menuju Nusa Tenggara Timur, tempat dimana gue dan Bibi bakal bersembunyi bersama Mr.K. Bandara dalam keadaan sepi tapi beberapa fasilitas tetap buka untuk melayani penumpang yang akan berpergian. Fasilitas-fasilitas ini, kantin salah satunya, menerapkan aturan isolasi ketat seperti pelayan harus melayani konsumen menggunakan masker dan sarung tangan, setiap konsumen selesai transaksi harus disemprot handsanitizer, dan hanya akan menerima pembayaran non-cash. "Mereka bakal lebih sadis kalau tahu anggotanya dibunuh"

"Gak ada penjahat yang gak sadis Bibku" sambil membawa Ransel berukuran 55 liter gue menjawab perkataan Bibi. Mr.K sekarang terlihat sedang berbicara dengan salah satu petugas di salah satu gate beberapa meter didepan tempat gue dan Bibi berdiri. "Mau dibunuh atau gak sama aja tingkat kesadisan mereka, kalau ada kesempatan pasti bakal bunuh kita juga pada akhirnya. jadi mending kita yang bunuh aja sekalian sih kalau kata aku be. Eh, by the way, kita belum dikasih boarding pass sama sekali. Aneh banget nih pak tua"

"Gak perlu boarding pass deh kayaknya" Bibi menjawab sambil terus menguyah snack coklatnya dan memperhatikan Mr.K yang sekilas terlihat menunjuk kearah gue dan Bibi. "Rendy, kamu percaya sama bapak itu?"

"Dimana-mana naik pesawat butuh boarding pass" gue menjawab perkataan Bibi sambil memperhatikan keadaan sekeliling sekarang. Waspada. "Gak be, aku gak percaya, belum sekarang. Yang aku tahu kita gak punya pilihan sih, seenggaknya kita tetep barengan dan kita bisa pergi jauh sekarang. Bahaya be soalnya kalau kita terus disini"

"Iya sih" Sambil mencari-cari area tempat pembuangan sampah, Bibi menjawab perkataan gue. "Gak ada tong sampah, nih simpen dulu, kantongin aja ya sayang"

"Dih, yaudah sini" gue mengambil bungkusan sisa snack Bibi dan meremasnya dengan tangan kanan gue. "Nanti kalau lewat tempat sampah aku yang buangin."

"Gitu dong" bibi menjawab sambil mengalihkan pandangannya ke wajah gue yang penuh dengan luka lebam. "Kamu masih kerasa sakit? Minum obat lagi mau? Tutupin deh mending mukanya pake apa kek biar gak malu diliat orang."

Bibi bener, gue seharusnya menutup wajah gue yang penuh luka lebam ini dengan sesuatu dari awal supaya gak jadi pusat perhatian orang. Sejak gue masuk bandara gue udah ngerasa pandangan-pandangan yang melihat sinis kearah gue akibat lebam diwajah gue.

"Masih Be, kalau bisa tidur sih sekarang aku pengen nya tidur aja" Gue menjawab lemas. Mr.K terlihat mendatangi gue dan Bibi dari kejauhan. "Nanti aja dipesawat sebelum take off aku minum obat lagi ya supaya langsung bisa tidur"

"Oke" Bibi menjawab tepat sebelum Mr.K sampai dihadapan gue.

"Kalian siap?" Mr.K bertanya. "Kita bakal jalan jauh loh sekarang, Ke Wamena Papua Barat"

"Loh kok ganti lagi tujuannya?" gue bertanya cepat. "Perasaan tadi shubuh bilangnya mau ke Sumba. Sekarang bilangnya mau ke Wamena, nanti dipesawat tiba-tiba lo mau ngomong kalau pesawat kita berubah haluan menuju neraka? Mati dong namanya Bapak."

"Kita bakal tetep ke Desa Praijing, itu tempat tujuan akhir kita" Mr.K menjawab. Tanpa membawa satu barang pun, Mr.K tetap terlihat tenang walaupun katanya banyak orang yang mengincar keberadaan gue dan Bibi sekarang. "Sekarang kita bakal ke Taman Nasional Lorentz dulu, itu spot yang pas buat lo dan bibi belajar ilmu baru. Landscape lengkap, ada suku Dani yang hidup berdampingan meski beda agama, sama yang terpenting tempat itu belum terjamah."

"Oke fine" gue menjawab cepat sambil melirik dengan tatapan curiga kearah Mr.K. "Terus pesawatnya mana? Boarding passnya mana?"

"Gak perlu boarding pass kali naik pesawat pribadi" Mr.K menjawab cepat. "Mangkanya gue tanya lo sama Bibi udah siap belom? Kalau udah ayo kita berangkat"

"Ya kalau gak siap gak bakal ada disini lah, Silvester" sambil menghirup nafas panjang gue jawab perkataan Mr.K.

"Ya udah yuk cus" Mr.K mulai berjalan kearah boarding gate yang tadi dia hampiri. Gue dan Bibi menyusulnya dari belakang.

Petugas yang tadi bercakapan dengan Mr.K terlihat memberi hormat singkat ketika Mr.K melewatinya. Gue dan Bibi terus berjalan mengikuti Mr.K melewati koridor sampai akhirnya kami bertiga turun di area parkir pesawat dimana banyak pesawat terlihat tidak terpakai sekarang sejak keputusan isolasi ditetapkan. Mr.K tiba-tiba berhenti dan menunjuk satu pesawat berukuran kecil yang terlihat sudah siap terbang beberapa meter didepannya. Gue mengangguk dan menggengam tangan Bibi erat untuk berjalan bersamaan menuju pesawat tersebut.

Dibawah undakan menuju pintu masuk pesawat berdiri seorang pria setengah baya yang memakai jas dan celana panjang hitam menyambut Mr.K, gue dan Bibi dengan senyum hangat sambil berkata "Semoga selamat sampai tujuan, Pak" yang disambut dengan senyuman hangat Mr.K yang belum pernah gue liat sebelumnya.

"Ini pertama kalinya kalian bakal naik pesawat pribadi" sambil menaiki undakan, Mr.K memberi beberapa instruksi ke gue. "Gue punya ruangan sendiri dibagian depan pesawat, kalian bisa pake ruangan kedua untuk berdua. Nanti ada tempat tidur, layar untuk nonton, kamar mandi, apapun tinggal pencet bel dan bakal ada yang datang menghampiri kalian berdua. Mau lanjut honeymoon lagi silahkan, tapi gue sarankan supaya lo istirahat rendy, ini perjalanan panjang, hampir 12 jam. Kalau mau simpen tenaga mending dari sekarang"

Mr.K telah tiba dipintu masuk ruangan pertama yang menjadi ruangan pribadinya nanti. Gue dan Bibi masih harus berjalan menuju pintu lain yang letaknya tidak jauh dari pintu pertama ini.

"Satu lagi" Mr.K tiba-tiba berkata. "Jangan berisik, gue mau tidur, gue belum tidur semaleman"

"O-oke" gue dan Bibi menjawab bersamaan dengan senyum tipis.

Cerita Kita Untuk Selamanya 3 : Cataphiles [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang