بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Pertanyaan tentang mengapa daun yang tumbuh harus gugur sekarang perlahan ada jawabnya. Mungkin tak akan mampu menjawab sepenuhnya, tapi mungkin bisa sedikit menjawab. Bak dihidupkan untuk mati. Mengapa harus hidup jika nantinya akan mati? Baik, permasalahannya sekarang bukan tentang hidup dan mati. Namun tentang hal apa saja yang dilakukan semasa antara hidup dan mati itu. Apakah sudah cukup berarti? Daun mungkin sudah melaksanakan tugasnya untuk menyejukkan bumi. Sedangkan manusia? Apakah minimal telah bisa berperan seperti daun, yang pada akhirnya akan gugur juga?
"Bila sayang mama. Sangat," ucap Sabila yang terdengar parau. Tangannya mengelus pelan sebuah nisan didepannya yang tertulis nama mamanya. Peristiwa yang mendadak ini tidak cukup membuatnya kaget, tapi lebih dari rasanya terenggut tanpa persiapan apapun.
Beberapa orang yang ikut mengantarkan jasad Marita ke makam perlahan sepi. Kini hanya Sabila, Ardan, dan Anjani. Tidak sedikitpun Ardan meninggalkan Sabila, karena Ardan tahu persis apa yang dirasakan Sabila saat ini. Kemarin saja baru bertengkar hebat dengan ayahnya, sekarang satu-satunya penjaga itu telah pergi untuk selama-lamanya.
"Kamu harus sabar, ya, Sayang. Doakan mama. Dia pasti sangat berharap kamu kuat." Rangkul Anjani yang berkali-kali melipur Sabila.
Ya Allah, entah apakah aku kali ini sudah melupakanmu. Rasanya masih terlalu sakit menerima takdirku hari ini.
Sabila masih termenung tanpa kata menatap pusara ibu kandungnya. Hatinya bahkan mungkin tak lagi berbentuk, dunianya tak lagi utuh.
"Kita harus segera balik ya, sebentar lagi udah mau dzuhur." Anjani berucap lagi meski tak ada respon apapun dari Sabila. Tatapannya masih kosong setia dengan objek yang ada didepannya.
"Nanti tante temenin kamu dirumah kalau kamu mau."
Sabila mendongak atas ucapan itu. "Hm?" Sabila bergumam lemah. Menatap Anjani dan beralih menatap Ardan.
Ardan mengangguk, memberi jawaban kalau hal ini tidaklah merepotkan.
"Ayo, Sayang," ajak Anjani yang perlahan mengangkat tubuh Sabila untuk berdiri.
Sabila bangkit tanpa suara. Raganya sudah terlalu lemas untuk merespon apapun. Faktanya, memang separuh raganya telah pergi bersama raga ibunya.
Ardan mengikuti dari belakang. Peristiwa hari ini juga sangat berat baginya. Terlebih Marita adalah ibu dari Sabila yang seharusnya akan menjadi ibunya juga.
Aku yakin kamu kuat, Bila. Bertahanlah. Raga ini aku pastikan akan mampu memelukmu ... dengan cinta.
🌱🌱🌱
"Tante masakin sesuatu ya. Kamu makan. Dari pagi kamu belum makan," ucap Anjani halus sambil merangkul pundak Sabila. Mereka kini telah sampai di rumah.
"Gak laper, Tante." Sabila memandang kosong objek didepannya. Seolah raganya berada di ruang gelap.
"Udah masakin aja, Ma. Biar aku nanti yang nyuapin," celetuk Ardan tanpa ekspresi.
Sabila mendongak dengan ekspresi bersungut. Setelah sedetik bertatap muka dengan Ardan, wajah Sabila kembali datar. "Aku makan sendiri nanti," pungkasnya.
Ardan tersenyum puas, usahanya berhasil untuk memancing Sabila agar bersedia makan.
"Aku boleh ke kamar mamamu?" tanya Ardan pada Sabila yang duduk di sofa. Anjani sudah pergi ke dapur setelah Sabila berucap kalau dirinya bersedia makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung Cinta Tak Bernada [TAMAT]
Spiritual[Teenfiction - Spiritual] Mungkin cerita ini senada dengan hatimu yang sedang berusaha untuk ikhlas, menyeimbangi cinta yang fitrah dalam balutan diam penuh perjuangan. Aku lelah berurusan dengan cinta manusia. Namun, aku tetap menikmati senandun...