Bab 9 : Pahitnya Sabila🌿

313 41 1
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Karena papamu kenapa?

Desak Ardan lagi-lagi memancing Sabila bercerita.

"Ka-karena papa mempunyai wanita lain selain mama," ucap Sabila yang akhirnya membuka juga trauma itu pada Ardan.

Kenapa begitu? Bukannya semua baik-baik saja?

Sabila dengan cepat membatin, baik-baik saja menurut mata kepala manusia bagaimana bisa menggambarkan sesuatu yang terjadi sebenarnya? Padahal kebanyakan dari manusia pandai sekali menduga-duga dan berspekulasi.

"Semua yang terlihat bukankah hal yang sebenarnya terjadi, Kak."

Ah, iya. Aku melupakan itu. Banyak diluaran sana orang berlomba-lomba untuk berpura-pura.

Iya, termasuk aku. Tukas Sabila dengan cepat dalam batinnya.

Do you want to tell me something?

Sabila ragu. Sudah benarkah dia memutuskan?

"I-iya. Dan ... aku berharap Kak Ardan bisa memberi solusi atau motivasi atau apapun itu. Yang pasti bukan hanya mendengar."

Ya, Sabila butuh itu. Masukan yang mungkin menenangkan pikirannya. Tentu penyimak jika hanya mendengar saja tak afdal.

Sabila mendengar tawa di seberang sana. Seolah jawabannya adalah jawaban yang lucu.

Iya, iya. Aku akan memberi tanggapan yang bagus.

"Semua berawal dari papa yang kupercaya tapi akhirnya berkhianat. Bagaimana mungkin dia begitu tega meninggalkan kami? Dua orang perempuan yang pernah dia katakan sendiri, kalau kami adalah harta terindah dalam dunianya. Dulu kami sangat mengutamakan cinta, lebih dari apapun. Ternyata semua itu tak berlangsung lama, dia mendua." Helaan napas Sabila terdengar berat.

"Lebih parahnya lagi dia berkhianat ketika dia sedang sukses-suksesnya. Tepat dikarirnya yang melejit sebagai teknopreneur. Bukankah suksesnya seorang suami juga karena suksesnya doa istri yang bertaruh dibalik layar? Aku masih ingat jelas bagaimana mama mempertaruhkan semuanya. Bahkan semuanya, mamalah yang paling mengerti perjuangan pahit itu. Hingga papa sukses, dan akhirnya papa yang mencampakkan bahwa perjuangan mama itu tak layak dihargai. Bahkan jika aku bisa membeli, perjuangan mama tak mampu aku beli dengan duniaku. Dan ... aku simpulkan ... bahwa papa memang jahat." Suara tarikan napas Sabila terdengar jelas. Tanda dia sudah meneteskan air mata dan beringus.

Bila?

Panggil Ardan di seberang telepon. Memastikan bahwa Sabila baik-baik saja.

"Iya," balas Sabila serak, tangannya menghapus dengan cepat air matanya sendiri yang lancang menetes.

Maaf, jika aku memaksamu cerita dan membuatmu menangis.

"Iya, gak apa-apa, Kak. Aku sebenarnya juga gak mau nangis, tapi tetep aja keluar air matanya," balas Sabila sambil mendongakkan kepala, berharap air matanya berhenti menetes.

Terdengar kekehan kecil di seberang sana setelah Sabila menjawab.

Tapi bukankah hidup kamu terjamin, Sabila? Ehm, maksud aku, kamu dan mamamu berkecukupan materi?

Sabila sudah menduga, Ardan pasti bertanya tentang ini. Memang, semua masih terlihat selayaknya.

"Semenjak papa begitu, dia tidak meninggalkan kami begitu saja. Semua yang berhubungan dengan materi dicukupi olehnya. Tapi semua sama sekali tak berarti! Mama kemarin berjuang bukan untuk mendapatkan hartanya, tapi tanggungjawabnya." Suara Sabila semakin menuntut diakhir. Jelas ada rasa sakit yang berontak dikeluarkan.

Senandung Cinta Tak Bernada [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang