Bab 30 : Tak Bernada🍂

452 19 1
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

KINARA POV💌

"Saat doaku dikabulkan, aku bersyukur karena itulah keinginanku. Dan saat doaku tidak dikabulkan, aku lebih bersyukur karena itulah keinginan Allah."
-Ali bin Abi Thalib-

Dalam rentang waktu yang singkat, aku belum bisa memahami bagaimana cara bersyukur diatas perihnya hati yang lelah berharap.

"Sepertinya mereka gak bisa melupakan kejadian kemarin ketika aku menembakmu, Bila."

Rasanya sulit dijelaskan. Aku bungkam dalam mengagumi tapi aku harus bungkam pula dalam hal patah hati. Ini lebih sakit daripada menahan perasaan agar aman dalam sangkar. Perihal hati yang patah, siapa yang tak ingin jika hanya sekedar menjerit? Berbagi sakit dengan suasana?

Tahap ini, kadar cinta yang kupilah diuji. CintaNya atau cinta dia?

Harusnya, cintaNya.

Aku pelan-pelan menyakinkan. Hati manusia itu mudah bagi Allah untuk dibolak-balikkan. Baik, kutekuni lagi dalam berharap.

Hingga suatu saat ...

"Curhat? Curhat apa, Kak? Bukankah Kakak lagi dijalan ya? Apakah aman?"

"Aku sudah di jalan kompleks perumahan kok, bukan dijalan raya."

"Sebenarnya niatku ke rumah papanya Sabila juga ingin meminta restunya, untuk menikahi Sabila. Secepatnya."

Ku rapalkan berulang-ulang. Harusnya, cintaNya ... Harusnya, cintaNya. Sebanyak yang kubisa. Aku tahu, harapan ini hancur; sudah lebur.

Harusnya, cintaNya.

Baru kupahami, memang harusnya cintaNya. Kalau bukan karena cintaNya. Aku sudah gila dibuatnya seperti kisah Laila Majnun yang masyhur. Namun, kali ini beda versi.

Aku mempercayai; sangat percaya bahwa doa memang selalu dikabulkan. Namun ... jangan lupakan bahwa doa adalah harapan hamba; yang bukan penentu paling handal hingga semestinya doa harus terkabul persis. Doa bisa diganti, atas karena kemurahan Allah yang Maha Baik.

Aku masih dalam tahap belajar. Masih.

Karena aku tahu, menyembuhkan itu berproses. Dan mengikhlaskan itu melepaskan hingga benar-benar lepas.

Semerdu apapun kisah kemarin untuk diusahakan, jika takdirnya bukan ya bukan. Bak bersenandung, tapi senandung itu kehilangan nadanya. Tidak akan mampu menghibur diri.

Harusnya, cintaNya.

Kalimat berjejer dua kata itu masih menjadi mantra dalam pengikhlasanku. Tidak mudah, tapi harusnya lagi tak boleh menyerah, bukan?

Berprasangka baik ketika suasana sedang tidak baik itu sulit. Namun, aku tidak tahu lagi apa yang akan kuperbuat?  Aku tak sanggup pula untuk melawan takdir.

Untuk semua hati yang hampir lelah dalam menanti. Apakah pernah sepaham kalau, "Ya Allah, sebenarnya aku ini dipasangkan untuk siapa? Apakah kematian?"

Entah mengapa hal paling menampar itu terlintas. Apa iya? Kematian datang lebih dulu daripada jodoh?

Ah, seharusnya aku bisa menjadikan hal ini menjadi amal yang bisa menambah timbangan kebaikan. Tidak seharusnya malah semakin menambah timbangan keburukan. Ikhlas, husnudzan; bukannya  pamrih, su'udzan.

Ingat, aku harusnya lebih banyak bersyukur. Karena ini adalah pilihan Allah. Seperti yang pernah dikatakan Ali bin Abi Thalib.

Seperti kata Ibu juga, "Ayahmu meninggal karena serangan jantung memang bagian dari takdir yang paling indah." Aku menggelengkan kepala tidak percaya waktu itu. Kemudian Ibu melanjutkan bercerita, "Minggu lalu, ayahmu telah menerima pekerjaan untuk  perjalanan dari Jakarta-Sukabumi. Karena ayahmu meninggal, teman ayahmu yang menggantikan. Kamu tahu, bus mengalami kecelakaan dan sampai sekarang sopir alias teman ayahmu itu jasadnya belum ditemukan."

Terkadang, yang menyakitkan itu baik. Seperti kata-kata populer "obat pahit, tapi menyembuhkan." dan "jujurlah meski pahit." Hal-hal itulah yang sulit dilakukan tapi buahnya berupa kebaikan.

Sampai sekarang aku masih berprasangka baik dan berikhlas. Semoga saja hingga bisa benar-benar melepas. Aku sadar lagi, duniaku masih berputar setelah kejadian itu. Sudah seharusnya juga aku harus lekas berpijak berpindah tempat. Bukan jalan ditempat. Duniaku, masih memberi kesempatan untuk aku mengisinya.

Bersama kesulitan ada kemudahan.

Poin penting yang harus aku garis bawahi. Semoga kesulitan ini adalah langkah awal kemudahan apapun yang kulakukan.

Hikmah.

Semoga saja hikmah ini begitu melekat padaku. Mengubah apapun dariku, pribadiku; ibadahku.

Doa yang diganti lebih baik.

Harapan yang pupus tapi doa jelas masih belum terhapus. Semoga saja doa lekas menemui pemanjatnya dengan bentuk yang telah diubah lebih baik oleh Allah.

Dari apapun yang terjadi sejauh ini, aku belajar banyak dari mendoakan, sabar, ikhlas, dan prasangka baik. Semuanya pahit dilakukan layaknya obat, tapi insyaa Allah menyehatkan bagi iman.

Noted for myself: Doa adalah harapan hamba, sedang terkabul atau tidaknya adalah hak Pencipta Semesta.

Ingat, porsi hamba hanya sebatas tahu; sedangkan Pencipta Maha Tahu.

*
*
TAMAT.

Senandung Cinta Tak Bernada [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang