بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Rumah minimalis yang dominan berwarna putih ini telah menjadi saksi bagaimana dua orang perempuan berjuang, ditinggal sosok laki-laki yang digadang-gadang mampu menjadi tameng dalam keluarga kecil mereka. Namun, semua dusta. Khianat itu merasuk dan mematahkan sebuah janji. Dan di rumah ini pula, sang ibu kembali, meninggalkan dunia, meninggalkan anak perempuan semata wayangnya.
"Asssalamu'alaikum," ucap Ardan memasuki rumah, rumah Sabila.
"Wa'alaikumussalam," ucap Anjani yang duduk berada disamping Sabila yang sedang makan.
"Wa'alaikumussalam," lirih Sabila yang berhenti dari kegiatan makannya. Menjawab salam dan beralih menatap siapa yang datang.
"Sabila," ucap orang itu ketika mata keduanya beradu.
Sabila tertegun, lekas mengambil minum untuk menetralisir tenggorokannya yang mendapat efek dari kagetnya.
"Ngapain kesini?!"
"Tenang, Sabila. Ini papamu!"
"Papa? Kata itu udah gak ada lagi seiring mama yang udah pergi. Kata itu hanya sebagai wujud baktiku aja sama mama. Buat manggil bapak terhormat ini ... 'papa'. Sekarang, jangan harap!"
"Papa minta maaf, Bila. Telah menelantarkan kamu dan mama kamu seperti ini."
Sabila memalingkan wajah, jelas rautnya meremehkan permintaan maaf ayah kandungnya.
"Aku gak mau lagi ketemu sama orang ini lagi, Tante, Kak Ardan." Sabila meninggalkan ruangan itu dan bergegas naik ke kamarnya.
"Papa merestui hubunganmu dengan Ardan, Bila!"
Telapak kaki milik Sabila berhenti menapak. Sabila tergeming ditempat, lalu tak lama wajahnya menoleh ke arah orang-orang itu berada.
"Hubungan?" ulang Sabila sambil memerhatikan orang-orang yang tertuju padanya satu persatu. Anjani, hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Daniel, penuh dengan ekspresi memohon. Dan ... Ardan, terlihat kikuk entah apa itu penyebabnya.
"Iya, Papa merestui kalian menikah."
"Menikah?!"
"Ardan meminta kamu dari Papa buat menjadi istrinya, Bila."
"Kak Ardan? ... Bukankah ini terlalu cepat?" Sabila mulai berkaca-kaca, kali ini pun tanpa sebab.
Ardan mulai mendongak, berani menatap Sabila dengan segenap keyakinannya. "Enggak, Bila. Perasaan ini bukan lagi soal tentang menunggu. Aku yakin, Bila."
Sabila menggeleng-gelengkan kepala. Air mata telah luruh, mengalir di pipinya. Aku tidak pantas untukmu, Kak!
"A-aku butuh waktu untuk menjawabnya."
"Jangan kamu memutuskan karena merasa tidak pantas, Bila. Coba tanya dari lubuk hati kamu yang paling dalam. Karena aku tidak akan lagi mengulang."
Sabila merasa tertampar halus.
"Kak Ardan tenang saja," ucap Sabila berbalik dan melanjutkan langkahnya menuju kamar. Tangannya mengusap kasar air mata yang lancang bertambah mengalir deras di pipinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung Cinta Tak Bernada [TAMAT]
Spiritual[Teenfiction - Spiritual] Mungkin cerita ini senada dengan hatimu yang sedang berusaha untuk ikhlas, menyeimbangi cinta yang fitrah dalam balutan diam penuh perjuangan. Aku lelah berurusan dengan cinta manusia. Namun, aku tetap menikmati senandun...