بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Aspal tempat berpijaknya berbagai kendaraan itu telah padat tak ada celah. Padahal waktu masih menunjukkan pukul enam pagi. Namun bagi seorang pekerja keras dan penjunjung tinggi kedisiplinan, tentu hal ini tidaklah asing lagi.
Sabila sudah berdiri di tempat biasa Kinara menunggu angkutan kota. Hari ini Sabila akan menemani Kinara ke sekolah dengan rutinitasnya. Menaiki angkot dan berjalan kaki jika tidak ada. Sabila juga telah menyuruh sopir pribadinya untuk kembali ke rumah, tidak menunggunya untuk sampai ke sekolah.
Sengaja Sabila menunggu Kinara sedini mungkin, takut jika Kinara telah berangkat terlebih dahulu. Pasti tipe orang seperti Kinara sangat pandai mengolah waktu.
Sudah hampir setengah jam Sabila menunggu Kinara, tapi yang dia tunggu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Apa benar Kinara belum berangkat juga dari rumah? Atau dia tidak masuk hari ini? Gumam Sabila dalam batinnya, mengingat kemarin Kinara mengeluh kepalanya sakit.
"Sudah pukul setengah tujuh," singkap Sabila sambil memandang resah jam tangannya. Jika dia terus-terusan menunggu Kinara pasti dirinya terlambat. Dirinya juga belum terbiasa naik angkutan umum, ini yang pertama.
Sabila terus celingak-celinguk memerhatikan gang kecil dimana Kinara biasa muncul dari arah itu. Namun, nihil. Bahkan gang itu terlihat sepi.
Sebuah motor gede menepi tak jauh dari Sabila berdiri. Namun Sabila tak menghiraukan sama sekali. Dia hanya memikirkan bagaimana Kinara lekas muncul dari gang itu dan berangkat bersamanya.
"Kamu temannya Kinara kemarin 'kan?" ucap laki-laki yang diduga pemilik motor gede itu.
Sabila masih enggan menoleh. Namun karena pertanyaan yang menyangkut nama Kinara dia menoleh dengan raut penasaran.
"Kak ... Ar-dan?" pekiknya lirih bercampur kaget.
Ardan kembali memasang wajah bertanya-tanya. Darimana adik kelasnya ini tahu namanya?
"Oh, maaf. Kemarin aku gak sengaja liat name tag di seragam Kak Ardan," ucap Sabila mengerti maksud raut Ardan.
Ardan hanya beroh ria sambil tersenyum lebar hingga menampilkan lesung pipinya.
"Kenapa kamu masih disini? Sudah pukul setengah tujuh, seharusnya sudah harus berangkat ke sekolah kan?" tanya Ardan menyatakan maksudnya berhenti menghampiri adik kelasnya ini.
"Aku menunggu Kinara, Kak. Ingin berangkat bareng," cicit Kinara karena resah. "Tapi Kinara jam segini belum juga datang."
"Kenapa kamu gak jemput ke rumahnya aja?"
"Aku gak tau rumah Kinara," jawab Sabila pelan. Mengherankan memang, dia sahabatnya Kinara tapi dia tidak tahu rumah sahabatnya itu.
Ardan hanya mengangguk-angguk paham.
"Sebentar, Kak," ucap Sabila pada Ardan. Dirinya langsung berlari menghampiri seorang ibu dan seorang anak laki-laki yang sama persis mengantar Kinara menunggu angkot kemarin pagi.
Ardan hanya mengiyakan dan mengikuti arah Sabila berlari.
Bibir Ardan tersenyum simpul, senyum untuk Sabila. Entah mengapa dirinya terlalu mudah untuk bersimpati pada seorang perempuan. Terlebih jika perempuan itu mempunyai budi pekerti yang baik. Dalam kamus hidupnya tak akan ada penghianatan, jika itu menyangkut hati perempuan. Ya, Ardan sangat menghindari itu.
"Permisi, Bu. Ibu yang kemarin mengantar Kinara, bukan?" tanya sopan Sabila pada ibu yang kemarin dia lihat berdiri disini dengan Kinara.
"Iya, Nak. Ada apa ya?" balas Anjani dengan bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung Cinta Tak Bernada [TAMAT]
Spiritual[Teenfiction - Spiritual] Mungkin cerita ini senada dengan hatimu yang sedang berusaha untuk ikhlas, menyeimbangi cinta yang fitrah dalam balutan diam penuh perjuangan. Aku lelah berurusan dengan cinta manusia. Namun, aku tetap menikmati senandun...