Bab 22 : Membunuh Hati☘️

217 22 0
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kinara terus berpikiran tidak jelas, memikirkan bagaimana Sabila di luar sana dari kota Yogyakarta ini menuju ibu kota. Ditambah lagi Sabila sendiri, di dini hari pula. Kinara meraih smartphone-nya dan lekas menghubungi Sabila yang tadi sempat tertunda. Tangannya sudah bergetar karena panik.

"Whatsapp-nya gak aktif," lirih Kinara yang masih panik memikirkan cara apa lagi dia bisa menghubungi Sabila. "Nomornya pun gak aktif, gak bisa dihubungi," ucap Kinara yang sudah tak mempunyai alternatif lain untuk menghubungi Sabila.

Kinara memerhatikan lagi selembar kertas yang baru saja dia baca. Wajahnya masih belum membaik karena panik. "Kamu ke Jakarta naik apa sih, Bila? Se-urgent apa juga sih masalah yang dialami mama kamu?" rancau Kinara yang seolah gagal menjadi sahabat. Sejauh ini, Kinara memang tidak terlalu mengerti dengan kehidupan pribadi Sabila. Karena Kinara tahu, hal itu adalah privasi masing-masing orang. Dirinya tidak akan mencari tahu lebih, jika Sabila tidak menceritakannya.

Kinara meletakkan kembali smartphone-nya. Dirinya hampir lupa, kalau dia bangun untuk melakukan salat malam. Ya Allah, lindungi Sabila. Jaga  dimanapun dia berada. Batin Kinara sambil langkahnya hendak mengambil wudhu. Tidak akan opsi lain selain dia berdoa, meminta perlindungan dari Sang Maha Pelindung.

Selepas Kinara menunaikan salat malam, pikirannya belum juga tenang. Lagi-lagi handphone Sabila belum aktif. Dan Kinara hanya berjalan mondar-mandir di samping tempat tidurnya, berpikir tapi seolah tak mendapati jalan keluar.

"Kak Ardan? Yah, apa aku harus menghubungi Kak Ardan?" lirih Kinara bermonolog.

Dirinya dengan cepat mencari secarik kertas yang sepertinya masih dia simpan, sebuah kartu nama.

Kinara masih mengobrak-abrik barangnya. Maklum, kartu nama itu dia peroleh ketika kelas satu SMA lalu. Ketika dahulu dirinya menyadari, kalau kartu nama itu tidaklah penting meski berisi nomor telepon yang bisa dihubungi. Karena pikirnya, sebuah doa adalah senjata yang paling ampuh menembus hati seseorang.

"Ah, ketemu." Kinara dengan cepat mengamati dengan teliti nomor yang tertera di kartu nama itu, sembari menambahkan dalam kontak baru di teleponnya. 'Kak Ardan Widyatama', kontak dengan nama itu telah sepenuhnya tersimpan.

Kinara mendadak terdiam. Ada hal yang tak mampu dijelaskan dari perasaannya. Apa ini namanya dipaksa berhenti mencintai? Sedangkan datangnya cinta itu bukan kuasa dari diri sendiri? Rancau Kinara dalam batinnya. Rasanya sudah seperti diberi harapan yang hampir terlaksana, tapi di tahap akhir tak ada pilihan lain selain menampik. Menolak, demi alasan yang masih taksa.

Kalau saja cinta itu murni untuk Ardan seorang, mungkin Kinara sudah tak lagi memiliki harga diri. Hal-hal terlarang mungkin akan Kinara lakukan untuk mendapatkan ambisi dalam cintanya. Beruntungnya, ruang cinta untuk Allah itu masih ada. Jadi, ini bukanlah puncak dari patah hati yang sesungguhnya.

"Kak Ardan aktif lima menit lalu," gumam Kinara setelah melihat last seen kontak Ardan itu via WhatsApp. Dirinya kini fokus ekstra, untuk berbagi informasi akan keadaan Sabila pada Ardan. Tak mempedulikan lagi, perasaan aneh tapi sakit dalam hatinya. Semua akan baik-baik saja, bahkan membaik untuk sembuh di kemudian hari, Nara. Insyaa Allah. Harap Kinara yang masih ragu untuk menghungi Ardan.

Assalamu'alaikum, Kak Ardan.
Aku Nara.

Hanya pesan chat itu yang mampu Kinara ketik sebagai permulaan. Tak lama tanda dua cheklist biru yang diikuti keterangan online terpampang di layar chatting. Ardan, sudah membacanya.

Senandung Cinta Tak Bernada [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang