بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Suara adzan yang bersahutan membangunkan Kinara dari tidur lelapnya. Dirinya perlahan bangun, dan memakai sandal rumahnya. Berjalan menuju kamar adik laki-lakinya yang masih berusia tujuh tahun, membangunkannya untuk sholat subuh. Ya, ayahnya tiada dengan meninggalkan istri dan dua anak, satu perempuan dan satu laki-laki.
"Reyhan, bangun. Udah adzan," ucap Kinara menepuk-nepuk pipi Reyhan, adiknya.
Reyhan lantas mengucek-ngucek matanya. Sebenarnya tubuhnya enggan bangun, tapi tetap saja pada akhirnya badannya menegak duduk.
"Ayo, sholat subuh dulu," ucap Kinara membujuk. "Oh iya, kemarin PR yang katanya belum bisa udah selesai belum?" tanya Kinara berbasa-basi agar adiknya itu lupa dengan kantuknya.
"Udah, kemarin dibantu ibu," ucap adiknya.
"Yaudah, lekas ke kamar mandi gih. Setelah ini sholat, lalu disiap-siapkan keperluan sekolahnya," ucap Kinara sambil merangkul Reyhan.
Reyhan hanya mengangguk dan berjalan gontai keluar kamar menuju kamar mandi.
"Kamu harus jadi laki-laki yang kuat dan bertanggung jawab, Reyhan. Sama seperti Ayah," gumam Kinara sambil memperhatikan langkah Reyhan yang enggan-engganan. Memang seharusnya seusia Reyhan haruslah pelan-pelan proses belajarnya. Namun Kinara ingin Reyhan mendapatkannya lebih, agar nanti adiknya bisa setegar dirinya mengarungi dunia. Meski tanpa sosok ayah.
Kinara keluar dari kamar adiknya dan hendak ke kamarnya sendiri. Di rumah sederhana inilah, dia tinggal bersama adik dan ibunya. Semua hal juga berlandaskan kesederhanaan, sebelum bahkan setelah ayah mereka pergi. Ibunya seorang tukang jahit yang biasa menerima pesanan tetangga. Dan pekerjaan ayahnya dulu adalah sopir bus antarkota, yang biasa sesekali tak pulang ke rumah.
"Reyhan udah bangun?" tanya ibunya yang muncul dari arah ruang tamu.
"Udah, Bu. Aku bangunin tadi."
Ibunya mengangguk, "Kamu juga lekas sholat subuh ya."
Kinara hanya menjawab dengan senyuman dan anggukan.
Setelah dua rakaat itu Kinara tunaikan, Kinara merasakan kepalanya berdenyut sakit.
"Tidak biasanya kepalaku sakit pagi-pagi," ucapnya sambil memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri.
Kinara perlahan bangun dari sajadahnya menuju kasur miliknya. Merebahkan badannya yang terasa oleng karena sakit kepala yang dia rasa.
"Masih jam 5, sepertinya tidur sejenak bisa kali ya," ucapnya dan berlanjut memejamkan mata, berharap ketika dirinya bangun kepalanya telah sembuh.
Dentingan alat masak beradu nyaring didapur. Tak lama bau sedap menyeruak ke indra penciuman.
Seorang ibu yang telah menyelesaikan menu sarapan pagi itu bergumam, "Biasanya Nara bantu-bantu di dapur, kenapa pagi ini tak terlihat ya?"
Anjani, nama ibu dari Kinara mengintip jam di dinding. Pukul setengah enam, seharusnya Kinara sudah mandi dan ikut mempersiapkan sarapan di meja makan.
Langkahnya sedikit terburu-buru menuju kamar anak perempuan sulungnya."Nara?" Panggilnya sambil menepuk pelan bahu Kinara yang masih tertidur. Tumben sekali Kinara tidur lagi setelah subuh. "Kamu sakit?" katanya lagi setelah melihat pergerakan dari Kinara.
"Jam berapa, Bu?" gumam Kinara yang masih belum membuka mata sepenuhnya.
"Jam setengah enam."
"Astaghfirullah. Jadi, Ibu udah selesai masaknya?" pekik Kinara bercampur kaget.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung Cinta Tak Bernada [TAMAT]
Spiritual[Teenfiction - Spiritual] Mungkin cerita ini senada dengan hatimu yang sedang berusaha untuk ikhlas, menyeimbangi cinta yang fitrah dalam balutan diam penuh perjuangan. Aku lelah berurusan dengan cinta manusia. Namun, aku tetap menikmati senandun...