TAUTAN

157 31 3
                                    

"Sa, orang itu udah pergi." 

Suara Erfam memenuhi kamar rumah sakit yang lengang. Aku berusaha duduk kembali, mengkhawatirkan ekspresi apa yang akan Erfam tunjukan padaku, mengingat betapa anehnya situasi ini baginya. 

Erfam berjalan ke arahku dengan senyumnya yang menenangkan. 

"How's your feeling?" tanyanya. 

"Bad. I feel so bad." responku kaku. "Fam, pernah dengar ochlophobia?" 

Dia menggelengkan kepala. 

"Itu jenis fobia yang takut keramaian. Aku gak ingat mulai kapan tapi aku terakhir seperti itu di usia 10 tahun." 

"Kamu nggak perlu jelasin semua sekarang, Sa. Masih ada waktu. Sekarang istirahat dulu aja."

"Aku mau kamu tahu, Erfam. Aku ini, gimana bilangnya ya, aneh. I am weird. Kalau jalan harus ditempat yang sepi. Belanja harus serba online karna aku nggak mau ke mall atau pasar. Aku udah bolak balik terapi berkali-kali tapi nggak ada yang berhasil. Aku sampai dikurung sama keluarga sendiri, walaupun sebenarnya niatan mereka baik. Sampe di Jakarta dengan selamat aja udah mujizat."

Bukannya tampang menjijikan yang aku takutkan, dia menampilkan senyum manisnya dan bertanya lanjut. "Apa lagi? Sebut aja dulu semua keanehanmu."

"Aku nggak pernah pacaran." Mendengar itu senyumnya merekah tambah lebar.

"Itu mah aku udah tahu. Tiap kali kakakmu ke Jakarta pasti yang dia ceritain cuma adeknya yang hobbynya kencan sama buku atau teriak-teriak kesenangan pas nonton drakor."

"Masa dia cerita begituan? Dasar kambing."

"Kamu ngatain kakakmu kambing? Clarissa, aku belum pernah lihat kamu nyumpahin kakak sendiri."

"Kak Carlos paling takut sama kambing, Fam."

"Emang asal ceritanya gimana? Di Seoul kan nggak ada kambing." Erfam menahan tawa. 

"Dia ikut ekspedisi gitu ke Jeju kan. Pas lagi di peternakan, dia malah dikejar kambing. Awalnya karena dia lempar daging mentah buat makanan kambing. Gilanya, kakakku. Kan kambing itu herbivora, masa dikasi daging."

"Beneran dikejar kambing?"

"Ada lah kambing 10 ekor ngejar dia, Fam. Gak jelas banget, sumpah. Sejak itu jangan pernah berani nyebut kambing depan muka dia. Mukanya langsung merah kaya kepiting rebus." 

Erfam tertawa terbahak-bahak mendengar ceritaku. 

Tiba-tiba ada perasaan hangat menyelinap masuk ke tengah pembicaraan kami. Aku langsung berubah melo. Dari tertawa, jadi menangis. 

"Eh, eh kok kamu malah nangis sih, Sa"

"Makasi banget ya Erfam. Kamu gak nge-judge aku aneh. Malahan setelah dengar cerita aku pun kamu tetap fine-fine aja. Thank you so much."

"Apaan sih kamu kok jadi melo gitu. Gak seru ah. Aku mau panggil dokter dulu."

Erfama Larasita. Tanpa banyak tanya, dia memahami. Tanpa gurat risau, dia memaklumi. Dia sendiri tahu butuh proses untuk mencerna apa yang menjadi porsinya. Maka ia akan mencoba menyelami dulu yang dilihatnya, sebelum bertanya lebih banyak untuk memahami yang belum diketahuinya. Terima kasih

Beberapa saat kemudian, dokter masuk ke kamarku sendirian. 

"Apa kabarmu Nona Clarissa?"

"Better, dok. Hm, dokter Made." Aku membaca name tagnya. Dokter ini masih muda, kira-kira di awal 30 tahun. 

IN BETWEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang