Bab 7 : Perih Sendiri🌿

318 39 0
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Tentang kehidupan manusia yang bersandingan dengan manusia lain, tentu tak banyak yang sepaham dengan manusia satu dengan manusia yang satunya. Ada yang begitu taat, adapula yang membangkang. Namun, hal ini lagi-lagi mengajarkan betapa Allah itu Ar-Rahman, Maha Pemurah bagi setiap makhlukNya, tak terkecuali. Bagaimana tidak, kasih sayangNya selalu tercurah pada siapapun mereka, tak memandang jika dia taat bahkan pendosa sekalipun. Seperti yang beliau, Al-'allamah Habib Umar bin Hafidz tuturkan, 'Jika engkau melihat seseorang itu jauh dari Tuhannya, janganlah engkau mengejeknya karena engkau akan lebih jauh dariNya. Karena Allah lebih dekat dengan pendosa dibandingkan orang-orang yang sombong'. Kalam ini cukup mengayomi bagi mereka yang masih melakukan dosa untuk lekas tersadar, dan cukup menampar bagi mereka yang merasa diri telah baik hingga memunculkan takabbur tanpa sadar. Sungguh, manusia tetaplah dalam ranah tempatnya salah dan masing-masing takdirnya adalah misteri yang masih dalam genggaman Allah. Dan, karena hal inilah Kinara tidak begitu memusingkan dirinya akan berteman dengan siapa. Karena sejatinya semua muslim itu sama, sama-sama berproses. Sabila, temannya pun juga belum berhijab sepertinya. Namun dirinya yakin, Sabila pasti lambat laun berubah.

Kinara sudah bersiap menuju jalan raya dimana dia biasa menunggu angkot. Reyhan dan ibunya pun telah siap. Jarak sekolah Reyhan yang lumayan jauh memang memaksa ibunya untuk mengantar Reyhan sampai ke sekolah menggunakan angkot. Hanya saja angkot yang dia tumpangi dan adiknya berbeda jalur, tapi jam lewatnya hampir bersamaan. Kinara sudah merasa lebih baik bahkan bisa dikatakan sehat seperti biasanya, tidak ada lagi nyeri yang tiba-tiba menyerang kepalanya.

Perihal Sabila yang menawarinya berangkat sekolah bersama, Kinara juga tidak tahu pasti. Akankah Sabila masih menepati ucapannya itu hari ini, mengingat dua hari kemarin dirinya tidak masuk sekolah. Kalaupun Sabila tidak menjemput, Kinara tidak keberatan untuk berangkat ke sekolah naik angkot seperti biasanya, atau berjalan kakipun Kinara sanggup, insyaa Allah.

Jalan raya yang menjadi jalur bertemunya berbagai kendaraan itu tidak terlalu jauh dari gang rumah Kinara. Hanya lima menit dengan jalan kaki, mungkin sudah sampai di jalan raya itu.

Kinara dan Reyhan beserta ibunya pun lantas berjalan melewati gang agar bisa sampai ke jalan raya yang dituju. Semua terlihat sederhana, tapi inilah harta dunia yang berharga. Ya, bagi Kinara harta berharganya adalah ibu dan adiknya yang sehat, tak berkekurangan apapun seperti saat ini. Pengalaman dan kebersamaan rutin setiap pagi ini, pasti tak mampu Kinara lupakan jika suatu saat keadaan nanti telah berubah.

Kinara, Reyhan, dan ibunya telah sampai di tepi jalan raya. Tak sedikit, siswa dan orang dewasa yang hendak berangkat sekolah atau kerja pun menunggu angkutan yang sama.

"Kinara!" panggil seorang perempuan dari dalam mobil.

Kinara lantas mencari sumber suara. "Sabila?" lirihnya mengenali perempuan yang berada di jok penumpang mobil itu.

Dengan lambat, mobil itu menepi di pinggir jalan, tempat Kinara tak jauh berdiri.

Tak lama pintu mobil dibuka dan turunlah Sabila, teman sebangku yang memanggilnya tadi.

"Kamu udah sembuh?" ucap Sabila kegirangan menatap Kinara. 

"Alhamdulillah, udah."

Sabila tanpa sungkan memeluk Kinara didepan ibu dan adiknya. "Akhirnya... Aku ada temennya saat duduk di kelas," ucap Sabila bergurau.

Kinara tertawa kecil. Sudah tidak kaget dengan sifat Sabila yang over ketika bergaul.

"Eh, ada Ibu," cengir Sabila tak berdosa pada Anjani. Tangannya terulur menyalami ibunya Kinara. "Adik kamu?" tanya Sabila pada Kinara ketika dirinya melihat anak kecil seusia tujuh tahun disamping ibunya.

Senandung Cinta Tak Bernada [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang