بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Rumput liar mulai kembali memenuhi di gundukan tanah yang lima tahun lalu dikubur tubuh seseorang dibawah sana. Pradika, nama yang tertulis di nisan sebagai penanda itu. Nama laki-laki itu seharusnya yang menjadi wali saat Kinara menikah nanti. Namun apa daya, lagi-lagi semesta mempunyai hak menyuguhkan kenyataan dibalik harapan.
"Gak terasa ayah sudah meninggalkan kami bertiga selama lima tahun," lirih Kinara sambil mencabuti rumput liar di makam ayahnya. "Gak terasa juga Kinara udah mau kuliah aja," sambungnya lagi.
Kinara tak melanjutkan lagi dialognya. Dirinya fokus membersihkan makam ayahnya yang dua bulan sekali dia jenguk. Namun, mungkin setelah ini Kinara tidak bisa rutin lagi berkunjung kemari karena Kinara akan melanjutkan studinya di Yogyakarta, meningglakan ibu dan adiknya di ibukota. Berbicara berziarah, biasanya Kinara kemari bersama dengan ibu dan adiknya, tapi ibu dan adiknya sedang ada urusan sehingga dirinya yang berziarah sendirian.
Senyum di bibir mungil Kinara merekah, puas karena makam ayahnya telah kembali bersih. "Oh iya, Nara ketrima di universitas yang pernah Nara kagumi waktu kecil dulu, waktu Nara ikut ayah menyopir bus. Menurut cerita ayah, kampus itu adalah kampus terbaik hingga Nara punya keinginan besar buat jadi mahasiswa disana. Nara semakin jatuh cinta ketika tau kalau gedung kampus disana gede dan luas banget, ketika ayah pertama kali kasih tau dulu, meski kita hanya lewat." Kekehan kecil mengakhiri cerita Kinara dengan gundukan tanah didepannya. "Sayangnya, Nara gak ketrima di jurusan keperawatan seperti harapan Nara. Nara keterima di jurusan biologi sebagai pendidik." Raut kecewa terpampang jelas diwajah Kinara, tapi sedetik kemudian rautnya kembali biasa. "Tapi gak pa-pa, gak harus jadi sarjana keperawatan dulu yang boleh nolong orang sakit, tapi bagi siapa saja asal tau ilmunya. Nara akan tetap semangat di jurusan yang Allah pilihkan ini, ayah," ucapnya lagi dengan tekad yang bulat.
Kinara sejenak terdiam, terlihat memikirkan sesuatu. Perlahan napasnya dia buang dengan sedikit kasar. "Diumur Kinara yang hampir menginjak sembilan belas tahun ini, Kinara banyak sekali diuji oleh cinta, ayah. Andai ayah masih ada, mungkin Kinara akan senang hati berbagi cerita. Sebenarnya laki-laki seperti apa yang pantas Kinara perjuangkan dengan sangat. Sayang sekali, kisah Kinara tak seindah kisah cinta ayah dan ibu, yang saling memendam tapi pada akhirnya saling mencintai juga," cakap Kinara mengalir begitu saja. Membandingkan kisah asmara yang dilaluinya sangat bertolak belakang dengan kisah asmara milik kedua orang tuanya.
"Bahkan Kinara masih saja berharap, meski dia sama sekali tak melihat Nara." Kinara menggapit kedua bibirnya tanda menahan emosi. "Menurut ayah, Nara harus bagaimana? Laki-laki yang seperti apa yang layak bersanding dengan putri kecilmu ini?" Tangis Kinara luruh seiring ucapannya yang semakin mengecil diakhir. Sangat menyesalkan, cinta dalam diam yang tak kunjung ada temunya. Padahal subjeknya telah menghilang dua tahun lalu. Ya, Ardan telah lulus dari SMA dua tahun lalu dan sekarang telah menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi. Selama dua tahun itu pula Kinara tak melihat wajah Ardan lagi di sekolah, hanya saja Kinara kadang lancang membuka feed instagram laki-laki itu yang sebenarnya juga jarang mengunggah postingan baru.
Kinara mengusap sisa air matanya dengan kasar. Tak layak dia menangisi perihal sepele ini didepan makam ayahnya. Mungkin ikhlas adalah jawaban paling tepat untuk setiap takdir yang akan menunjukkan jalannya.
Kinara kembali tersenyum, "Semoga ayah selalu baik-baik saja. Dosa yang diampuni dan diberi tempat terbaik disisiNya." Kinara lantas membuka AlQuran kecil yang dia bawa dan lekas mendoakan ayahnya.
🌱🌱🌱
Dua tahun terakhir ini merupakan momen-momen yang indah bagi persahabatan Kinara dan Sabila. Layaknya persahabatan dua perempuan yang utuh terikat erat karena satu prinsip. Semenjak Sabila memutuskan berpisah dengan Ardan dan kelulusan kelas duabelas itu terlaksana, nama Ardan tidak lagi riuh menggema di sekolah. Suara para siswi yang biasa ricuh itu berubah sunyi, bak kehilangan idolanya. Semenjak dua tahun terakhir ini juga, Sabila tidak lagi mengungkit-ungkit nama Ardan atau nama laki-laki lain. Sabila benar-benar membuktikan niatnya untuk berubah sepenuhnya. Setiap harinya terasa indah untuk kedua sahabat karib yang saling berlomba dalam taat itu. Hingga tak terasa dua tahun itu telah mereka lalui bersama. Malah detik ini, telah menginjak tahun ketiga mereka bersahabat dan dengan keadaan yang sama, kemanapun berdua.
"Nara, perlengkapan ospeknya udah lengkap belum ya? Aduh, aku jadi deg-degan gini," ucap Sabila sambil mengibas-ngibaskan tangan dekat lehernya. Hawa malam yang dingin ini berubah gerah bagi Sabila, ditambah lagi setelah Sabila kesana kemari mencari perlengkapan ospek yang sedikit merumitkan.
Belum sempat Kinara menjawab, Sabila sudah berlari ke dapur kos untuk mengambil minum.
Kinara hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan sahabatnya itu. Lalu dirinya kembali fokus meneliti kembali perlengkapan ospek yang akan mereka bawa besok.
Kota Yogyakarta, menjadi kota tempat Kinara dan Sabila menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Itulah mengapa keduanya sekarang menetap di sebuah indekos layaknya mahasiswa perantauan yang lain. Seperti yang terlihat, Kinara dan Sabila memang satu universitas. Namun Kinara di jurusan biologi dan Sabila di jurusan matematika. Ketetapan kadang lucu ya, hal yang sangat dibenci seseorang sekarang malah menjadi pilihannya. Seperti Sabila yang waktu SMA kemarin payah sekali dengan mata pelajaran satu itu, tapi pada akhirnya menempuh pendidikan intensif pada bidang keahlian yang berhubungan erat dengan angka-angka itu. Tak jauh berbeda lagi ketika membenci lawan jenis sendiri, apakah benci itu bisa saja jadi boomerang di masa depan? Ketetapan berbicara dan membuktikan bahwa orang yang kita benci bisa saja jadi orang yang paling kita sayang, menjadi kekasih, atau bahkan jadi pendamping hidup selamanya. Dan jarak antara benci dan cinta itu terlihat tipis sekali, ternyata seringan itu hati manusia tak berpendirian alias plin-plan. Ya muqollibal quluub, tsabbit qolbii 'ala diinik.
"Udah lengkap belum, Nara?" tanya Sabila yang kembali masuk dalam kamar. Penampilannya jauh lebih segar, sepertinya sekalian telah cuci muka.
"Udah deh kayaknya, tapi gak tau juga. Banyak sih soalnya."
Sabila mendekat, mengecek perlengkapan ospek yang terkapar banyak dilantai. Bagi mereka yang telah menempuh pendidikan perguruan tinggi dan telah merasakan apa itu ospek, pasti mereka tidak akan kaget lagi, betapa ribetnya hari-hari ospek itu.
Belum ada satu menit Sabila memperhatikan segerombolan perlengkapan aneh bin nyleneh itu, dirinya sudah kembali berbicara, "Ah, bosen liat barang-barang aneh ini lagi," gerutunya sambil membuang muka.
Kinara tertawa spontan. Benar saja Sabila merasa muak, memang Sabila yang lari-larian ke toko sana ke toko sini untuk mendapatkan barang-barang ini. Entah mengapa, Sabila yang paling antusias mencarinya. Katanya, sekalian keliling Yogyakarta, tapi pada akhirnya dia sendiri yang jera.
"Udah kamu tidur aja sana, insyaa Allah udah lengkap ini," tutur Kinara lembut. Sahabatnya yang bergelar selebgram itu masih saja mempunyai sikap over pada situasi apapun, lebih ke lebay-manja. Ya, seperti itu Kinara mengartikan.
"Yaudah, aku bobok cantik dulu," pasrah Sabila sambil menghambur ke kasur. Badannya lumayan lelah, meskipun dirinya juga merasa bahagia akhirnya terwujud juga mimpinya untuk kuliah di Yogyakarta, meninggalkan hiruk pikuk ibukota yang semakin hari semakin menyesakkan paru-paru yang bernapas.
Kinara mengangguk.
"Ya Allah, Sabila! Kita lupa belum buat name tag dari kardus itu!" pekik Kinara tiba-tiba.
"Apa?!" Sabila terperanjat dari tempat tidur, mendadak terduduk. "Kok bisa sih? Ini kan udah malem, Nara... Ya Rabbi," sambungnya lagi dengan nada mendumel yang panjang.
"Aku juga gak tau, bener-bener lupa."
Kinara memerhatikan jam dinding di kamar. Benar, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sedangkan besok mereka harus berangkat pukul lima pagi karena ospek dimulai tepat pukul setengah enam.
Dengan gontai, Sabila turun dari ranjang. "Okey, kita buat. Biar lekas tidor," ucapnya ketus seolah tidak sabar untuk lekas memejamkan mata.
*
*
Bersambung...Jazakumullahu khair. Salam,
Shintashine
❤️❤️❤️Note: Akhirnya bisa update lagi, temen-temen. Hihi
Mumpung aku lagi lburan semester, mungkin aku bsa fokus sama wp. Tapi gak tau juga😅 entah kenapa akhir2 ini aku tertarik sama dunia youtube. Kalian mampir juga di channel youtube aku ya, "Shintashine Official" Jangan lupa subscribe, like dan juga comment-nya, temen-temen. Terimakasih❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung Cinta Tak Bernada [TAMAT]
Spiritual[Teenfiction - Spiritual] Mungkin cerita ini senada dengan hatimu yang sedang berusaha untuk ikhlas, menyeimbangi cinta yang fitrah dalam balutan diam penuh perjuangan. Aku lelah berurusan dengan cinta manusia. Namun, aku tetap menikmati senandun...