Kisah Mereka

121 18 3
                                    

Jalan hidup terlalu sulit diprediksi dan kadang akan terlalu banyak menyimpang dari rencana. Di satu sisi takdir menjadi begitu baik tapi di sisi lain ada saja lubang-lubang di jalanan yang membuat kita terjerembab dengan mudahnya. 

Seperti halnya hari ini. Apa yang ada di balik tikungan jalan tidak pernah kita ketahui, maka ketika satu blok itu terlewati, apa yang terlihat di depan sana tak akan pernah kita sangka. Sosok yang tengah berjalan ke arahku itu adalah rindu yang namanya ku sebut dalam doaku setiap malam, sekaligus luka yang tidak pernah ingin ku hadapi lagi, setidaknya tidak dengan cara seperti ini. 

Hanya dengan melihat sorotan matanya yang tajam dan terlalu familiar dengan luka-luka kesepian selama ini, kebahagiaan bersama Joshua yang tangannya melekat erat dengan telapak dan jari-jariku langsung menciut. Dinding-dinding tak kasat mata rasanya mendekat terlalu cepat, kesesakan yang biasa aku alami kembali menyapa. Dalam otakku hanya satu jalan keluarnya, "LARI". Tanpa pikir panjang. 

Suara teriakan Joshua beberapa kali hanya memantul balik. Tapi teriakannya yang terakhir, entah kenapa, membuatku menoleh, hanya beberapa detik lebih awal sebelum kejadian mengerikan itu terekam begitu jelas; bunyi decitan mobil dan badannya yang tertabrak dan terlempar beberapa meter ke depan. 

Meninggalkan semua ketakutan terhadap duniaku sendiri, aku berlari, kali ini jauh lebih kencang ke arahnya. Joshua,  oh tidak, Joshua. Dalam keadaan seperti itu, bahkan tidak (belum) terpikirkan olehku kerumunan yang terbentuk di sekeliling tubuhnya. Aku menerobos orang-orang itu dan mendapatinya terbaring dengan wajah penuh lecetan luka. 

"Joshuaaaa" kataku lirih sambil berusaha mengangkat kepalanya pelan-pelan. Dia sempat, sebentar saja, terlalu cepat tapi aku sangat yakin, membuka matanya dan melihatku sebelum akhirnya menutup matanya lagi. 

"Clarissa," satu suara berat terdengar, sambil mendekati dan menghampiriku, dan wajah-wajah tidak asing yang mengawalku 3 tahun belakangan mendorong mundur kerumunan yang memagari kami. 

"Appa, Joshua..." Suaraku bergetar sendiri memanggil papa yang sudah berada di samping dan meremas bahuku kuat, mentransferkan bibit kekuatan baru yang pikirnya bisa menambah entah sisa-sisa apa yang kupunya. 

"Panggil ambulans!" perintahnya langsung kepada salah satu pengawal. 

Aku mulai linglung dan gemetar, aku berusaha memusatkan fokus pada Joshua, dan bukan pada mereka-mereka yang mulai lebih banyak datang dan menonton. Aku mengangkat kepala Joshua pelan-pelan dan meletakkanya di pangkuanku. Darah segar yang menempel di telapak tanganku menambah semua teror yang tidak terelakkan. 

Anehnya, aku melihat sesuatu, tidak jauh dari tempat aku memeluk Joshua, seakan adegan itu dipertontonkan khusus untukku. 

 "Oppaaaa..." Ada suara lain, penampakan lain, penglihatan lain, terpampang di depan. Seorang gadis kecil, sepertinya berusia 8 - 9 tahun. Aku mengenalinya sebagai diriku sendiri. Diriku di usia itu. Siapa itu yang ada di tanah dengan darah keluar begitu banyak dari kepalanya? 

"Appa, Oppa banyak darah..." 

"Appa aku takut, Oppa berdarah..." Gadis itu menangis. Menangis, tangannya yang berbercak darah dan kotor diusap ke wajahnya berusaha menghentikan tangis. 

"Tenang Clarissa, kakakmu baik-baik saja. Appa sedang panggil ambulans." Ada appa dalam penglihatanku, tapi versi appa yang jauh lebih muda. Permainan otak macam apa ini? Ini halusinasi paling nyata yang pernah aku alami.

Gadis itu menangis semakin kencang dengan kerubungan orang yang hanya menonton, menutup mulut mereka, tanpa ada yang berusaha membantu. Hal itu kemudian menyeret sebagian banyak persen kekuatanku ke sana, meninggalkan aku yang masih berusaha menguatkan diri dengan Joshua.

IN BETWEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang