Bab 11 : Waktu Bergulir🌼

294 38 5
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Waktu terus bergulir, tak ada negosiasi jika masalah kemarin belum tuntas karena kehabisan waktu. Jika waktu dunia dipersingkat, menurut Hasan Al-Basri waktu itu hanya ada ada tiga hari, 'Dunia ini hanya memiliki tiga hari: Hari kemarin, ia telah pergi bersama dengan semua yang menyertainya. Hari esok, kamu mungkin tak akan pernah menemuinya. Hari ini, itulah yang kamu miliki, maka beramalah di hari ini'. Hari kemarin, telah pergi bersama segala yang menyertainya. Benar, Kinara membenarkan itu semua. Namun, hatinya masih tertinggal, belum lepas sempurna dengan kejadian di hari kemarin. Sudah berjalan tiga bulan dirinya menyelami rasa sakit, tentu sudah tiga bulan pula Sabila dan Ardan berasmara. Dan, seantero sekolah pun telah mengerti akan berita yang mematahkan banyak hati perempuan itu. Termasuk Kinara, malah apa yang Kinara rasakan hanya diketahui dirinya, ibunya, dan Tuhannya, layaknya dalam diam yang murni mendiamkan.

Agenda ke sekolah yang Kinara tekuni seolah berubah menjadi agenda paling menyakitkan. Namun, disisi lain dia tak mampu berpaling karena sekolah adalah tempatnya memperoleh ilmu. Kasus sepadan lagi, tentang bertahan dalam kesakitan tapi telah dikontrak oleh pernikahan. Iya, keduanya sama-sama berat. Memutuskan mengakhiri pada kasus keduanya, sama-sama Allah tak suka, meski ada keringanannya.

"Kinara pamit ke sekolah dulu ya, Bu," pamitnya pada ibunya yang duduk dikursi, tempat dimana dia menjahit. Hari ini beliau tidak mengantar Reyhan ke sekolah karena Reyhan sedang sakit. Entah mengapa adiknya kemarin mengeluh badannya menggigil, dan sekarang dia sedang demam.

"Iya, hati-hati yah. Gak usah sedih lagi, ikhlas adalah kuncinya," ucap ibunya mewejangi.

Kinara paham betul tentang hal apa yang ibunya ucapkan. Tentu saja tentang cinta dalam diamnya yang miris bagi siapa saja yang mendengarkan ceritanya.

Kinara lantas mengangguk pelan menanggapi nasehat ibunya. "Iya, Bu. Wassalamu'alaikum," ucapnya sambil tersenyum dan melangkah keluar rumah.

Langkah Kinara mengalun lapang. Hatinya sekarang mungkin sudah kebal, sakit berkali-kali yang mengundang mati rasa. Masih sakit, tapi tak sesakit kemarin.

"Itu Nara." Sebuah suara yang menunjuk ke arahnya.

Kinara mendongak, panggilan itu jika bukan ibunya, pasti Ardan.

Iya, lagi-lagi Kinara harus melihat dua remaja itu saling bercengkrama. Sesekali melempar senyum, dan sesekali memandang tak sengaja tapi penuh cinta. Pertemanan layaknya bangun segitiga ini jika salah keduanya ada hubungan, satunya lagi harus kemana? Menjadi sisi untuk pelengkap asmara diantara mereka? Huh, cinta yang merepotkan satu pihak.

"Kamu udah lama, Bila?" tanya Kinara tak menanggapi panggilan Ardan. Wajah laki-laki itu, secara otomatis menyemburkan luka bagi Kinara. Meski subjeknya sangat baik bak pangeran yang amat dermawan.

"Belum kok. Tadi kebetulan Kak Ardan lewat dan sekalian nemenin nunggu kamu."

Kinara mengangguk pelan. Jiwanya kembali menyemangati hatinya. Tabah Kinara, tabah! Mereka belum mengetahui kalau apa yang mereka lakukan adalah hal yang salah.

"Yaudah, ayo berangkat!" perintah Kinara yang sempat canggung dengan keadaan.

"Ayo," balas Sabila sambil membuka pintu mobilnya, memberi ruang untuk Kinara masuk lebih dulu.

"Kinara kok jadi pendiem," bisik Ardan pada Sabila yang masih berdiri di samping mobil. Sedangkan Kinara telah masuk.

"Emang Kinara orangnya pendiem!" balas Sabila dengan kesal memandang Ardan yang berstatus menjadi pacarnya itu.

Senandung Cinta Tak Bernada [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang