Bab 2 : Celah Bersemi🍁

541 50 5
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Langkah Kinara semakin mantap ketika gedung SMA-nya telah terlihat. Kesempatan yang diberikan padanya untuk mencari ilmu pada hari ini, tidak boleh disia-siakan. Allah memang sangat baik, menempuh sebuah jalan untuk mempelajari ilmuNya saja sudah diganjar dengan dimudahkannya pula jalan menuju syurga. Padahal, manusia sendiri yang butuh ilmu.

Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu , ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu' alaihi wa sallam bersabda, "Siapa pun yang mencari jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan dengan mudah mengambil jalan menuju surga." 
(HR. Muslim, no. 2699)

Kinara tersenyum simpul ketika kakinya menapak pada tanah dimana kejadian yang membuat pelipisnya memar tapi hatinya meloncat bahagia. Ya, dititik ini Ardan membuatnya terkesima. Hatinya luluh, seluluh seorang gadis biasa yang dipersunting pangeran pujaannya.

Kinara kembali melangkah, sisi lain dari dirinya kembali mengingatkan. Hal itu tidak seharusnya ada ketika dirinya meniatkan langkahnya ini hanya untuk mencari ilmu.

"Kinara!"

Kinara menoleh ke sumber suara.

"Kak Ar-dan," gumamnya gugup.

Ardan berlari kecil menghampiri Kinara.
"Oh, syukurlah. Udah sembuh ya pelipis kamu?"

Kinara reflek memegang pelipisnya sendiri, meraba pelan. "Iya, Kak," jawabnya dengan senyum canggung.

"Jadi aku gak usah repot-repot bawa kamu ke UKS atau klinik dong?" sahut Ardan berbasa-basi.

"Kak Ardan juga lucu. Masa iya gini aja harus dibawa ke klinik. Kan Nara gak kenapa-napa cum-" cerocos Kinara seolah lupa jika Ardan ini orang baru.

"Ternyata kamu bisa cerewet juga, ya?" potong Ardan dengan spontan. Pasalnya, perempuan yang dikenalnya ini sangat pendiam, dan sikap yang baru diketahuinya ini membuatnya terkejut.

Kinara reflek menutup mulutnya. Apa yang baru saja kuucapkan? Ini Kak Ardan, bukan ibu.

"Maaf, Kak," cicitnya tak enak hati.

Ardan tertawa renyah. "Gak apa-apa kok. Biasa itu mah. Tapi aku kaget aja."

Kinara menundukkan pandangannya dengan kikuk. Hal yang terjadi memalukan detik ini tidak boleh diceritakan ke ibu! Sangat memalukan. Ujar batin Kinara yang memeringatkan dirinya sendiri. Masalahnya, dirinya itu sangat terbuka pada ibunya. Apapun dia ceritakan, termasuk cinta dalam diamnya pada laki-laki di depannya ini.

"Orang lain biasa manggil kamu Nara ya?"

"Kok Kakak tau?" celetuk Kinara cepat.

"Tadi kamu bilang."

Dahi Kinara mengerut. Sungguh, apa yang dia ucapkan pada Ardan tadi bukan diatas kontrol dirinya. Kenapa seolah mengalir begitu saja?

Kinara menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, tanda dia sedang kaku dengan keadaanya sekarang. "Iya, Kak. Sebenarnya itu panggilan pendek dari ibu. Ibuku suka panggil Kinara dengan Nara. Kata beliau, lebih simpel."

"Oh, gitu," ucap Ardan dengan mengangguk-angguk. "Boleh aku panggil Nara juga?"

Kinara terkesiap. Lalu, dia mengangguk dengan ragu sebagai tanda setujunya pada Ardan akan panggilan itu.

"Kamu sangat dekat ya sama ibumu?" tanya Ardan yang seolah ingin tahu banyak tentang Kinara.

Kinara mengangguk. "Semenjak ayah gak ada, ibu adalah segalanya bagi Nara."

Senandung Cinta Tak Bernada [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang