Bab 20 : Ta'aruf?🌸

248 29 3
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kata "ta'aruf" yang keluar dari bibir Ardan sebagai penutup sebelum Kinara benar-benar pergi meninggalkan percakapan sore itu masih saja terngiang. Bagi Kinara, rasanya masih pedih tatkala melihat kesungguhan Ardan pada Sabila.

Embusan napas terdengar keras, menjadi bukti betapa berat alur cerita yang Kinara alami. Di waktu Dhuha ini, waktu dimana orang-orang berlomba-lomba menjalankan sunnah berharap Allah meluaskan rezekiNya, bolehkah jika rezeki itu ditukar dengan luasnya cinta Ardan untuknya? Ah, Kinara. Apa yang kamu pikirkan? Kamu menggadaikan kemurahan Allah demi cinta manusia yang fana?

"Astaghfirullah...," lirih Kinara sambil mengusap wajahnya.

Hari ini bergantian Kinara yang tidak masuk kuliah, sedangkan Sabila sudah berangkat pagi tadi. Dan karena inilah Kinara leluasa mengekspresikan rasa batinnya yang serumit benang kusut. Sehabis pulang kemarin, Kinara kembali berpura-pura. Memasang raut seolah baik-baik saja didepan Sabila. Serba salah, itulah yang Kinara tanggung. Sabila adalah sahabatnya, Ardan adalah orang yang dikaguminya, dan dirinya berada diantara mereka sebagai pericuh hubungan yang tak kasat mata. Rumit, tapi rumit buatannya sendiri.

Tes.

Bulir air mata meluncur bebas dari pipi Kinara. Wajahnya mendongak seolah menghentikan air matanya agar tak menetes lagi.

Ternyata seberat ini mencintai makhlukMu yang tidak engkau takdirkan untukku, Ya Allah. Batin Kinara disela-sela hatinya yang bergemuruh. Seperti kata bijak milik Imam Syafi'i tuliskan, "Banyak orang yang mengatakan: mencintai wanita itu sangat menyiksa. Tapi, sebenarnya yang sangat menyiksa itu adalah: mencintai orang yang tidak mencintaimu." Kinara sangat membenarkan hal ini, rasanya memang semenyiksa ini. Dadanya kian sesak, seolah ingin mencari pasokan udara dengan bebas.

"Hiks ...," Isakan pertama lolos sebagai tanda betapa malang dirinya. "Hiks ...," Isakan kedua ini sebagai betapa naif dirinya yang menyikapi cinta ini secara berlebihan. "Hiks ...," Isakan ketiga ini untuk melambangkan segala rasa yang beradu menjadi satu. "Aku malu, Ya Allah. Malu," lirihnya pada celah isakan yang beruntun keluar. Wajahnya telah sembunyi pada kedua telapak tangan yang bertumpu pada lututnya.

Mungkin jika aku tidak menyeriusi cinta ini, aku tidak akan sekecewa ini. Mungkin jika aku tidak berharap lebih, aku tidak akan semenyedihkan ini. Mungkin jika aku tidak mengagumi lebih, aku tidak akan sesakit ini. Rancauan kata "mungkin" Kinara ungkapkan karena putus asanya yang teramat berat.

Sesuatu yang telah lama terpendam dan telah meronta-ronta untuk dikeluarkan jika tidak dituruti akan menyiksa diri. Itulah mengapa Kinara membiarkan dirinya bebas. Biarlah segala sesuatu yang kenyang dia sembunyikan sendiri dia keluarkan lewat tangis ini. Sangat berharap setelah ini, dirinya lupa akan cinta dalam diamnya.

Sudah cukup lama Kinara tergeming dalam tangis. Perlahan hatinya mulai bangkit, mulai menunjukkan jalan ketenangan. Kepala yang bertumpu pada lutut itu mulai bangkit. Bola mata itu pun tergerak mengamati telapak tangganya yang lemah karena hatinya yang hancur. Sorot cahaya pagi yang menembus gorden ikut menyinari tangan Kinara.

Kinara tergeming, mengamati serta menikmati cahaya pagi ini yang terasa hangat di tubuhnya. Sorot cahaya itupun terlihat aesthetic mengenai tubuhnya. Dengan pelan telapak tangannya yang lemah itu dia gerakkan, bermain dengan pancaran sinar mentari pagi yang masuk melalui celah gorden. Tangannya tergerak pelan, mengikuti irama hatinya yang sayu.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Senandung Cinta Tak Bernada [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang