Bab 18 : Patahnya Kinara🌸

265 34 1
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Menjadi sayyidah Fatimah Az-Zahra r.a di akhir zaman ini sangatlah sulit. Akhlaknya yang luar biasa itu mungkin hanya mampu diamalkan oleh segelintir perempuan yang menduduki di bumi tua ini. Itupun jelas tak mampu sesempurna beliau. Perangai beliau yang tetap tampil sederhana, dengan segenap kebesaran dan kemewahan jiwanya.

Kinara mem-pause podcast yang membahas tentang biografi putri kesayangan Rasulullah itu dari layar smartphone-nya. Tidak berhenti kagum memang, jika sedang menyimak keagungan akhlak dan derajat beliau yang sangat mulia. Ya, panutan bagi muslimah di seluruh belahan dunia.

Berbicara cinta dalam diam milik Ibunda Fatimah yang teramat luar biasa, Kinara menjadi terpaut dengan kisahnya yang hampir serupa. Bukan, bukan tak seindah milik Sayyidati Fatimah yang mulia, tapi hanya saja konteksnya sama dalam ranah sembunyi-sembunyi. Jika milik Sayyidah Fatimah Az-Zahra cintanya tak mampu diketahui oleh setan yang mampu menembus batin manusia, maka milik Kinara mungkin telah berulang kali setan mengetahui dan hasutan kadang tak sadar menghampiri. Itulah bedanya cinta dalam diam yang murni dengan palsu.

Kinara berpindah dari atas tempat tidur ke arah meja tulis yang ada di kamar indekosnya. Mengambil buku catatan kesehariannya. Dirinya tidak terlalu banyak mengabadikan momen hari-harinya, tapi dia akan cepat menulisnya jika momen yang dialaminya adalah momen yang penting.

Kinara mulai menitikkan tinta dalam lembaran kertas putih itu. Sebuah tulisan, memang sangat mewakili keadaan dirinya saat ini. Entah apakah mungkin semua perempuan jika berada diambang perasaan yang hampir patah seperti ini, sangat menyukai sajak puisi? Seperti Kinara, rasa cintanya tak setenang dirinya yang menjaga dalam diam.

Aku lelah berurusan dengan cinta manusia. Namun, aku tetap menikmati senandungnya. Mengalun indah meski tak bernada. Sepertinya memang begitu pula nasib cintaku. Terlalu menikmati tapi tak bertepi. Terlalu berambisi tapi tak teradili. Terlalu mencintai dan berujung cinta sendiri. Akankah kau beri nada senandung cintaku ini?

Pesan ambigu dariku, Kinara yang kembali patah dan berkorban keikhlasan demi cinta tak tersampaikan.

Yogyakarta, 20 Juli 2020

Kedua bibir Kinara melengkung tipis, tersenyum. Bait singkat ini tidak hanya mewakili perasaannya, tapi juga pembelajaran untuk hari yang akan datang. Dirinya pasti sangat bangga nanti, mencintai seseorang dalam sepi tapi dirinya mampu menjalani semuanya dengan apik.

Kinara menengok, melihat jam dinding di kamar yang menampilkan pukul setengah delapan malam. Raut Kinara mendadak gelisah, pasalnya sudah hampir satu jam Sabila keluar mencari makan untuk mereka berdua tapi belum juga kembali. Kinara meletakkan lagi buku diary-nya di atas meja. Tangannya meraih smartphone untuk menghubungi sahabatnya itu.

Belum sampai Kinara menekan tombol hijau guna memanggil Sabila lewat telepon, suara Sabila tiba-tiba muncul dari balik pintu. "Assalamu'alaikum ... Kina-ra," ucapnya dengan cengiran khas miliknya. Sabila paham, dirinya sudah cukup lama pergi hanya untuk mencari satu menu makanan. "Maaf, tadi aku lama karena gak kuat nahan sama bakpao unyu-unyu ini," cicitnya lagi.

Kinara mengeluarkan napas dengan geleng-geleng. Wajahnya berubah seolah murka.

"Kalau bakpao mah aku juga mau," kata Kinara yang spontan dan mendadak antusias.

"Hihh, kalau mau mah ya gak udah majang wajah mengintimidasi gitu dong," balas Sabila sambil mencak-mencak.

"Kamu sih, kalau keluarnya lama ajak-ajak. Kamu kan perempuan, mana kluyuran malem, mampir-mampir pula."

Senandung Cinta Tak Bernada [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang