Bab 6 : Hati Ini Belum Terbuka🌿

337 40 5
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Ardan menunduk seolah mengerti apa yang dirasakan Sabila. Memang seharusnya tak semendadak dan secepat ini dia mengungkapkan perasaannya pada adik kelasnya itu.

Ardan mulai berdiri dan memasang wajah santai tak seserius tadi. "Bunga ini untukmu," tutur Ardan sambil menyerahkan setangkai bunga mawar merah.

Penglihatan Sabila otomatis menatap roman muka itu, meyakinkan bahwa hal ini terlepas dari pernyataan menuntut yang belum mampu dia beri jawabannya.

Ardan mengulum senyum, "Ini bukan sogokan agar kamu menerimaku."

Sabila tersenyum kecil. Tangannya perlahan menerima setangkai bunga itu.

"Aku antar pulang," ucap Ardan sambil menggandeng tangan Sabila yang bebas.

Tubuh Sabila yang semula diam seolah ditabrak paksa, kaget bukan main. Kakak kelasnya itu tiba-tiba menggandeng tangannya dengan menautkan jemarinya. Mampu Sabila lihat ekspresi patah hati kaum hawa yang berkerumun di lapangan ini. Mengidamkan sikap Ardan yang manis itu berbalik mereka rasakan. Ah, memikirkan itu membuat Sabila bertambah malu. Apalagi kini tangannya masih digandeng Ardan menuju parkiran.

"Kak Ardan gak marah?" cicit Sabila setelah tangan Ardan yang menggandengnya itu terlepas dan beralih Ardan disibukkan dengan motornya.

Ardan mendongak, "Enggak, aku tunggu jawabanmu selagi kamu siap."

Sabila tidak bersuara dan hanya menjawab dengan anggukan pelan.

"Ayo, naik!" ucap Ardan sambil memberikan sebuah helm. Sabila juga tak tahu darimana Ardan mendapatkan helm itu. Ah, itu urusan yang tak layak dipikirkan. Sekarang dia harus memikirkan bagaimana dia lekas sampai rumah dengan pengantar barunya ini.

Tidak ada pembicaraan selama motor yang kemarin sempat dia tumpangi itu melaju. Dari pihak Ardan dan dirinya pun cuma bungkam. Hanya angin haluan, bertiup dari arah depan berlawanan dengan motor yang Ardan kendarai. Hingga membuat anak rambut Sabila yang tidak bertutup helm berlarian tertiup angin.

"Nomor berapa rumah kamu, Sabila?" Ardan mengeluarkan suara setelah dirinya memasuki sebuah kompleks perumahan.

"Nomor tujuhbelas," jawab Sabila mendekat ke arah telinga Ardan yang tertutup helm.

Ardan mengangguk mengerti.

Rumah minimalis perpaduan warna putih dan abu-abu menjadi tempat berhentinya motor Ardan. Disaat itu pula Sabila turun dari motor. Menyerahkan helm yang dipinjamkannya dengan diam.

"Makasih, Kak." Sabila mendadak kikuk. Bagaimana dirinya tidak canggung, orang didepannya ini terang-terangan meminta dirinya menjadi kekasihnya? Apapun yang terasa biasa jika subjek itu berubah mengistimewakannya, maka tak ragu lagi jika keadaan semakin menyempit. Sesempit kata khusus dari umum.

"Sama-sama," ucap Ardan tak lepas dari senyumnya.

"A-ku masuk dulu," pamit Sabila benar-benar canggung.

"Nanti aku DM yah," ucap Ardan sebelum Sabila benar-benar beranjak.

Sabila hendak mengangguk. Namun, Ardan kembali berucap.

"Ah, bukan. Aku minta nomor WA kamu aja ya. Pasti selebgram yang DM banyak. Dan pastinya pesan dari aku yang receh ini gak penting."

Sabila masih memerhatikan kakak kelasnya itu dalam diam. Kenapa keadaan semakin menjadi-jadi? Apakah benar yang diucapkan kakak kelasnya ini tulus dari hatinya? Sabila sama sekali tidak ingin mengambil risiko. Pengalaman pahit yang kerap menghantuinya selalu tak jauh dari kata laki-laki. Akankah dia percaya dengan Ardan yang notabene seorang laki-laki?

Senandung Cinta Tak Bernada [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang