بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"Sabila? Bangun, Sayang," panik Marita yang telah membaringkan Sabila di sofa. Pergerakan tangannya sibuk memberi aromatherapy agar Sabila lekas sadar dari pingsannya.
Perlahan Sabila mengernyit, terusik karena indra penciumannya menangkap bau yang menusuk. Bola matanya pun tergerak hendak membuka mata.
"Ma ...," ucap Sabila lemah. Penglihatannya samar-samar menatap Marita yang duduk didepannya.
"Iya, Mama disini."
Sabila tersenyum lemah. "Aku kenapa?"
"Kamu tadi tiba-tiba pingsan. Apa kamu sakit?" tanya Marita yang khawatir akan putri satu-satunya. Kenekatan Sabila yang pergi kemari hanya untuk berbagi luka dengannya adalah hal yang ekstrem.
"Sabila gak sakit apa-apa kok, Ma." Dirinya menerawang, mengingat kembali kenapa dirinya tiba-tiba kehilangan kesadaran.
Dirinya pun teringat sesuatu, "Pap- eh laki-laki itu kemana, Ma?"
"Panggil 'papa', Sayang. Mama gak ingin kamu durhaka pada ayah kamu sendiri karena mama."
Tampak mata Sabila memanas, telah berkaca-kaca. Gelengan lemah cukup membuktikan kalau dirinya menolak akan hal itu. "Aku gak mau, Ma. Bukankah seorang ayah harus menyayangi putrinya?"
Marita mendekap Sabila yang telah terduduk di sofa. Matanya pun tak luput dari linangan air mata.
"Kamu percaya 'kan, kalau di dunia ini banyak kejadian yang melenceng dari kodratnya? Itulah bentuk nyata jika dunia tak sesempurna surga." Marita menatap Sabila sarat akan arti. Berharap putrinya paham dengan peristiwa hari ini atau peristiwa lain hari yang mengecewakan hatinya.
Sabila menahan emosi dibalik pelukan mamanya. Sulit untuk mempercayai lagi, ketika subjeknya telah berkhianat. Apalagi khianat itu telah menumbuhkan penyakit baru dalam dirinya. Seolah sakitnya abadi seiring penyakitnya yang belum hilang.
Apa aku benar-benar menderita androphobia? Hingga aku bisa pingsan seperti tadi? Aku gak ingin cerita sama Mama kalau itu sampai terjadi. Ya Allah, kuatkan aku untuk menjalani semuanya. Semua terasa berbanding terbalik ketika aku ingin menyelesaikannya satu persatu. Batin Sabila merancau di pelukan mamanya. Menghilangkan androfobia, harus rela juga membuang kemarahan pada ayahnya. Menyimpan marah pada ayahnya, sama saja merawat androfobianya. Pilihan yang sulit.
"Mama jelas gak suka sama sikap Papa tadi 'kan? Mama jelas menolaknya 'kan? Jangan bilang Mama akan kembali lagi sama Papa hanya karena Sabila. Aku enggak rela, Ma." Sabila menatap mamanya penuh teliti. Jelas dirinya tidak setuju dengan sikap ayah kandungnya tadi. Dia dengan sikap arogan meminta mamanya kembali lagi atau rujuk dengannya, sedangkan statusnya masih menjadi suami dari wanita lain. Mamanya diminta menjadi istri kedua. Yah, istri kedua. Hak adil yang tidak akan mungkin mamanya dapatkan jika menerima tawaran itu. Mana bisa seorang arogan dan pengagung harta itu memiliki sifat adil? Justru, seharusnya mamanya lah menjadi yang pertama hingga sekarang.
"Semua butuh Mama pikirkan, Sayang."
"Enggak, Ma!" tolak Sabila cepat. "Hal seperti ini gak perlu lagi dipikirkan. Apa kita kurang cukup hidup berdua? Hidup kita udah tenang tanpa sosok dia lagi, Ma."
"Sepertinya Mama butuh berdiskusi sama Allah."
Sabila mengalah, tidak lagi menyahut jika mamanya telah berserah melibatkan nama Allah. Dirinya mengangguk kecil. Tangannya terulur lagi memeluk tubuh mamanya. Kali ini dekapan manja dan rindu setelah hampir lima bulan ini tak bergelayut manja dengan mamanya. "Satu yang Mama harus tahu, Sabila sudah merasa mewah hidup sama Mama tanpa harus bergelimang materi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung Cinta Tak Bernada [TAMAT]
Spiritual[Teenfiction - Spiritual] Mungkin cerita ini senada dengan hatimu yang sedang berusaha untuk ikhlas, menyeimbangi cinta yang fitrah dalam balutan diam penuh perjuangan. Aku lelah berurusan dengan cinta manusia. Namun, aku tetap menikmati senandun...